Suasana ruangan tampak serius di ruang tengah kediaman Yolan pada tengah malam. Yolan menyandarkan punggungnya ke sofa, memikirkan sesuatu sambil memijat kepalanya. Sebuah foto yang Kilau potret saat membuntuti Pandu menunjukkan Pandu sedang berbicara dengan Inah, membuat Yolan percaya dengan apa yang dikatakan Bagas dan Kilau bahwa para peminjamnya yang hilang berhubungan dengan Pandu.
"Apa di mobil yang dia pakai kemarin ada rekaman atau alat lain yang bisa dijadikan bukti kalau dia pelaku pembunuhan Abas? Mereka sebelumnya menyebutkan sesuatu yang digunakan untuk membunuh Abas. Siapa tahu, cara itu dilakukan di dalam mobil," tanya Bagas, nada suaranya penuh kewaspadaan.
"Maksudmu?" tanya Yolan sambil menaikkan alisnya, menatap Bagas dengan tatapan penuh tanda tanya.
Kilau yang mendengar itu, mengangguk pelan. "Bagas mungkin benar. Saya pernah baca di beberapa artikel kalau orang-orang di kota besar sekarang mulai memasang kamera di mobil mereka untuk keamanan. Meskipun di sini belum umum, bisa saja kamu menggunakan alat itu. Mengingat dengan mudahnya kamu beli beberapa CCTV dan rumahmu yang lebih besar daripada milik Bagas …."
Bagas mendengus pelan, menatap Kilau dengan ketidaksukaan yang tidak disembunyikannya karena membandingkan rumah miliknya dengan rumah milik Yolan.
Sementara itu, Yolan tertawa kecil, tetapi matanya menyiratkan keterkejutan. "Kalau saja para peminjam saya nggak hilang, mungkin saya bisa beli mobil dengan fitur canggih seperti itu," katanya dengan nada sinis yang dibuat-buat.
“Bilang saja kalau baru tahu,” sindir Bagas sambil tersenyum tipis.
Yolan menatapnya dengan tajam, merasakan seolah pikirannya dibaca oleh Bagas. Kilau yang menyadari ketegangan yang meningkat di antara mereka, segera berusaha meredakan suasana dengan mengalihkan pembicaraan.
"Pengamatan saya tadi, Pandu itu memakai beberapa identitas berbeda," kata Kilau dengan suara rendah, tetapi tetap terdengar jelas.
Yolan mengerutkan dahi karena kebingungan. "Pandu?"
Kilau mengangguk, sadar bahwa Yolan belum sepenuhnya menyadari siapa yang mereka hadapi. Sejak tadi, mereka hanya merujuk pada Pandu dengan sebutan ‘Dia’. "Iya, orang yang kami ikuti tadi. Di tempat Bagas, dia pakai nama Ucok, dan kalau di tempat kamu tadi, kalau nggak salah dengar, dia pakai nama Tara."
Rahang Bagas mengeras, dan tangannya mengepal erat. Kemarahan menggelegak dalam dirinya, membuat ekspresinya semakin sangar daripada sebelumnya. "Jadi, dia pakai beberapa identitas untuk menipu."
Yolan menimpali dengan nada yang meninggi. "Dia harus saya kasih pelajaran."
"Sebelum kamu, saya yang harus kasih dia pelajaran!" Bagas membalas, suaranya penuh kemarahan. Dia menatap Kilau dengan tajam. "Ngomong-ngomong, kamu kenal orang itu dari mana?"
Kilau menggigit bibirnya, kenangan pahit terlihat di matanya. "Pandu itu rekan kerja saya dulu di klinik psikologi waktu di ibu kota. Kami berpisah setelah tuduhan malpraktik yang menimpa saya."
Bagas menggeram. "Jadi, bisa saja dia yang menghipnotis dan memblokir ingatan saya, kan?"
