Kasman menatap tajam ke arah Pandu, ekspresi wajahnya berubah dingin saat jari-jarinya bermain di gagang pisau lipat. Dengan gerakan perlahan, dia menekan pisau itu ke leher Pandu, cukup untuk membuat kulitnya merasakan ancaman yang nyata. "Kalau kamu nggak berhasil bawa Anton setelah ini, kamu tahu resikonya, kan? Saya nggak akan segan-segan habisi kamu juga!" desisnya pelan, tetapi penuh ancaman.
Pandu mengangguk cepat, tetapi ketika nama Iwa Suwardi keluar dari bibirnya, ruangan seakan membeku. Kasman menghentikan gerakannya sejenak, lalu dengan tangan yang sedikit gemetar, dia mengeluarkan sebatang rokok. Nyala api yang menerangi wajahnya sejenak memperlihatkan kilatan emosi yang tersembunyi di balik pandangannya.
Bayangan malam itu masih membayangi Kasman—malam ketika Iwa muncul di gubuknya, wajahnya memerah, matanya menyala penuh amarah. Iwa mencengkeram pulpen rekaman yang telah dia curi dari Fahmi. Rekaman yang seharusnya mengungkap kecurangan Kasman kini justru membakar emosi Iwa. Sebelumnya, Fahmi, rekan yang diam-diam mencurigai Iwa karena perilakunya yang tiba-tiba meminta bayaran lebih sebagai orang yang diminta merekam Bagas yang dicurigai sebagai pelaku kasus orang hilang, mengikuti gerak-geriknya dalam diam. Meski tahu pulpen rekaman sebelum itu belum kembali padanya, Fahmi membuntuti Iwa, yakin ada rahasia besar yang disembunyikan. Benar saja, dia mendapati Iwa terjerat dalam lingkaran tipu daya Kasman. Iwa terperangkap dalam ritual penggandaan uang yang tidak pernah nyata.
Fahmi telah merekam percakapan antara Kasman dan Pandu di malam itu ketika dia berhasil bersembunyi di balik semak-semak tanpa ketahuan, menangkap setiap kalimat licik yang meluncur dari mulut Kasman. Namun, tanpa sengaja, Iwa mendengar rekaman itu. Malam itu, Iwa kembali ke gubuk Kasman, bukan lagi sebagai korban yang naif, tetapi sebagai pria yang tahu dirinya telah dipermainkan habis-habisan.
Rekaman diputar di depan Kasman, suara khasnya terdengar penuh tipu daya. "Lihat saja, manusia bodoh seperti Iwa percaya saya bisa menggandakan uang. Sekali berhasil, dia ketagihan. Itu yang saya mau. Saya kurangi uangnya lima ratus ribu tanpa dia sadari, supaya dia terus kembali dan menghamburkan lebih banyak."
Kasman tertawa keras dalam rekaman, tawa yang terdengar lebih mirip raungan kemenangan. Iwa berdiri terpaku, rahangnya mengatup keras, tangan menggenggam pulpen itu semakin erat hingga buku jarinya memutih, mencerminkan kemarahan yang siap meledak kapan saja.
Kemudian terdengar suara Pandu, lebih tenang, tetapi tidak kalah tajam. "Uang bisa menghancurkan manusia dengan cepat, tapi membawa keberuntungan bagi kita, Mbah."
Rekaman pada pulpen itu pun terhenti karena Iwa menekan tombol stop. “Saya akan menyebarkan rekaman ini!” kata Iwa dengan murka.
Kasman mencekik leher Iwa dengan keras, membuat Kasman dengan mudah mengambil rekaman pulpen digenggaman Iwa. “Kamu berani ancam saya?”
“Kalau kamu berani macam-macam dengan saya, kamu akan tanggung akibatnya! Meski kamu mengambil rekaman itu secara paksa, saya punya salinannya,” ucap Iwa terbata-bata, merasa sesak akibat cekikan Kasman.
Namun, cekikan Kasman perlahan memudar, membuat Iwa terbatuk-batuk setelahnya. “Saya akan menghilangkan salinannya kalau kamu mau memberikan saya uang.”
Kasman melirik ke arah Iwa, melihat sorot mata keserakahan di wajahnya. “Kamu bilang tadi akan menyebarkan itu, tapi sekarang kamu malah meminta uang dari saya? Sebenarnya, kamu memang memiliki salinan itu atau hanya ingin menipu saya karena gagal mengungkapkan apa yang telah saya lakukan?”
“Saya benar-benar memiliki salinannya!” ucap Iwa berbohong. “Karena dipikir-pikir, saya nggak bisa lawan, Mbah. Jadi, lebih baik pakai cara ini untuk win-win solusi, kan?”
