RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #15

HARI H

Keesokan harinya, Bagas sudah dirias menyerupai kakek-kakek tua, persis seperti sebelumnya, dan dia sudah siap menuju gubuk di Hutan Terlarang itu. Dia meminta Yolan, Kilau, Inspektur Iriana, dan Detektif Yudha untuk tidak mengikuti karena khawatir kehadiran mereka akan menarik perhatian Pandu jika ketahuan.

Di perjalanan menuju gubuk, Bagas yang ditemani Pandu berpura-pura letih, tangannya erat menggenggam tas berisi uang seratus juta. "Kapan kita sampai?"

"Sebentar lagi," jawab Pandu dengan sopan.

Bagas mengangguk, napasnya terengah-engah. Pandu melirik tas besar yang dibawa Bagas. "Biar saya bantu bawakan tasnya," tawar Pandu.

Bagas menolak dengan senyum tipis. "Nggak perlu, saya masih kuat," katanya, meski sebenarnya Bagas merasa pegal harus jalan perlahan.

Mereka melangkah menuju ke dalam ke tengah hutan, di mana pepohonan yang lebat menutup langit dan suasana mencekam makin terasa. Bagas bisa melihat gubuk yang makin jelas di depan matanya. Ketika mereka sampai, pintu gubuk itu terbuka perlahan dan suasana sekitar gubuk ketat di jaga oleh orang-orang yang lebih banyak dari kemarin. Senyum Bagas terukir sekilas, menyadari bahwa aksinya kemarin membuat Kasman semakin waspada.

Bagas pun melangkah masuk dengan hati-hati. Matanya menyapu ruangan dengan teliti. Cahaya lilin yang berkedip-kedip menciptakan bayangan aneh di dinding, sementara patung-patung berwajah seram berdiri diam seperti penjaga yang tak terlihat. Jimat-jimat menggantung dari langit-langit di sudut-sudut ruangan, bergerak pelan di udara yang tebal oleh aroma melati yang kuat. 

Kasman yang duduk sambil memejamkan matanya, seperti sedang berdoa di depan dupa, langsung membuka mata ketika menyadari kehadiran Bagas dan Pandu.

"Silakan duduk!" pinta Kasman tersenyum tipis, bibirnya mengerucut sedikit, seolah menantikan kehadiran Bagas sejak tadi. Sementara itu, Bagas dengan perlahan menekan tombol pulpen rekamannya di saku untuk bukti tambahan dan setelah Kasman selesai dengan aksinya menggandakan uang, Bagas berencana mengambil spy cam yang telah disembunyikannya kemarin di balik patung yang berada di lemari kecil. Setelah merasa berhasil menyalakan pulpen rekaman, Bagas duduk tanpa mengalihkan pandangan dari Kasman, yang tampak sibuk menyiapkan sesuatu.

“Saya dengar dari Pa, maksud saya Pak Tara, kalau Bapak butuh uang untuk biaya operasi cucu Bapak?” tanya Kasman tanpa melirik ke arah Bagas.

Bagas mengangguk. “Benar, Mbah.”

“Baiklah, saya akan siap-siap dulu. Sembari menunggu, minum dulu, Pak!” kata Kasman sambil melirik ke arah Pandu, yang tiba-tiba sudah memegang segelas kopi.

Bagas memicingkan mata, tidak ingat kapan Pandu membuatnya. Dari awal Kasman masuk, perhatiannya sepenuhnya terarah pada dukun itu. Menyadari pandangan keduanya yang seolah menantikan reaksinya, Bagas meraih gelas kopi tersebut. Aroma pahit menyengat hidungnya, tetapi yang lebih menyesakkan adalah pikiran tentang racun yang mungkin tersembunyi di dalamnya, seperti yang dilakukan Pandu terhadap Abas. Bagas menelan kegelisahannya, mempercayai nalurinya untuk kali ini, dan perlahan menyesap kopi itu. Setiap detik yang berlalu terasa berat, hingga akhirnya, tanpa ada efek apapun, Bagas menghela napas lega.

“Okay, kita mulai!” kata Kasman sambil menyunggingkan senyum tipis.

Ritual pun dimulai seperti yang Bagas lihat sebelumnya, tetapi kali ini ada perbedaan yang membuat jantungnya berdegup lebih kencang. Bukannya memasukkan uang seratus juta ke dalam kotak kayu seperti sebelumnya, Kasman mengambil buntelan kain merah yang terlihat usang dan memberikannya kepada Pandu. Pandu yang menerima kain merah itu membuka tas Bagas dan dengan gerakan hati-hati, memasukkan uang itu ke dalam buntelan tersebut dan mendekatkannya ke Kasman lagi.

Lihat selengkapnya