RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #6

SAKSI DUSTA

Yono dan Ridwan tersentak sadar, kepalanya terasa berat dan pandangan mereka kabur. Mereka saling bertukar pandang, kebingungan masih menyelimuti otak mereka yang baru pulih. Namun, keterkejutan di wajah mereka memuncak ketika melihat sosok Abas melangkah mendekat dari luar, membawa satu gelas kertas berisi kopi di tangannya. Mereka tahu, Abas seharusnya berada di dalam rumah.

Di kejauhan, Bagas dan Kilau yang hampir sampai di kediaman Abas segera berhenti. Tanpa sepatah kata, mereka saling pandang dan bergerak serempak, menyelinap ke balik dinding terdekat. Kilau menahan napas, sementara Bagas mengintip dengan hati-hati, memastikan langkah mereka tetap tersembunyi dalam bayang-bayang.

“Dari mana kamu?! Kenapa tidak melapor?” tanya Yono dengan tegas sambil berusaha memulihkan kesadarannya.

Abas menahan napas, menatap lurus ke depan sejenak, sebelum akhirnya berkata dengan nada yang dibuat-buat tenang, “Maaf, saya nggak tega bangunin kalian tidur cuma buat beli kopi.” Abas berpura-pura terjatuh, tangannya menyelipkan kembali ponsel-ponsel yang sebelumnya dia ambil diam-diam ke bawah tempat duduk mereka. Dia tahu, tanpa ponsel itu, mereka akan lebih lama sadar jika ada yang mencoba menghubungi.

Di balik jaketnya, amplop yang baru saja dia terima dari seseorang masih terasa berat, membuat Abas makin gelisah karena khawatir ketahuan. Mata Abas sesekali melirik sekeliling, memastikan tidak ada yang memperhatikan setiap gerakannya.

“Belum ada tanda-tanda kemunculan Bagas waktu kamu beli kopi, kan?” tanya Yono penuh selidik.

“Belum, tenang saja, kalaupun ada nanti saya bilang ke kalian,” jawab Abas memaksakan senyumnya.

Sementara itu, Ridwan terlihat sibuk mencari ponselnya. Abas pun segera masuk ke dalam rumahnya tanpa memberi tahu di mana ponsel yang tadi dia lempar agar terkesan alami. Di sisi lain, Bagas dan Kilau yang bersembunyi di balik dinding tak jauh dari pintu rumah Abas, membagi tugas agar rencana mereka bisa berjalan lancar.

"Saya akan masuk dari belakang. Sementara kamu, buat sibuk polisi itu agar nggak curiga,” bisik Bagas kepada Kilau.

“Saya juga mau ikut masuk ke dalam untuk ketemu Abas!” kata Kilau.

“Nggak-nggak! Kalau kamu masuk dan ternyata kalian berdua kerjasama—”

“Argh! Yaudah kalau gitu. Saya bakal distraksi polisi itu,” sela Kilau merasa kesal mendengar Bagas yang sedari tadi tidak henti-henti mencurigainya.

“Yaudah sana!” kata Bagas yang tangannya seolah mengusir Kilau untuk segera mendekat ke arah dua polisi itu.

Kilau menarik napas panjang sebelum mendekat, memastikan dirinya siap. Dia menghampiri polisi yang berjaga di depan dengan langkah mantap, mengetik alamat dari nama jalan dan gang yang diingatnya dari saat mengikuti Bagas ke kediaman Abas. Sambil berpura-pura bertanya tentang alamat tersebut, pikirannya melayang kepada rencana Bagas nanti di dalam setelah bertatap muka dengan Abas. Sementara itu, Bagas melangkah perlahan menuju pintu belakang rumah Abas. Setiap langkah terasa berat, meski panas terik matahari tidak mampu menembus ketegangan yang mengelilingi aura gelap rumah itu.

Bagas melangkah perlahan menuju ambang pintu belakang rumah Abas, lalu dia menurunkan masker hitam dari wajahnya. Kini, matanya tertuju pada Abas yang baru saja menghabiskan kopi di gelas kertas tersebut. Saat Abas berbalik dan melihat Bagas, wajahnya langsung pucat. Mata Abas melebar, ketakutan jelas terpancar dari raut wajahnya saat menyadari siapa yang berdiri di hadapannya.