Kilau mengangguk, keningnya berkerut saat dia merenung dalam-dalam. "Dari yang saya amati tadi, modus mereka adalah mendekati orang-orang putus asa yang nggak bisa bayar utang. Mereka menyelidiki dulu untuk memastikan siapa target yang tepat. Setelah yakin, barulah mereka bergerak. Pandu bertugas merayu target untuk datang ke lokasi dukun itu, mengatakan bahwa sang dukun memiliki ilmu untuk menggandakan uang," jelas Kilau, mengingat bagaimana Pandu menyelidiki Inah dan cara dia meyakinkan pria yang Kilau lihat di tempat dukun sebagai klien. “Kamu dengar waktu dukun yang disebut Mbah Kasman itu meminta Pandu membayar orang yang keluar membawa amplop, kan?"
Bagas mengangguk dan matanya menyipit. "Iya, saya ingat."
“Nah, itu cara kerja mereka secara keseluruhan untuk membuat korbannya semakin yakin bahwa uang itu berhasil digandakan,” kata Kilau, lalu seketika wajahnya tampak cemas dan memucat.
“Kamu baik-baik saja, kan, Kilau?” tanya Yolan yang menyadari perubahan wajah pada Kilau.
Kilau menggeleng cemas. "Saya kepikiran tentang ayah saya. Saya duga, waktu ayah saya menyelidiki kasus orang hilang ini, dia bertemu dengan Pandu. Saya harap Pandu atau Mbah Kasman nggak melakukan hal yang berbahaya kepadanya."
Bagas merapatkan rahangnya, sorot matanya tajam. "Kalau orang itu berbuat sesuatu yang berbahaya kepada ayahmu, saya akan semakin semangat menghabisinya!"
Yolan yang mendengarnya tersenyum sinis, bibirnya melengkung ke atas seolah meremehkan ucapan Bagas. “Yang ada di otakmu itu selalu menghabisi, menghabisi, dan menghabisi,” ucap Yolan, suaranya penuh ejekan.
Bagas menatap Yolan dengan kekesalan yang memuncak. “Ya memang mereka pantas buat dihabisi, dan saya gak paham kenapa mereka lebih percaya rayuan dukun daripada usaha bayar utang—” ucapnya terpotong saat Yolan mendekatkan wajahnya ke arah Bagas, matanya tajam menatap lawannya.
“Kamu kira mereka akan tenang kalau ngadepin rentenir kayak kamu? Mereka pasti tahu apa yang akan terjadi kalau mereka nggak bayar,” ucap Yolan.
Bagas menghela napas, tangannya bergetar karena emosi. “Bicara kamu itu kayak orang bener aja. Emangnya kamu nggak ngelakuin hal sadis seperti apa yang saya lakukan?!”
Yolan menarik diri, mengibaskan tangannya dengan angkuh. “Maaf, tapi metode saya sudah berubah. Sekarang, saya lebih lembut daripada sebelumnya—” ucapnya terpotong oleh Bagas yang meremehkan.
“Lembut? Basi! Kalau lembut tuh para peminjam kamu nggak akan kena rayuan si Pandu itu!” Bagas tersenyum sinis.
“Mereka aja yang serakah! Saya udah baik hati kasih kelonggaran ke mereka kalau nggak bisa bayar utang. Ngedenger sedikit godaan kayak gitu aja, udah kayak dapat uang kaget, padahal belum ada bukti nyata di depan mata mereka!” jelas Yolan membela diri.
“Ini karena kepercayaan masyarakat Indonesia pada dunia supranatural masih tebal. Mereka ingin cepat kaya dengan jalan pintas. Orang-orang seperti Pandu dan Mbah Kasman memanfaatkan itu, nggak peduli latar belakang mereka. Rasionalitas masyarakat belum berkembang sehingga mereka sering terjebak penipuan. Sama seperti kalian, nggak peduli latar belakangnya kayak apa, bersikap lembut di awal agar mereka mau berutang, dan menaikkan bunga yang tinggi daripada perjanjian sebelumnya. Jadi, sama aja kalian juga nipu mereka. Cuman, caranya aja yang berbeda. Oleh karena itu, tolong jangan bertengkar!” jelas Kilau dengan nada sarkastis disela dirinya yang masih mengkhawatirkan keberadaan ayahnya.
Yolan tertawa kecil, duduk kembali ke sofanya. “Sudah saya bilang kalau metode saya sudah berubah dan kami tuh gak bertengkar, ya! Cuman lagi saling pamer aja,” katanya sambil tersenyum kecut.