RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #12

SANDIWARA

Bagas berjalan dengan hati-hati menggunakan tongkat, tas berisi uang seratus juta digendong erat di belakang tubuhnya. Langkah-langkahnya menuju pangkalan ojek terasa lambat, seolah setiap detik berlalu lebih lama. Dia belum memesan ojek, menunggu pesan dari Yolan, yang masih menantikan kabar dari Andi tentang kesiapan anak kecil yang akan menjadi cucu palsunya. Kegelisahan merayap di benaknya, khawatir rencana ini tidak berjalan sempurna.

Saat berpura-pura melihat ke sekeliling, matanya menangkap sosok Pandu yang duduk di motor sedang memantau dari kejauhan. Pandu berusaha terlihat sibuk dengan ponselnya, sesekali membalikkan badan agar tidak tampak mencurigakan. Tidak jauh dari situ, Yolan dan Kilau mengawasi sambil berpura-pura makan di warung.

Beberapa menit kemudian, ponsel Bagas pun bergetar. Pesan dari Yolan masuk, mengabarkan bahwa anak kecil sudah siap di depan rumah yang disewa. Tanpa ragu, dia menghampiri tukang ojek dan memberikan alamat yang tertera di layar ponselnya. Perjalanan menuju rumah sewaan terasa seperti penantian tanpa akhir, penuh dengan kecemasan yang merayap di setiap sudut pikirannya. Setibanya di tujuan, dia turun dari ojek dengan wajah penuh kekhawatiran. Di depan rumah, seorang anak kecil duduk di kursi roda, wajahnya pucat seperti orang sakit.

“Kakek .…” panggil anak itu lemah, membuat Bagas berlutut di hadapannya dengan mata berkaca-kaca.

Bagas merasa puas melihat akting anak kecil itu. Yolan memang pandai memilih orang untuk berperan dalam sandiwara ini. Bagas memeluk anak tersebut dan berkata dengan suara serak penuh kepedihan, "Tahan sebentar lagi ya sayang. Kakek masih cari sisa uang untuk operasi jantung kamu. Kita pasti bisa lewati ini."

“Maafin aku, Kek,” isak cucu palsunya. Bagas mengelus kepala anak itu dan menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Ini udah tanggung jawab Kakek untuk ngurusin kamu setelah kedua orang tuamu meninggal,” ucap Bagas, lalu memeluk cucu palsunya lagi. “Sekarang, kita makan dulu, ya.” Bagas tersenyum ke arah cucu palsu dan membawanya masuk ke dalam rumah. 

Pandu berdiri di seberang jalan, matanya tajam mengamati setiap gerakan Bagas dari balik bayangan. Dia sudah memutuskan, Bagas adalah target selanjutnya, tetapi dia perlu memantaunya lebih lanjut. Tanpa diketahui oleh Pandu, Yolan dan Kilau mengikuti setiap langkahnya dengan motor hitam milik Yolan. Mereka bersembunyi di balik dinding, helm hitam menutupi wajah mereka, sementara kegelisahan mulai merayap di benak mereka. Mengapa Pandu belum bergerak?

Yolan menggigit bibirnya, merasakan ketegangan di udara. Dia meraih ponselnya, jempolnya melayang di atas layar sebelum akhirnya menghubungi Bagas. "Bagas, lakukan sesuatu. Kita perlu buat dia bergerak."

Satu jam kemudian, Bagas keluar dari rumahnya, langkahnya terlihat lemah saat dia memasuki jalan yang ramai. Yolan dan Kilau yang semula bingung, tidak bisa menutupi keterkejutan mereka saat melihat Bagas berhenti di trotoar dan mulai mengulurkan tangan, meminta belas kasihan. Namun, aksi Bagas itu tetap membuat Pandu tidak bergerak. Yolan memutar otaknya, mencoba mencari cara untuk memancing Pandu mendekat ke Bagas. Senyum licik pun mulai terbentuk di sudut bibirnya saat ide itu muncul.

