Bagas terbaring tidak berdaya di dalam kamar, tubuhnya seakan tenggelam di antara lipatan seprai biru muda yang basah oleh keringat dingin. Cahaya redup lampu kamar hanya membuat bayang-bayang di wajahnya yang pucat terlihat makin menyeramkan. Napasnya berat dan terdengar seperti rintihan.
Dokter yang biasa menangani ibunya Yolan kini berdiri di samping tempat tidur Bagas. Dia mengeluarkan botol-botol kecil yang berisi cairan dan sebuah jarum suntik yang berkilauan di bawah cahaya lampu dari tas hitamnya. Sementara itu, di ruang tamu, Inspektur Iriana dan Yolan duduk di depan layar, memutar ulang rekaman pengakuan Kasman. Suaranya terdengar jernih dan terlalu lancar.
“Mau berapa kali kamu putar ulang rekaman ini?” tanya Yolan dengan bingung, sekaligus merasa cemas karena kondisi Bagas.
“Ada yang aneh dalam rekaman ini!” kata Inspektur Iriana sambil terus memutar ulang rekaman itu dan mengamatinya dengan teliti.
Inspektur Iriana memperhatikan cara Kasman berbicara, setiap kata yang keluar dari mulut Kasman terdengar datar, tetapi mata Inspektur Iriana menangkap kilatan aneh di balik tatapannya, seolah ada rahasia yang disembunyikan di balik setiap kalimat yang diucapkannya. Alisnya berkerut ketika dia menemukan sesuatu, bukan dari Kasman, melainkan dari Pandu yang tersenyum samar dari pantulan cermin saat memunggungi kamera menghadap ke Kasman.
“Lihat!” kata Inspektur Iriana menghentikan rekamannya.
Yolan menyipitkan matanya, menajamkan pandangannya pada cermin yang ditunjuk oleh Inspektur Iriana.
“Lihat apa?” katanya bingung saat melihat telunjuk Inspektur Iriana yang mengarah ke gambar rekaman di laptop.
“Ini! Dia tersenyum!” jawabnya, membuat Yolan berusaha mempertajam penglihatannya.
Yolan mendekatkan wajahnya ke layar, jantungnya berdetak kencang saat dia akhirnya melihat apa yang dimaksud Inspektur Iriana. Tubuhnya sedikit mundur, seolah tidak percaya pada apa yang baru saja dia lihat. Ada seulas senyum di wajah Pandu yang tertangkap kamera pada cermin saat fokusnya terarah pada Kasman. Senyum itu bukan ekspresi senang karena Kasman mengenang pembunuhan Iwa Suwardi, tetapi lebih kepada ekspresi seseorang yang berhasil membuat mereka tertipu dengan tipu dayanya. Para penipu itu tahu dan sudah menyadari jebakan yang disusun dengan hati-hati ini.
Yolan menoleh dan menatap Inspektur Iriana dengan rasa takjub yang tidak bisa disembunyikan. “Mereka benar-benar pintar!” suaranya rendah, hampir berbisik, seolah tidak ingin memberi mereka lebih banyak alasan untuk meremehkan musuh.
Inspektur Iriana mengangguk dengan sorot mata yang tajam. “Kita harus memikirkan rencana yang lebih strategis,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Yolan.
Yolan tidak langsung menjawab. Alisnya bertaut, tangannya mulai meremas ujung jaketnya, tanda bahwa ada sesuatu yang mengganjal di benaknya. "Setelah mengetahui ini, ternyata kita belum benar-benar mengenal mereka. Nggak, nggak bisa gini …." katanya dengan suara yang terdengar putus asa. Setelah jeda yang panjang, Yolan mengangkat tangan dengan gerakan tegas kepada anak buahnya. "Bawa Anton ke sini!"
Inspektur Iriana memandangnya dengan bingung, raut wajahnya bertanya-tanya tanpa perlu kata-kata. Yolan mendesah pendek sebelum melanjutkan, “Maafkan saya karena nggak kasih tahu kamu perihal ini sebelumnya, tapi Bagas punya rencana lain. Dia membawa komplotan Kasman untuk dijadikan kambing hitam saat dia mengambil uangnya.”
Mata Inspektur Iriana membesar, ketidakpercayaan jelas tergambar di wajahnya. Namun, dia menahan diri, rahangnya mengeras sebagai tanda bahwa tidak ada waktu untuk berdebat. Inspektur Iriana tahu, dalam situasi ini hanya pikiran jernih yang bisa membantu mereka.
Beberapa menit kemudian, Anton dengan tangan terikat duduk di hadapan keduanya. Anton merasa tubuhnya terasa kaku seperti disihir. Tangannya mengepal erat di pangkuannya, kuku-kukunya hampir menembus kulit kasar yang memutih. Matanya terus-menerus menyapu ruangan, seolah mencari jalan keluar. Sesekali, pandangannya bertemu dengan Inspektur Iriana yang langsung menyalakan alat perekam milik Yolan yang segera dia pinjam untuk bukti tambahan. Tangan Inspektur Iriana bergerak cekatan, memastikan tidak ada detail yang terlewatkan.
Rasa kering di tenggorokan Anton memaksanya meneguk air putih yang disediakan. Gelas itu bergetar di tangan yang terikat, dan air yang masuk ke tenggorokannya seolah hanya menambah ketakutan yang makin mencekik. Saat pandangan Inspektur Iriana kembali menghujamnya, Anton tidak bisa menahan diri untuk menelan ludah dengan suara yang terdengar jelas di ruangan yang sunyi.
“Saya sarankan kamu berbicara dengan jujur, Anton! Nyawamu sekarang sedang terancam karena Kasman sedang mencarimu,” kata Yolan, lalu memperlihatkan rekaman yang menyebutkan Kasman akan membunuh Anton atas perbuatannya.
Anton membelalakan matanya takut setelah melihat rekaman tersebut. Pandangannya pun beralih ke Inspektur Iriana saat ia memanggil namanya.
"Anton," ucap Inspektur Iriana mencondongkan tubuhnya ke arahnya, "Ceritakan semuanya! Bagaimana Kasman dan komplotannya menjalankan operasi penipuannya?”
Anton merasa tenggorokannya terkunci. Keringat dingin yang membasahi pelipisnya saat ini karena Anton berusaha mencari kata-kata, tetapi hanya kegugupan yang mengalir.