RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #13

BENANG KUSUT

Inspektur Iriana duduk di meja kerjanya, menatap tumpukan berkas yang semakin tinggi. Dia memegang laporan hasil otopsi Abas yang meninggal karena keracunan sianida dan berkas pembunuhan Iwa yang ditemukan tewas di gang. Kejanggalan demi kejanggalan muncul di benaknya, seolah benang merah kasus yang tadinya terurai kini menjadi kusut.

Menghela napas panjang, pandangannya tertuju pada papan penyelidikan di dinding yang penuh dengan foto-foto, catatan, dan benang-benang merah yang menghubungkan setiap elemen. Dia berdiri, melangkah mendekat, dan menempelkan foto Kilau Savitri di sebelah gambar Fahmi. Detektif Yudha yang baru datang menyerahkan secangkir kopi, ikut mengamati papan itu.

Beberapa peminjam Bagas menghilang tanpa jejak, tetapi tidak ada satu pun dari kasus ini yang cukup kuat untuk menjerat Bagas karena kurangnya bukti. Inspektur Iriana menatap foto-foto wajah mereka yang hilang, yang berjejer di papan penyelidikan. Pandangannya kemudian berpindah ke laporan autopsi Abas, yaitu racun sianida. Begitu cepat dan mematikan. Pola ini berbeda dengan kasus Iwa, yang ditemukan tewas di gang dengan luka tusukan. 

“Mengapa kasus orang hilang yang jelas-jelas terkait dengan Bagas tidak pernah cukup kuat untuk menjeratnya, sementara kasus pembunuhan Iwa Suwardi dan kematian Abas, meski polanya berbeda, tetap mengarah ke dia?” gumam Inspektur Iriana sambil menyesap kopi, pandangannya tetap tertuju pada papan penyelidikan. “Kamu benar, Yudha. Saya seharusnya dari awal menyelidiki kasus orang hilang itu bersamaan dengan kematian Iwa.”

“Jangan menyalahkan diri sendiri, Bu,” ujar Detektif Yudha dengan nada lembut. “Saat itu Ibu mendapat tekanan dari atasan untuk fokus pada kasus Iwa Suwardi. Kita sepakat dengan keputusan itu. Dan Ibu sudah berjanji akan mengusut kasus orang hilang setelah ini. Sekarang, baru kita sadari keduanya ternyata terkait—terutama setelah kemunculan Kilau.”

Inspektur Iriana mengangguk pelan. “Kamu benar. Terima kasih, Yudha.” Dia menunjuk foto mayat Iwa. “Luka tusukan ini ….” Inspektur Iriana melanjutkan sambil mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. “Lalu, keracunan sianida. Dua hal ini membuat Bagas tampak sebagai pelaku. Apa kamu merasa ada sesuatu yang janggal?”

“Kasus orang hilang?” jawab Yudha.

Inspektur Iriana mengangguk lagi. “Selama ini, kita sering mengaitkan kasus orang hilang dengan Bagas, tapi dia selalu berhasil lolos dari tuduhan. Namun, jika dia benar pelakunya, mengapa dia bertindak begitu gegabah? Mengapa membiarkan mayat Iwa tergeletak di gang dan kematian Abas diketahui sebagai keracunan? Tindakan ceroboh seperti ini tidak sesuai dengan pola biasanya.”

“Apa mungkin kejahatan Bagas semakin berkembang karena dia meremehkan kepolisian?” 

“Tidak-tidak. Ada yang salah di sini. Kalau pun kejahatannya berkembang, pasti dia tidak akan meninggalkan sidik jari, apalagi barang seperti korek bensin miliknya.” Mata Inspektur Iriana menyipit, tangannya menggenggam cangkir kopi lebih erat, mencoba meraba-raba kebenaran yang tersembunyi di balik kasus ini.

Kilau Savitri, seorang mantan dokter psikolog. Namanya terngiang di kepala Inspektur Iriana. Ayah Kilau hilang saat menyelidiki kasus orang hilang di Desa Murni. Apa yang ditemukan ayah Kilau yang membuatnya menghilang? Pandangannya beralih dari foto Kilau di papan ke arah foto Bagas.

“Bagas selalu bilang bukan dia pelakunya, meski bukti mengarah kepadanya,” gumam Inspektur Iriana, mengingat ucapan Bagas saat diinterogasi. “Ada sesuatu yang tidak benar pada penyelidikan kali ini,” lanjutnya, merasa perlu mencari informasi di rumah Kilau untuk mendapatkan pencerahan.

“Yudha, tolong gali lebih dalam tentang orang-orang di sekitar Bagas! Siapa tahu Bagas dan Kilau sedang bersembunyi di salah satu tempat mereka,” pinta Inspektur Iriana.

“Baik, Bu! Saya akan mencarinya segera,” jawab Yudha dengan lantang.

“Kalau begitu, saya akan coba ke rumah Kilau. Kalau kamu menemukan sesuatu, segera hubungi saya!” kata Inspektur Iriana.

