Dua tahun yang lalu, Kilau dan Pandu dengan penuh semangat meresmikan klinik psikolog MindCare mereka di ibu kota. Klinik itu adalah simbol dari kerja keras dan mimpi yang terwujud, tempat di mana mereka melayani pasien dengan penuh dedikasi. Setiap sudut ruangan klinik dipenuhi dengan harapan dan impian untuk menjadi yang terbaik di kota.
Namun, setahun kemudian, di tahun 2007, impian itu hancur dalam sekejap. Malam itu, Kilau dan Pandu masih berada di klinik untuk merapikan laporan pasien terakhirnya. Keduanya berjanji akan makan bersama dengan calon istri Pandu yang sudah lebih dulu berada di restoran. Namun ketika keduanya bersiap menyusul, suara sirine menggema menuju kliniknya.
Polisi turun dari mobil dengan langkah tegas, membuat Kilau menaikkan alis karena bingung atas kedatangan mereka.
“Anda ditangkap atas tuduhan malpraktik,” kata seorang polisi dengan nada dingin, yang membuat Kilau terkejut dan tubuhnya seperti diberi sengatan listrik yang membuat ritme jantungnya berdebar tak karuan.
Pandu juga tidak kalah terkejut, hanya bisa berdiri membeku, otaknya berusaha keras mencerna apa yang baru saja terjadi. Berita penangkapan seorang dokter psikolog dari "Klinik Psikolog MindCare" menyebar cepat seperti api. Meskipun Kilau dan Pandu bukanlah orang terkenal, laporan dari seorang gubernur di ibu kota membuat kasus ini menarik perhatian luas. Media lokal dan nasional meliputnya dengan gencar.
Pada saat Kilau berada di ruang interogasi, suasananya begitu mencengkam. Kilau duduk di kursi yang keras, menatap detektif di depannya yang tengah mengamati berkas berisi identitas dirinya. Cahaya lampu neon yang dingin memantulkan bayangan wajah serius sang detektif, membuat Kilau merasa makin terpojok. Dia merasakan kuku-kukunya menekan dalam-dalam ke kulit tangannya, berusaha menahan diri agar tetap tenang.
"Jadi, kamu Dokter Kilau dari Klinik Psikolog MindCare?" tanya Detektif itu dengan nada datar. Namun, penuh tekanan.
"Benar," jawab Kilau, suaranya sedikit bergetar, mencoba menutupi gemuruh di dalam dadanya.
“Kamu tahu alasanmu berada di sini, kan?” Suara Detektif itu terdengar rendah dan penuh kewaspadaan. Kilau menggeleng pelan, mencoba mengendalikan kegugupan yang merayap naik.
Detektif itu mempererat tatapannya. “Baru-baru ini, kami mendapat laporan bahwa Raina, putri Pak Gubernur, ditemukan tewas bunuh diri. Orang tuanya menyatakan bahwa mentalnya tidak stabil akhir-akhir ini. Semua ini terjadi setelah dia menjalani konseling di klinikmu.”
Kilau merasakan aliran darahnya berhenti. Tubuhnya kaku, seolah terpaku di kursi yang didudukinya. Detak jantungnya memburu, memompa dengan kekuatan yang menyakitkan di dada. Tangannya gemetar tanpa kendali, sementara keringat dingin mengalir di punggung, membuatnya merasa semakin terhimpit oleh tekanan yang mencekam.
“Melalui penyelidikan kami,” lanjut Detektif itu terdiam sejenak, memberikan Kilau waktu untuk meresapi kata-katanya. “Kami menemukan bahwa Raina adalah orang yang menyebabkan kematian sahabatmu. Dia tidak mengangkat telepon saat sahabatmu sangat membutuhkan bantuan keuangan. Raina merasa bersalah, dan dia tidak pernah memaafkan dirinya sendiri.”
Detektif itu mencondongkan tubuhnya ke depan, mata mereka bertemu dalam tatapan yang tajam dan menusuk. “Kami curiga, selama konseling di klinikmu, kamu menghipnotisnya, membuatnya lebih mudah terjatuh ke dalam jurang keputusasaan hingga akhirnya bunuh diri.”
Kata-kata itu menghantam Kilau seperti pukulan keras di perut, membuat dunia di sekelilingnya berputar. Kilau menelan ludah, berusaha meredam rasa panik yang menjalar cepat. “Itu nggak benar!” suaranya bergetar, tetapi dia mencoba mempertahankan ketenangan. “Saya nggak pernah punya niat buruk terhadap Raina. Saya hanya berusaha membantunya. Itu saja.”
Namun, polisi terus mendesak, menggali setiap sudut yang mungkin mengandung bukti. Meski begitu, mereka kesulitan menemukan sesuatu yang kuat untuk menjerat Kilau secara hukum. Di sisi lain, keluarga Raina tak henti-hentinya menuding Kilau sebagai dalang di balik tragedi itu, menuduhnya telah memanipulasi Raina hingga mengambil langkah terakhir yang tragis.
Di tengah tekanan yang semakin meningkat, Fahmi, ayah Kilau, tidak bisa tinggal diam. Sebagai seorang wartawan berpengalaman, dia menggunakan seluruh kemampuannya untuk mengungkap kebenaran di balik kematian Raina. Fahmi menelusuri setiap jejak informasi dengan tekad tak kenal lelah. Namun, keluarga Raina bukan lawan yang mudah. Mereka mengerahkan pengaruh besar untuk menekan usaha Fahmi, bahkan mengumbar nama Kilau ke publik.
Masyarakat yang marah dan penuh prasangka mulai menyerang Kilau, baik secara verbal di media online maupun secara fisik dengan melempar kotoran ke rumahnya. Rasa bersalah mulai menggerogoti Fahmi saat dia melihat anaknya semakin menderita. Kegagalannya membersihkan nama Kilau mematahkan semangatnya, hingga akhirnya dia memilih untuk pensiun lebih awal.