Inspektur Iriana bersama Detektif Yudha berdiri di depan Klinik Kesehatan. Mereka menunggu salah satu staf klinik untuk ditanyai perihal apakah ada orang yang datang ke klinik dengan luka tembak di pahanya atau tidak. Sembari menunggu, Inspektur Iriana membuka forum internet komunitas desa melalui ponselnya. Matanya menyapu sederet postingan terbaru yang membahas kasus Bagas Zulfikar. Sebuah komentar dengan banyak tanggapan menarik perhatiannya.
"Bagas Zulfikar nggak takut sama polisi! Kalau Polisi Desa Murni nggak bisa bertindak tegas, kita butuh sosok vigilante seperti Batman untuk menghadapi dia secara langsung!"
Kemudian, dia membaca komentar lain yang mendapat banyak dukungan dari anggota forum. Matanya menyipit saat menatap layar. "Polisi sekarang kerjanya apa? Makan gaji buta dari uang pajak masyarakat, ya?" Wajah Inspektur Iriana mengeras saat membaca komentar itu. Jari-jarinya mengetuk layar ponsel dengan sedikit lebih keras, menunjukkan kekesalannya.
"Kita harus segera tangkap dia lagi!" katanya dengan suara tegas, menoleh ke Detektif Yudha yang juga terlihat waspada.
"Maaf menunggu, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang staf klinik yang akhirnya muncul dengan sedikit berlari dari arah pintu klinik.
“Apa kami bisa melihat rekaman CCTV yang menyorot ke arah klinik ini, Pak? Kami sedang mencari orang dengan luka tembak di paha,” tanya Inspektur Iriana dengan nada serius.
“Mohon maaf, Bu. CCTV yang mengarah ke klinik belum diperbaiki. Pemeliharaannya tertunda karena kurangnya biaya,” jawab staf itu sedikit malu.
Inspektur Iriana menghela napas berat. “Kalau begitu, apa tiga hari yang lalu ada orang dengan luka tembak di paha ke sini?”
“Luka tembak? Ah, Bagas ya, Bu?” tanyanya membuat Inspektur Iriana mengangguk. “Tapi, Bu, dalam tiga hari terakhir, Bagas nggak pernah datang ke sini. Saya jamin, ini nggak bohong! Kebetulan, dokter ahli yang biasa merawat luka seperti itu juga sedang cuti. Meski ada dokter pengganti, tapi beliau akhir-akhir ini cuman memeriksa pasien dengan gejala batuk pilek,” jelas staf itu dengan yakin.
“Dokter ahli yang cuti? Cuti sejak kapan?” tanya Inspektur Iriana, matanya menyipit penuh selidik.
“Sejak awal minggu ini, Bu. Katanya ada urusan keluarga mendesak.”
“Boleh hubungi dia, Pak?” pinta Inspektur Iriana.
Staf itu mengangguk, lalu dengan cekatan mengeluarkan ponselnya dan menghubungi dokter tersebut. Setelah beberapa panggilan, sambungan telepon tersambung. Inspektur Iriana mendengarkan dengan saksama saat staf itu berbicara dengan dokter yang sedang cuti.
Setelah percakapan singkat, staf itu menyerahkan ponselnya kepada Inspektur Iriana. "Mohon maaf mengganggu waktunya, Pak,” kata Inspektur Iriana dengan tegas dan sopan. “Kami sedang mencari buronan yang kabur dan dia sedang terluka. Jadi, kami harus memastikan ini. Apa selama tiga hari ke belakang bapak tidak kembali ke Desa Murni?" tanya Inspektur Iriana langsung.
Suara dokter di seberang telepon terdengar lelah, hampir terselip keraguan di balik nada bicaranya. Namun, dia segera menjelaskan bahwa urusan keluarganya memang mendesak dan dia memiliki bukti perjalanan serta kesaksian dari istrinya yang sakit untuk mendukung klaimnya.
Inspektur Iriana mendengar dengan saksama, memperhatikan setiap nada dan jeda dalam percakapan. Meskipun penjelasan dokter terdengar rinci dan logis, ada sesuatu yang membuatnya waspada, meski hanya sesaat. Namun, dengan keterbatasan bukti, dia memutuskan untuk menerima penjelasan itu. “Baik, terima kasih atas informasi dan kerjasamanya,” kata Inspektur Iriana, sembari mengembalikan ponsel kepada staf, pikirannya sudah melayang kepada langkah selanjutnya.
“Nggak ada yang ditanyakan lagi, kan, Bu?” tanya staf itu.
“Untuk sekarang cukup, Pak. Terima kasih atas kerjasamanya,” jawab Inspektur Iriana.
Staf itu pun mengangguk dan kembali ke aktivitas di klinik. Sementara itu, Inspektur Iriana dan Detektif Yudha berjalan ke arah mobil.
“Yudha, ada informasi kemunculan Bagas dari Yono dan Ridwan yang menjaga Abas di kediamannya?” tanya Inspektur Iriana.