“Siap, Bu! Hati-hati di jalan,” jawabnya sambil memberi hormat saat Inspektur Iriana keluar dari ruangan.

Satu jam kemudian, Inspektur Iriana sampai di kediaman Kilau yang terkesan sepi. Langit malam yang kelam menambah suasana mencekam, bayangan pepohonan seakan mengawasi setiap langkahnya. Inspektur Iriana menyelinap masuk ke dalam rumah dengan gerakan yang hati-hati dan penuh kewaspadaan. Kegelapan malam menyelimuti rumah, menambah rasa misteri yang melingkupi penyelidikannya.

Inspektur Iriana bergerak cepat, tetapi tetap tenang. Dia menelusuri ruangan demi ruangan dengan senter kecil di tangannya. Ruang tamu yang dulu pernah dijadikan tempat operasi Bagas adalah yang pertama dia masuki. Namun, dia tidak menemukan apapun. Hanya ruangan tamu kosong yang sudah dibersihkan dan dirapikan oleh Kilau. 

Inspektur Iriana melangkah ke ruangan kedua, tempat Kilau biasa merias wajahnya. Alat rias tertata rapi di meja. Ada bedak, kuas, beraneka warna lipstik, dan lain halnya. Inspektur Iriana kemudian melanjutkan ke ruangan Fahmi. Ruangan itu dipenuhi dengan peralatan jurnalis, seperti perekam suara, kamera digital, dan video, semua tertata rapi di meja kerja. Di dinding, beberapa berita surat kabar yang diliput Fahmi terpampang, menampilkan headline dan potret berita, memperlihatkan dedikasinya dalam mengumpulkan informasi. Meski begitu, tidak ada tanda-tanda yang mencurigakan di ruangan itu—hanya barang-barang yang menunjukkan rutinitas kerja Fahmi sebagai jurnalis dulu.

Selanjutnya, Inspektur Iriana sampai di ruangan dengan tulisan "Kilau's Room". Saat memasuki kamar Kilau, rasa penasaran Inspektur Iriana makin memuncak saat pintu kamar terbuka perlahan, mengeluarkan suara berdecit yang menambah ketegangan. Cahaya samar dari lampu meja memantulkan kilauan objek yang menarik perhatian Inspektur Iriana di dalam ruangan yang gelap itu. Terpasang sebuah papan besar penuh dengan foto dan catatan. Pada papan tersebut tertulis kasus orang hilang dan di antara gambar-gambar orang hilang itu, foto Bagas tampak mencolok. Namun, foto Bagas pada papan tersebut dicoret dengan jelas, menandakan bahwa Bagas bukan sebagai pelakunya.

Lebih mengejutkan lagi, ada tanda panah yang menghubungkan nama Bagas dan Abas dengan catatan tangan Kilau. Kata "HIPNOSIS" ditulis dengan huruf kapital, menonjol di antara tulisan lainnya. Keterangan tersebut mengungkapkan bahwa Abas telah menjebak Bagas dengan meninggalkan sidik jari di pisau pembunuhan Iwa Suwardi. Namun, tanda tanya besar berada di sebelah nama Abas, dan nama Yolan tercantum dengan tanda tanya di sebelahnya.

Melihat semua ini, adrenalin Inspektur Iriana memuncak. Semua petunjuk ini mempertegas bahwa Bagas dan Kilau tengah mengejar dalang sebenarnya di balik serangkaian tragedi ini. Tanpa membuang waktu, Inspektur Iriana segera menelepon Detektif Yudha.

"Yudha, cari tahu semua yang bisa kamu dapatkan tentang Yolan!" perintahnya dengan suara tegas.

Detektif Yudha menjawab dengan nada serius di ujung telepon. "Yolan, Bu? Kebetulan saya baru saja berbicara dengan tetangga dan anak buah Bagas. Mereka bilang Bagas punya saingan lama yang selalu berusaha merebut kekuasaan di Desa Murni."

"Jangan bilang namanya …." ucap Inspektur Iriana dengan tegang.

"Benar, Bu! Namanya, Yolan. Keduanya sering berdebat hebat. Bagas selalu berusaha mempertahankan wilayahnya dari Yolan yang ingin merebut kekuasannya," jawab Detektif Yudha.

"Apa mungkin dia bakal sembunyi di tempat Yolan?" pikir Inspektur Iriana berbicara dengan dirinya sendiri. Inspektur Iriana tahu, meskipun malam makin larut, informasi ini terlalu penting untuk diabaikan. Namun, Inspektur Iriana juga memahami bahwa kelelahan bisa menghambat penyelidikan yang efektif. "Tolong segera cari tahu alamat rumahnya! Besok pagi kita harus ke sana," lanjut Inspektur Iriana kepada Detektif Yudha.

“Baik, Bu!” jawab Detektif Yudha dengan tegas, sebelum panggilan terputus.

Lihat selengkapnya