Bagas sudah berencana menghubungi Pandu dengan dalih ingin menggandakan uang. Namun, sebelum itu, mereka berlima telah membagi tugas. Inspektur Iriana dan Detektif Yudha akan mengalihkan perhatian Pandu, sementara Bagas dan Kilau akan menaruh spy cam di gubuk. Di tempat lain, Yolan mengawasi Boni untuk menelepon Pandu yang hendak pergi ke gubuk.
“Halo? Ada apa? Bukannya kita sepakat kalau—” ucap Pandu terpotong.
“Tara, polisi baru aja datang ke rumah. Mereka nanya soal mobil yang saya sewa ke kamu. Katanya ada hubungannya sama kematian seseorang. Saya terpaksa bilang karena takut Kak Yolan dalam bahaya kalau mobil itu kamu yang pakai. Tapi saya diam-diam kasih tahu kamu, karena saya merasa bersalah udah melanggar janji buat nggak kasih tahu siapa pun," bisik Boni dengan nada cemas.
“Gimana, sih? Uang yang saya kasih ke kamu itu nggak sedikit! Seharusnya kamu jaga mulut!” bentak Pandu dari telepon. “Mereka datang kapan?”
Namun, sebelum jawaban didapat, panggilan itu tiba-tiba terputus. Tak lama, Inspektur Iriana dan Detektif Yudha tiba di rumah Pandu. Detak jantung Pandu semakin cepat, telapak tangannya mulai berkeringat dingin. Dia menarik napas dalam-dalam, memaksa senyum tipis terlukis di wajahnya saat menyambut mereka di pintu, berusaha menutupi kegugupannya.
Di tempat lain, Bagas dan Kilau bergerak cepat menuju gubuk. Dari balik bayangan pepohonan di tepi hutan, Bagas mengintai. Dia menyelinap mendekati Anton, salah satu anak buah Kasman, yang baru tiba di depan hutan. Dengan satu gerakan halus, Bagas mencengkeram mulut Anton, menariknya ke belakang hingga tubuh pria itu lemas dan pingsan seketika. Bagas melepas jubah hitam yang dikenakan Anton, segera mengenakannya pada tubuhnya sendiri, lalu menoleh ke arah Kilau yang mengawasi dengan waspada.
"Tolong bawa dia ke tempat Yolan!" bisiknya sambil menarik Anton ke motor yang tadi mereka bawa. "Kita butuh kambing hitam untuk langkah berikutnya." Kilau mengangguk cepat tanpa bertanya lagi.
Bagas menuju gubuk dengan langkah cepat dan tatapan tajam, napasnya berderu di udara dingin. Sesampainya di sana, dia menarik tudungnya lebih dalam agar wajahnya tidak terlihat, dan menatap ke arah gubuk yang dijaga oleh seseorang, matanya memperhatikan setiap gerakan penjaga pintu itu, mencari celah untuk menyusupkan spy cam tanpa terdeteksi. Bagas memutuskan untuk mendekat ke penjaga tersebut, dan langkahnya terhenti saat penjaga itu menatapnya.
“Hei, kamu???!” ucapnya berusaha menebak.
“Anton, saya Anton.”
“Oh, Anton, bisa jaga pintu sebentar? Perut saya rasanya mau meledak,” kata penjaga itu, suara nyaringnya penuh penderitaan. Sebuah senyum kecil terlintas di wajah Bagas, tetapi dia segera meredamnya, berusaha tetap tenang.
“Bisa!”
Namun, sebelum pergi, penjaga itu kembali mendekat, menatap tajam ke arah Bagas dengan curiga. “Kenapa suaramu beda, jadi terdengar lebih berat?” tanyanya, sementara tangan satunya memegangi perut. Penjaga itu tampak ragu dengan matanya yang menyipit.
“Oh. Ini karena tenggorokan saya sakit, kena angin yang akhir-akhir ini kurang bersahabat,” tambah Bagas cepat, berharap suaranya terdengar meyakinkan.
Penjaga itu hendak menyingkap tudung Bagas, tetapi rasa sakit di perutnya makin parah. Dengan gerakan tergesa, dia menyerahkan tugasnya ke Bagas dan pergi terburu-buru, meninggalkan Bagas di depan pintu. Saat seorang anak buah lain datang dengan membawa bantal dudukan baru, Bagas cepat-cepat berdiri di depan pintu, dan menghalanginya untuk masuk.
“Biar saya saja!” kata Bagas dengan pelan. “Tadi, Mbah bilang nggak mau di ganggu,” lanjut Bagas.
Orang itu melirik Bagas sejenak, lalu menyerahkan bantal dudukan tanpa sepatah kata pun, jelas paham akan sifat Kasman yang mudah marah. Dia pun segera masuk dan melihat Kasman sedang duduk dengan menggerakkan pantatnya karena tidak nyaman.
“Mbah, ini dudukan bantal barunya,” kata Bagas mengatur napasnya, memastikan tangannya tidak bergetar saat menyerahkan bantal itu. Meski wajah Bagas masih tertutup oleh tudung itu, tetapi jantungnya berdegup kencang, berharap Kasman tidak menyadari penyamarannya.
“Ah, akhirnya! Cepat ganti bantalnya dengan yang baru!” pinta Kasman dengan sedikit berteriak.
Bagas mengangguk dan mendekat, mengganti dudukan bantal itu dengan cepat. Kasman yang tengah mencari posisi nyaman, tak menyadari ketika Bagas bergerak cepat dari belakang dan memukul lehernya dengan keras. Tubuh Kasman langsung terkulai dan pingsan di tempat.