"Kilau, tetap di sini pantau mereka! Saya punya rencana," bisik Yolan menurunkan layar kaca helmnya agar Pandu tidak mengenali wajahnya sebelum bergegas menuju gang tempat para preman berkumpul.

Setelah sampai, Yolan memberi uang tiga ratus ribu rupiah ke pimpinan preman. Mata mereka langsung berbinar, dan tanpa berpikir panjang, mereka menyetujui tawaran Yolan. "Kalian tahu tugasnya. Ambil uang yang dikumpulkan Bagas dari mengemis, lalu beritahu dia kalau kalian datang atas suruhan saya. Tapi ingat, jangan sentuh paha kanan, wajah, atau tangannya!" perintah Yolan, khawatir cedera lama Bagas akan membuat penyamarannya terbongkar.

Salah satu preman dengan nada sinis bertanya, "Kalau semua dilarang, kita harus hajar dia di mana?"

Yolan hanya tersenyum tipis. "Perut. Fokus di situ," jawabnya.

Kembali ke tempat persembunyian, Yolan bersembunyi bersama Kilau di balik bayang-bayang sebuah gedung, helm hitamnya tetap terpasang. Keduanya pun melihat para preman beraksi. Preman-preman itu mengambil uang yang dikumpulkan Bagas, dan saat Bagas mencoba melawan, salah satu preman berbisik, "Kami suruhan Yolan." Bagas tidak jadi melawan dan pasrah saat pukulan demi pukulan menghujani perutnya. 

Pandu yang sejak tadi mengamati, akhirnya memutuskan untuk mendekat. Dia mengusir preman-preman itu dengan memberikan mereka dua ratus ribu rupiah. "Bapak nggak apa-apa?" kata Pandu, berusaha membantu Bagas kembali duduk di trotoar.

Yolan dan Kilau yang mengamati dari kejauhan melakukan high five karena senang rencananya berhasil.

"Bapak nggak apa-apa, Mas," jawab Bagas meringis kesakitan, lalu melihat ke arah Pandu. “Makasih udah nolongin Bapak.”

"Sama-sama, Pak. Saya yang tadi ada di kediaman Yolan. Bapak ingat?" tanya Pandu sambil tersenyum hangat.

"Oh, iya. Saya ingat, tapi nama Mas?" tanya Bagas dengan suara gemetar yang dibuat-buat.

"Saya Tara. Bapak ngapain di sini? Bukannya tadi sama Yolan udah dikasih pinjam?” Pandu menyamarkan namanya, berusaha membuka obrolan dan terlihat simpati. 

“Mau gimana lagi, Bapak butuh tambahan buat makan. Kasian cucu Bapak kalau semakin sakit karena nggak makan. Terus harus cari uang sisanya buat operasi, jadi mau nggak mau bapak cari uangnya begini,” jawab Bagas menampilkan ekspresi murung yang telah dia latih berkali-kali di depan cermin.

“Jadi, seratus juta tadi benar-benar nggak cukup buat operasi cucu bapak, ya?" Pandu bertanya dengan nada empati yang cerdik, menunjukkan keahliannya dalam menipu.

"Iya, benar," jawab Bagas sambil menundukkan kepala.

Bagas memperkirakan Pandu akan memberikan kartu nama, seperti yang dia lakukan kepada Inah, mengarahkan mereka ke dukun palsu. Namun, yang terjadi justru di luar dugaannya. Tanpa mengeluarkan kartu, Pandu tiba-tiba meraih tangan Bagas, membuat Kilau dan Yolan di kejauhan saling bertukar pandang penuh tanda tanya.

Dengan suara lembut penuh arti, Pandu berkata, “Saya bisa bantu Bapak mencari sisa uang itu.”

Bagas pura-pura terkejut, menatap Pandu dengan ekspresi terharu. “Yang benar, Mas Tara? Kenapa Mas mau bantu saya? Saya ini kan orang asing.”

Lihat selengkapnya