Udara dingin menyelimuti ketegangan pada malam hari ini. Para kliennya percaya, dia adalah jembatan untuk membantu ekonomi keluarga yang pas-pasan. Dia selalu berhasil menyihir mata semua orang dengan keindahan ucapannya, setiap kata meluncur tanpa hambatan, seperti kalimat yang diasah dan menjadi kebiasaan yang sulit dilepaskan. Rayuan dari ucapannya yang dituturkan selalu tenang, mengisyaratkan bahwa dia adalah orang yang bisa dipercaya. Namun, mereka tidak menyadari bahwa rayuan yang tenang adalah jebakan tak kasat mata yang mematikan. Akan tetapi, rayuan yang tenang itu tidak terjadi hari ini. Kata-kata yang diucapkannya kepada para klien baru yang datang untuk pertama kali, selalu mengandung penekanan dalam setiap kata karena kemarahan yang dipendam.
Tangannya mengepal di balik meja, buku-bukunya berderit saat dia menahan marah yang membara. Pikirannya tidak bisa lepas dari satu nama, yaitu Bagas Zulfikar. Informasi yang dia terima dari salah satu anak buahnya bahwa Bagas berhasil kabur membuat darahnya mendidih. Seharian itu, dia menunggu orang kepercayaannya yang biasanya tidak pernah terlambat. Namun, beberapa kali dihubungi, orang itu tidak juga menjawab, seolah sengaja menghindari sumpah serapah yang siap meledak dari mulutnya. Dia tidak terbiasa menunggu, apalagi ketika dialah bos besarnya di sini, penguasa yang sebenarnya harus ditakuti.
Akhirnya, setelah beberapa jam menunggu yang terasa seperti siksaan, orang kepercayaannya muncul. Dia mengenakan jubah hitam seperti malaikat maut yang sebenarnya dikenakan juga oleh anak buahnya yang lain dengan tudung yang menutupi sebagian besar wajahnya, dan hanya menyisakan sepasang mata yang menyiratkan kegelisahan. Tanpa basa-basi, dia mendekat ke arah orang kepercayaannya dan menampar pipinya berulang kali. Tiap tamparan adalah bentuk dari kemarahannya yang tertahan sejak tadi, sebuah peringatan bahwa dia tidak akan ragu untuk menghukum siapa pun yang gagal melakukan rencana yang semestinya berjalan dengan lancar.
***
Keesokan harinya, Bagas terbangun di tempat tidurnya di kediaman Kilau. Seprai terasa kasar, dan bau antiseptik menyeruak di hidungnya. Dia melihat ke segala arah, tetapi tidak menemukan siapa pun selain dirinya. Rasa nyeri mencengkeram paha kanan Bagas saat dia berusaha bangkit, membuatnya sedikit meringis. Bagas memutuskan untuk keluar kamar dan berusaha mencari Kilau. Sejak kemarin, pikirannya dipenuhi tanda tanya tentang Kilau.
Kenapa Kilau menolongnya kabur dari kejaran polisi? Apakah bantuan Kilau hanya tipuan? Bagas merasa waswas, takut bahwa kebaikan Kilau adalah jebakan yang dirancang seseorang. Saat langkah Bagas berhenti di depan pintu bertuliskan "Kilau's Room," hatinya diserang perasaan campur aduk. Bagas pun mendorong pintu itu perlahan, menemukan ruangan yang rapi dengan meja kayu di sudut. Di atasnya, terdapat foto Kilau mengenakan jas dokter. Namun, ada satu hal yang menarik perhatian Bagas hingga membuatnya berjalan mendekat dengan tergesa-gesa.
Sembilan foto tertempel di papan persegi panjang dengan keterangan "Orang Hilang." Di atas kesembilan foto tersebut, terdapat foto Bagas dengan keterangan "terduga pelaku" dan tanda tanya besar di sebelahnya. Kening Bagas mengerut saat mengenali delapan orang di antara sembilan orang hilang yang terpajang, yang tidak lain adalah para peminjamnya yang hilang entah ke mana, sehingga membuat Bagas menjadi sasaran empuk tuduhan dari para keluarga mereka. Sementara itu, terdapat satu foto yang tidak dikenali Bagas. Foto tersebut memperlihatkan seorang laki-laki berumur enam puluh tahun dengan rambut cepak dan sedikit beruban, kulit kuning langsat, dan tertera nama "Fahmi" di atas fotonya.
“Dia adalah ayah saya,” suara Kilau tiba-tiba terdengar di dekat pintu, wajahnya berbentuk riasan rubah dengan pakaian jubah hitam, membuat Bagas mengerutkan kening karena riasan dan pakaiannya tidak serasi. “Ah, sorry! Saya habis buat make up karakter rubah,” jelas Kilau sambil membuka jubah hitamnya, mengambil pembersih make- up, lalu menghapus riasannya dengan sedikit meringis kesakitan pada pipinya.