“Berapa yang kamu mau?” tanya Kasman sambil menaikkan alisnya dengan wajah tidak suka.
“Lima puluh juta!” kata Iwa tiba-tiba semangat.
Kasman mengeluarkan uang sebesar dua puluh juta, memberikannya kepada Iwa. “Saya akan kasih sisanya pas kamu bawa salinannya ke hadapan saya!” kata Kasman dengan menatap Iwa tidak suka.
Iwa mengangguk santai, lalu menyentuh uang yang baru diterimanya. Dia pun menghirup aroma kertas dengan rasa puas di wajahnya. Dia memasukkan uang itu ke kresek yang dilihat di pojok dekat patung, lalu meninggalkan Kasman sendirian di gubuk. Begitu Iwa menghilang dari pandangan, Kasman memutar rekaman yang tadi dia ambil secara paksa dari Iwa.
Suara di rekaman itu berlanjut dengan mengungkapkan bahwa Kasman terlibat dalam pembunuhan para kliennya. Mengetahui ini memicu amarah Kasman yang tidak tertahan. Kasman pun melemparkan tinjunya ke kendi-kendi tanah yang tergeletak di dekatnya. Pecahan kendi berhamburan ke segala arah, dan Kasman tidak peduli bahwa darah mengalir dari luka kecil di jari-jarinya.
Sejam kemudian, Kasman berdiri di luar, mencoba menenangkan diri di bawah sinar bulan yang redup. Dia menarik napas dalam-dalam, tetapi amarahnya masih membakar. Tiba-tiba, Fahmi muncul dari kegelapan, matanya tertuju pada tangan Kasman yang dipenuhi luka. Fahmi melangkah maju dengan berani ke arah Kasman, mengira Kasman baru saja melakukan hal yang berbahaya kepada Iwa, orang yang dia cari.
“Kamu sembunyikan dia di mana?!”
Awalnya, Kasman tidak mengerti dengan ucapannya. Akan tetapi, dia sadar bahwa pria paruh baya yang ada di hadapannya adalah awal mula Iwa berani mengancamnya. Tanpa belas kasih, dengan satu gerakan cepat, Kasman merogoh sesuatu dari balik jubahnya, dan sekejap kemudian, Fahmi terkejut merasakan sengatan tajam di lehernya. Tangannya refleks meraba tempat yang terkena, tetapi sudah terlambat karena tubuhnya goyah, dan dia pun seketika berlutut lemah di tanah.
Kasman menyunggingkan senyumnya dan mendekat, membuat Fahmi menelan ludahnya dengan jantung yang kini berdebar semakin cepat. Kasman pun ikut berlutut, lalu melirik ke arah samping yang pandangannya diikuti oleh Fahmi. Melihat Kasman mengambil sebuah batu yang cukup dalam genggamannya dengan mata yang dingin, membuat Fahmi mundur perlahan sambil berlutut. Akan tetapi, Kasman tidak memberi kesempatan bagi Fahmi untuk kabur ataupun pulih. Kasman dengan cepat menghantamkan batu itu keras-keras. Fahmi mencoba bertahan, telapak tangannya merasakan hantaman batu yang membuat kulitnya mengeluarkan darah. Namun, Kasman tidak berhenti dan terus menghantam tanpa henti, mengabaikan jeritan dan darah yang terciprat.
Tanpa ragu, Kasman juga mengeluarkan pisau lipat dari balik jubahnya. Dia menancapkan pisau ke paha Fahmi dengan gerakan yang halus hingga membuatnya merintih kesakitan. Tanpa perasaan iba, dia menancapkan pisau itu sekali lagi, kali ini lebih dalam, sampai Fahmi terkulai lemas, dan kehabisan nyawa.
Pandu yang baru tiba di gubuk bersama Abas—yang menjadi pengikutnya setelah ketahuan mengikuti Iwa ke gubuk di mulut hutan sehari yang lalu—menghentikan langkahnya seketika saat matanya menangkap sosok tidak bernyawa yang tergeletak di luar. Cahaya bulan menerangi wajah yang tidak asing bagi Pandu. Dia mendekat dengan hati-hati. Rasa penasaran dan ketegangan menyelimuti pikirannya. Saat Pandu mengidentifikasi mayat tersebut, ekspresi wajahnya berubah dari terkejut menjadi senyum yang aneh.
Sebuah tawa terbahak-bahak mulai keluar dari mulut Pandu tidak terkendali hingga dia nyaris terjatuh. "Pak Fahmi," gumamnya di antara tawa, nama yang dia ucapkan dengan mata yang berair dengan perasaan bahagia melihat kondisinya sekarang. Pandu mengingat kembali hubungan pahit yang menghubungkannya dengan Fahmi, yaitu seseorang yang dulu mengacaukan hidupnya dan merenggut orang yang dicintainya.