RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #3

AWAL

Bagas terbaring di kasur sambil menggigit handuk, menggertakkan giginya begitu keras dan keringat dingin membanjiri wajahnya. Rasa nyeri dari luka tembak di paha kanannya menyusup hingga ke tulang. Bagas tahu bahwa dirinya tidak punya pilihan lain selain mengeluarkan peluru yang bersarang di pahanya. Akan tetapi, dalam situasi runyam ini, tidak ada waktu dan tenaga lagi untuk mencari bantuan medis. Namun tiba-tiba, pintu kamar yang ditempati Bagas terbuka dan seorang pria berjas dokter masuk, diikuti oleh seorang wanita bernama Kilau yang kini sudah berpakaian rapi, berbeda dari penyamaran lusuhnya sebelumnya.

"Tenang, Pak. Saya akan melakukannya dengan cepat," ujar pria itu sambil bersikap tenang, lalu Kilau dengan cekatan membantu mengeluarkan pisau bedah dan alat-alat steril dari tas pria itu. Bagas merasakan jarum anestesi menusuk kulitnya, sensasi dingin menjalar perlahan. Pandangannya mulai kabur, kesadarannya memudar, dan ingatan pada awal mula semua ini bisa terjadi muncul begitu saja.

Malam hari itu, di dalam markasnya, Bagas berdiri dengan ekspresi wajah yang dingin, pandangannya menusuk seperti hewan buas yang akan menerkam. Api dari korek gas berwarna merah dengan inisial ‘BZ’ dinyalakan untuk menyalakan sebatang rokok yang dihisap Bagas untuk menenangkan diri. Dia pun mengembuskan asap rokok itu kepada salah satu peminjam bernama Doni, yang belum membayar utangnya, dan digantung di sebuah besi tua yang dingin dan berkarat tepat di hadapannya. Bagas melirik sebuah pipa besi di samping dan mengambilnya setelah mematikan rokoknya. Dengan wajah kesal, Bagas hendak melayangkan pipa besi itu kepada Doni, tetapi anak buahnya, Abas, menghentikannya dengan memanggil namanya.

“Bos! Maaf ganggu waktu senang-senangnya. Si Iwa mau bayar utang katanya,” ucap Abas dengan lantang dan di sampingnya sudah ada Iwa.

Iwa yang dua minggu lalu berada di posisi Doni membelalakkan mata saat melihat tubuh Doni sudah tergantung, dengan kepala yang hampir menyentuh lantai. Ketakutan merayapi tubuhnya, menyadarkan Iwa bahwa dia terjerat dalam perangkap yang mengerikan. Iwa tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan berurusan dengan rentenir sekejam Bagas.

Saat pertama kali meminjam uang, Bagas dengan sopan meyakinkannya bahwa dia bukanlah rentenir yang akan menghilangkan nyawa. Kata-kata manis itu diucapkan dengan senyum lembut, seperti mantra yang membuat Iwa tergiur. Namun, seharusnya Iwa lebih berhati-hati dan meresapi setiap kata yang diucapkan Bagas karena kini Iwa merasakan dampak dari kecerobohannya. Setiap malam, Iwa terjaga dengan bayangan dirinya yang tergantung dan khawatir akan hilang seperti berita para peminjam lain yang telat membayar utang. Akan tetapi, Iwa merasa bisa menyelamatkan diri ketika seseorang memintanya merekam Bagas dengan pulpen rekaman untuk mendapatkan bukti kekejaman Bagas serta hilangnya para peminjam, setelah dia menerima bayaran dari orang tersebut.

“Saya mau bayar utang, Bagas. Ini saya lunasi semuanya,” ucap Iwa dengan menyerahkan amplop kepada Bagas.

“Nah, gitu dong!” Bagas menerima amplop itu dengan senyum sinis dan mengambilnya dengan kasar, kemudian memerintahkan anak buahnya untuk menghitung uang dalam amplop menggunakan mesin penghitung uang.

“Iya, saya nggak akan hilang setelah ini, kan, Bagas?” tanya Iwa sambil menelan ludahnya, tetapi Bagas menatap Iwa dengan perasaan tidak suka.

“Kenapa? Kamu mau saya hilangkan seperti para penyewa lain?” tanya Bagas balik dengan menatap Iwa tajam.

“Jadi, berita itu benar?” gumam Iwa sambil menekan jari kukunya.

"Bos, kurang lima ratus ribu!" seru salah satu anak buah Bagas dengan suara tegang.

Bagas menoleh tajam ke arah mesin penghitung uang, dan angka sembilan juta lima ratus ribu rupiah terpampang jelas di layar digital. Mata Bagas menyala dengan amarah, wajahnya memerah, dan dagunya mengeras. Dia memelototi Iwa yang berdiri gemetar di hadapannya.

"Apa ini, Iwa? Kurang lima ratus ribu. Kamu kira bisa mengelabui saya?"

"Saya yakin uang di amplop itu sepuluh juta," jawab Iwa gugup, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.

Bagas tertawa sinis, suaranya menggema di ruangan itu. "Kamu pikir saya sebodoh itu? Sudah banyak yang mencoba menipu saya, tapi mereka semua berakhir sama. Kamu mau saya gantung di sebelah Doni?" 

Iwa menelan ludah, berusaha menenangkan diri. "Tolong dihitung lagi!” pintanya. “Orang itu…, orang itu bilang sudah memberikannya dua kali lipat,” gumam Iwa memelankan suaranya, membuat Bagas mengerutkan kening karena hanya mendengar kata ‘dua kali lipat’. “Jadi, nggak mungkin salah! Mesinnya! Mesinnya pasti rusak."

Bagas mendekat, wajahnya makin dingin dan menakutkan. "Rusak katamu?!"

Iwa berusaha menahan gemetar tubuhnya, berharap keberuntungan ada dipihaknya. Seakan doanya didengar, salah satu peminjam favorit Bagas datang untuk membayar utangnya. Bagas yang awalnya bersiap melayangkan sumpah serapah kepada Iwa, tiba-tiba berteriak bahagia melihat kedatangan orang tersebut. 

Lihat selengkapnya