“Bos ….” Suara Abas bergetar. Tangannya refleks menyentuh daun telinga kanannya, sebuah kebiasaan lama saat dia merasa terpojok atau sedang berbohong. Tanpa sadar, dia langsung berlutut, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya. Matanya bergerak liar, melirik ke kanan dan kiri seolah mencari jalan keluar dari situasi ini. Namun, yang menarik perhatiannya adalah amplop cokelat di atas meja.

Tanpa pikir panjang, Abas menyambar amplop itu dan menyelipkannya ke dalam saku jaketnya dengan gerakan yang begitu cepat, seakan nyawanya bergantung pada amplop tersebut.

“Sudah punya bos baru yang bayar kamu untuk melakukan semua ini?!” Bagas menatap tajam ke arah Abas.

"Maaf, Bos! Tapi, ini bukan seperti yang Bos kira,” kata Abas sambil menelan ludah.

Bagas menarik kerah jaket Abas dengan tatapan tajam, seperti hewan buas yang siap menerkam mangsanya. “Bukan seperti yang saya kira? Saya sudah kenal kamu delapan tahun, Abas! Kalau kamu pegang daun telingamu itu, berarti kamu sedang berbohong!” bentak Bagas, rahangnya makin mengeras. “Dan beraninya kamu taruh sidik jari saya di pisau itu, lalu kasih kesaksian ke polisi bahwa saya yang membunuh Iwa?! Kenapa? Yolan yang suruh kamu?!” teriak Bagas dengan kesal, membuat Kilau yang ada di luar seketika panik.

Kilau segera berteriak, berimprovisasi kepada dua polisi dengan alasan tenggorokan gatal. Teriakannya membuat Bagas menoleh sekilas ke arah pintu depan, lalu kembali menatap Abas dengan sorot mata marah. 

"Bos tahu? Bukannya Bos kena hip—" ucapan Abas terpotong, terhenti oleh tinju Bagas yang menghantam pipinya dengan keras. Abas tersentak, menahan rintih dengan satu tangan memegangi sudut bibir yang kini perih. Saat dia menarik tangannya, dilihatnya noda darah mengotori jarinya.

Sebuah senyum aneh tiba-tiba terukir di wajah Abas, menyingkap rahasia yang selama ini berusaha dia sembunyikan. "Baguslah, kalau kamu tahu," katanya, kini dengan nada yang lebih tenang. "Saya nggak harus pura-pura lagi jadi anak buahmu yang penurut itu."

Abas bangkit perlahan, mendekat ke arah pintu depan dan matanya melirik ke arah jendela yang tirainya sedikit terbuka. Dia melihat Kilau sedang beradu peran dengan polisi.

“Ternyata benar kata orang itu, saya harus menemui kamu dulu untuk menghajarmu habis-habisan karena berani mengkhianati saya!

“Orang itu? Orang yang bantu kamu ingat kalau kamu di hipnotis? Bukannya kamu nggak mudah percaya sama orang lain, Bagas?! Hahaha, rasanya senang bisa lihat kamu yang putus asa ini, tapi saya ingatkan lagi, jangan terlalu percaya dengan orang yang bisa menghipnotis!” kata Abas menyunggingkan senyumnya.

“Diam!” Bagas menggeram, rahangnya mengeras saat tatapannya tidak melepaskan pandangan dari Abas. “Hidup saya, keputusan saya. Kamu nggak punya hak untuk mengaturnya!” kata Bagas, penuh penekanan pada setiap kata yang mencerminkan amarahnya. “Sekarang, ikut saya ke kantor polisi atau katakan pada mereka yang sedang mengawasi kamu di luar bahwa Yolan yang menyuruhmu untuk menjebak saya. Katakan juga bahwa bukti-bukti yang mengarah kepada saya adalah hasil rancangan kalian!”

Abas mendengus dan matanya menyipit tajam. “Kamu pikir saya mau? Saya sudah berhasil buat kamu sampai kayak gini. Dan saya nggak akan biarkan orang yang merancang semua ini tertangkap!”

Lihat selengkapnya