Rentang : 30 Hari Bersamamu

Harni Sumatan
Chapter #2

Suratku yang Usang dan kelinci yang Mati

Setelah peristiwa di depan rumah kemarin, Tini tidak berani menyentuh kotak yang berisi kaset tersebut. Bahkan sepucuk surat yang mengawali kebingungannya itu tidak selesai di baca. Perutnya tiba-tiba mual ketika membaca nama mendiang suaminya berada di atas kertas. Tidak ada yang tahu apa yang sedang terjadi, termaksud dirinya. Bahkan Mas Joko menyerahkan hal ini padanya. Masalahnya adalah Burhan tidak sepenuhnya di laporkan meninggal. Hingga Tini mulai mengumpulkan keberaniannya untuk menebak suaminya itu sedang baik-baik saja di suatu tempat. Kaset itu adalah kuncinya.

Tini membuka pintu kamarnya. Kekuatan dari dalam dirinya muncul tiba-tiba, jantungnya berdegub kencang dan ia merasa harus menyelesaikan urusan macam ini sesegera mungkin. Tini Berjalan menuju kotak kaset, pertama kali ia temukan surat dengan noda tanah. 

"Aku harap kamu mendengarkan seluruh isi kaset ini, Tin. Seperti..." Tini berhenti membaca, ia pergi ke dapur menyiapkan sebuah jus dan roti bakar lapis untuknya. Ia berusaha agar tidak memuntahkan isi perutnya dengan jus jeruk, sehingga ia berlari kecil karena merasa akan kehilangan keberanian setelah ini. Setelah membawa roti bakar dan jus jeruknya, ia merasa harus membaca di ruang kerja Burhan. Tempat paling intim di rumah itu, sudut belakang dan paling sunyi. Sudah lama ia tidak memeriksa tempat itu, barangkali membaca surat itu di sana membuatnya merasa lebih baik. Ia pergi mengambil kunci di lantai dua rumah, pada kamar tidur mereka dulu. Sekarang menjadi hak paten Tini seorang, tidak lagi berbagi. Tetapi, kau tau untuk seorang istri tidak ada yang lebih baik dari berbagi ranjang. 

Tini memeriksa laci-laci kayu yang sudah lumayan tua. Maklum ini rumah peninggalan ayah Burhan. Seorang akuntan dengan gaji lumayan tinggi, dia meninggal seminggu setelah Burhan dan Tini menikah. Sementara ibu Burhan sudah lama berpulang, suami Tini memang menjalani kehidupan yang keras dan rumit. Tini bahkan merasakannya ketika hidup selama dua tahun dengan tentara yang bertugas di perbatasan itu. Tapi tentu saja, perkara tersembunyi sekalipun Burhan mengatakannya. Kenapa? Karena Burhan hanya mencintai seorang wanita yang di temuinya di klub malam, yah dia Tini. Wanita pembawa minuman dan pemilik suara indah yang cantik.

Tini membuka pintu, terdengar decitan kecil. Samar-samar tampak sebuah meja berukuran persegi lima kali lima di sudut kamar. Sebuah bingkai lukisan serta horden maron yang tertutup. Cahaya masuk dari luar, walaupun tidak sepenuhnya menerangi ruangan kecil itu. Tini masih dapat melihat bekas-bekas cat berserakan serta kuas yang ada di mana saja. Ia membuka jendela, menyingkap horden ke samping. Tepat depan jendela ada sebuah pohon mangga, daunnya beguguran ketika angin melewatinya. Bulan ini januari sehingga bunganya sedang mekar, musim reproduksi untuk pohon mangga yang sering kali menyaksikan adegan tidak senonoh mereka berdua, Birhan dan Tini. 

Lihat selengkapnya