RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #10

PARA PEMAIN

Bagas bisa melihat dari celah semak-semak saat Pandu menyapa seorang pria berpakaian biasa di luar gubuk. Wajah pria itu terlihat gelisah, pandangannya sesekali terarah ke pintu yang tertutup rapat. Bagas memperhatikan setiap gerakan, detak jantungnya makin cepat, merasakan bahwa mereka makin dekat dengan kebenaran.

Tiba-tiba, pintu gubuk terbuka. Seorang lelaki keluar dengan wajah sumringah, menggenggam amplop tebal di tangannya. Pandu yang belum masuk, ikut tersenyum melihatnya. Pria yang menunggu di luar gubuk membelalakkan mata, menelan ludah, berharap kunjungannya kali ini akan membawa hasil serupa. 

“Silahkan, Pak. Sekarang, giliran Bapak!” kata Pandu memperbolehkannya masuk.

Mengetahui itu, Bagas dan Kilau segera mendekat ke arah belakang gubuk dengan mengendap-endap, berjongkok di balik semak-semak yang mengitari tempat itu. Orang bertudung hitam yang berjaga di depan gubuk tidak menyadari keberadaan mereka. Ketika Bagas secara tidak sengaja menginjak ranting kayu yang mengeluarkan suara patahan, penjaga itu hanya mengabaikannya, mengira itu suara binatang kecil yang lewat.

Bagas dan Kilau terus bergerak dengan hati-hati hingga mencapai belakang gubuk. Aroma melati yang kuat menyusup dari celah-celah dinding gubuk, membuat Kilau menahan napas. Melalui celah itu, mereka mengintip ke dalam, melihat hiasan perdukunan memenuhi ruangan, seperti jimat-jimat menggantung, lilin-lilin menyala dengan api yang bergetar, dan patung-patung kecil berdiri di atas altar kayu.

Bagas dan Kilau terperangah saat melihat seorang laki-laki tua duduk di tengah ruangan. Laki-laki itu berpakaian serba hitam dengan jubah hitam yang sama seperti yang dipakai anak buahnya. Dia memakai batu akik besar di tangannya yang sekarang terlihat seolah sedang berdoa di depan dupa yang dibakar sambil membacakan mantra dengan suara rendah. 

“Mbah, saya bawa uangnya,” ucap pria yang tadi dibawa Pandu memberikan setumpuk uang pecahan seratus ribu dan lima puluh ribu dengan total dua juta rupiah, tetapi dukun itu tidak menggubrisnya. 

“Biar saya bantu,” tawar Pandu yang ada di sana, membantu memasukkan uang ke dalam sebuah kotak. 

Dukun itu semakin keras merapal mantranya, suaranya makin dalam dan bergema. Kotak tersebut terlihat bergetar, dan suara dentingan logam memenuhi ruangan, membuat pria itu menyipitkan mata karena tidak nyaman. Beberapa detik kemudian, kotak di hadapannya berhenti bergetar dan terbuka, memperlihatkan isinya yang kosong. Wajah pria itu seketika berubah menjadi pucat, matanya membelalak tak percaya.

"Uang saya, uang saya mana, Mbah?" suaranya penuh kepanikan.

Dukun itu berhenti merapalkan mantra, matanya tetap terpejam seolah mendengarkan bisikan dari dunia lain. Suara dukun terdengar serak dan bergetar. "Arwah penolong saya bilang, uang ini tertahan. Jumlahnya kurang untuk menggandakan uangmu. Arwah memerlukan lebih banyak energi. Kamu harus menambah uang yang sebelumnya kamu isi dalam kotak ini."

Pria itu mengerutkan kening, cemas tergambar jelas di wajahnya. "Uang yang saya berikan tadi itu uang tabungan saya, Mbah. Apa nggak bisa sekarang aja? Saya sangat membutuhkannya sekali."

Dukun menggeleng kepalanya pelan, matanya tetap terpejam. "Arwah penolong nggak pernah berbohong. Mereka menuntut lebih, pasti karena ada alasannya. Kalau kamu nggak menurutinya, uangmu akan tertahan di alam mereka, nggak akan bisa kembali ke dunia ini."

"Apa? Kenapa bisa begitu, Mbah?" tanya pria itu panik.

Lihat selengkapnya