“Oh, saya nggak peduli,” jawab Bagas dingin, lalu menatap kembali ke arah kesembilan foto ‘Orang Hilang’. “Kamu lagi menyelidiki saya? Dan ayah kamu, saya nggak kenal. Dia bukan peminjam di tempat saya. Jadi, kalau niat kamu membawa saya untuk membalas dendam, itu percuma. Itu tujuan kamu menyelamatkan saya, kan?” tanya Bagas dengan nada serius.
“Saya sudah menduga kalau kamu nggak akan peduli.” Kilau tersenyum sebelum melanjutkan. “Bukan saya yang menyelidiki kamu, tapi ayah saya dan saya pun nggak ada niat balas dendam.”
Bagas menaikkan alisnya masih curiga. “Terus?”
“Terus, saya menyelamatkan kamu agar punya utang budi atas pertolongan yang saya lakukan." Kilau mendekat ke arah Bagas, lalu membisikkan sesuatu. "Jadi, saya punya permintaan, dan saya harap kamu menyanggupinya." Kilau menjauhkan tubuhnya setelah berbisik sambil melirik Bagas dengan pandangan misterius.
“Permintaan? Permintaan apa?” tanya Bagas dengan nada sinis.
“Menemukan keberadaan ayah saya,” jawab Kilau sambil melihat foto Fahmi di papan.
“Kamu pikir saya mau?”
“Harus mau.”
“Apa untungnya bagi saya? Dengar! Saya kabur karena ingin mencari bukti bahwa saya nggak melakukan pembunuhan. Kamu pikir, saya punya banyak waktu untuk menolong orang asing seperti kamu?”
“Untungnya untuk kamu?” Kilau mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu seolah sedang berpikir, lalu jarinya menunjuk ke arah foto-foto orang hilang di papan. “Saya yakin kesembilan orang yang hilang ini ada hubungannya dengan pembunuhan Iwa Suwardi. Saya tahu ayah saya sedang menyelidiki orang-orang hilang ini dan mengenal almarhum Iwa.” Kilau mendekat ke arah Bagas. “Siapa tahu, dengan kamu membantu saya menemukan ayah, ayah saya bisa menjadi saksi baru bagimu. Juga, ada bukti lain yang akan berguna untukmu karena ayah saya selalu membawa pulpen rekamannya,” jelas Kilau, membuat Bagas menaikkan alisnya kembali.
“Pulpen rekaman?” ulang Bagas, mengingat sebuah pulpen yang terjatuh dari saku Iwa, yang membuat Bagas meminta Abas untuk menyelidiki Iwa karena takut berkhianat.
“Iya, pulpen rekaman. Setahu saya, ayah juga memberikan benda itu kepada Iwa,” jawab Kilau dengan yakin.
“Oh, jadi itu ulah ayah kamu! Pantas aja si Iwa nanya kayak gitu.” Bagas tersenyum sinis mengingat Iwa pernah menanyakan apakah dirinya benar membuat orang lain hilang. Namun, senyum sinis Bagas berganti dengan senyum masam saat ingat bahwa karena pulpen rekaman itulah Bagas ada di kondisi sekarang ini. “Kenapa kamu nggak lapor polisi aja?” tanya Bagas mencoba mengorek lebih dalam motif Kilau.
“Saya udah coba melaporkan kehilangan ayah saya, tapi polisi bilang bahwa bukti yang saya punya nggak kuat. Mengingat terakhir kali ayah dan saya bertengkar, polisi menduga bahwa ayah saya hanya kabur dari rumah untuk sementara,” jelas Kilau sambil terlihat mengingat-ingat kejadiannya.
Bagas terdiam sejenak, bayangan ayahnya yang tewas di tangan salah satu peminjamnya beberapa tahun lalu melintas di benaknya, lalu dia pun segera mengendalikan diri dengan mengambil napas dalam-dalam, kemudian dia menatap Kilau. “Kalau saya setuju bekerja sama dengan kamu, saran apa yang akan kamu berikan?” tanya Bagas setelah hatinya sedikit tergerak saat mendengar tentang seorang ayah.
Kilau mengetuk-ngetukkan jarinya ke dagu, memikirkan saran apa yang harus dia berikan, lalu Kilau pun menjentikkan jarinya, seolah mendapat pencerahan. “Kamu ingat kejadian di hari pembunuhan? Bisa diceritakan?”
Namun, Bagas tertawa mendengar permintaannya itu karena masalah utama Bagas adalah tidak bisa mengingat kejadian di hari pembunuhan yang membuatnya bingung.