RENTENIR: PEMBURU KEBENARAN

Novi Assyadiyah
Chapter #18

PERTUKARAN

Kilau terengah-engah dalam kegelapan gubuk. Tangannya terikat di belakang, merasakan dinginnya lantai tanah kasar menembus pakaiannya. Matanya terpaku pada tubuh Andi yang juga terikat, tergeletak tak berdaya di depannya. Darah mengalir dari luka memar di wajah dan tangannya akibat sayatan pisau Kasman. Sementara itu, Detektif Yudha yang terluka berhasil bersembunyi di balik semak-semak, berusaha bergerak ke bawah hutan dengan perlahan dan hati-hati agar tidak tertangkap oleh anak buah Kasman.

Sebelumnya, Kilau sempat meminta Andi dan Detektif Yudha untuk berhenti mengikuti, apalagi Kilau jadi cemas karena keberadaan Detektif Yudha yang sudah diketahui wajahnya oleh Pandu akan semakin membongkar rencana Bagas, yang telah bekerja sama dengan polisi. Kilau menilai ini karena menyadari bahwa tindakan para penipu ini kelewat berani, mereka memiliki percaya diri yang tinggi karena masih menduga bahwa polisi masih mengincar Bagas. Beruntung, saat Kilau menjelaskan kondisi ini, Detektif Yudha mau menuruti permintaan Kilau yang memintanya untuk bersembunyi atau melarikan diri sebelum Pandu melihatnya saat Kasman bersama anak buahnya menyerang mereka.

Saat pintu gubuk berdecit terbuka, Kilau langsung menoleh, sorot matanya tajam seperti tombak. Pandu muncul dengan wajah dingin di ambang pintu, membawa semangkuk nasi dingin dan telur ceplok yang hampir tidak terlihat mengundang. Kilau menatap Pandu tanpa berkedip, amarah dan rasa lapar yang mencabik-cabik perutnya terlihat jelas di wajahnya. Pandu meletakkan makanan itu di depannya dengan gerakan yang disengaja lambat, seolah-olah menikmati setiap detik penderitaan yang dirasakan Kilau. Akan tetapi, Kilau tetap tidak bergeming, hanya pandangannya yang makin tajam mengarah kepada Pandu.

“Makan!” Suara Pandu terdengar seperti perintah yang harus diikuti, tetapi Kilau tetap kaku, bibirnya terkunci rapat. Pandu mendekatkan sendok ke mulut Kilau dengan gerakan yang lebih keras, tetapi Kilau menolaknya dengan kepala yang sedikit memaling, membuat sendok itu terlempar dari tangan Pandu dan jatuh ke tanah.

“Saya nggak sudi makan makanan yang kamu bawa!” ucap Kilau dengan penekanan di setiap katanya, matanya tidak pernah lepas dari Pandu.

Pandu tertawa kecil, tawa yang dingin dan penuh kebencian. “Kalau kamu mau sekarat seperti Bagas, silakan saja! Tapi ingat, bukan saya yang akan rugi,” katanya sambil melangkah pergi, tetapi tiba-tiba terhenti ketika Kilau bertanya dengan nada yang penuh kecurigaan.

“Sejak kapan kamu tahu kalau kami merencanakan semua ini?” Kilau menyipitkan mata, suaranya terdengar tajam, sementara kilat kebencian melintas di matanya saat Pandu menyebut nama Bagas.

Pandu mendekat lagi, kakinya nyaris tidak bersuara di atas tanah. Dia jongkok di hadapan Kilau, menatap ke langit-langit gubuk yang suram. Sebuah senyum tipis menghiasi wajahnya, seolah ada kenangan yang tak terlihat di sana.

“Kamu ingin tahu?” Pandu berbisik, lebih kepada dirinya sendiri. “Saya tahu sejak Inah menolak tawaran saya untuk menggandakan uangnya. Itu membuat saya curiga, jadi saya memutuskan untuk…, memeriksa. Sedikit hipnosis ringan sudah cukup untuk membuat Inah membuka mulutnya.”

Kilau mendengkus, tetapi tetap diam. Dia lupa bahwa Pandu juga bisa menghipnosis seperti dirinya, dan apa yang dilakukan Pandu untuk memastikan pernyataan Inah tidak terpikirkan oleh Kilau, hingga membuat Bagas terjebak dan terluka sampai pingsan seperti kemarin. Kilau juga tahu bahwa Bagas diracun dengan racun tikus karena Kasman sebelumnya dengan bangga menceritakan hal itu kepadanya. Pandu pun melanjutkan, suaranya semakin tenang, tetapi setiap kata mengandung ancaman yang terselubung.

“Saya tanya pada Inah, siapa yang memintanya berbohong. Nama Yolan keluar dari bibirnya. Saat itu, saya tahu ada sesuatu yang nggak beres dan saya duga bahwa Yolan sudah mencium aksi saya yang membuat para peminjamnya hilang, tidak seperti Bagas, yang sangat lambat untuk memahami bahwa dia sedang dijebak.”

Kilau berusaha sekuat tenaga menyembunyikan kekagetannya, tetapi getaran halus pada tangannya yang terikat di belakang tubuhnya tidak bisa disembunyikan. Pandu memperhatikannya dengan senyum tipis yang tidak sampai ke matanya. Sorot matanya menunjukkan kepuasan yang dingin, seolah menikmati setiap detik ketakutan Kilau.

“Dan Bagas? Saya pertama kali melihatnya di kantor Yolan, saat Inah membatalkan tawaran itu,” ucapnya dengan suaranya serak. “Saya ingat sangat bersemangat untuk melihat trik licik Yolan dalam menemukan bukti, tetapi hal mengejutkan membuat adrenalin saya semakin meningkat ketika melihat Bagas berperan sebagai kakek tua yang lemah. Saya tahu dari detik itu, mereka berdua bekerja sama. Tapi sayangnya, mereka lupa satu hal—saya nggak mudah ditipu. Oh, tapi ada satu hal yang buat saya sebal! Bisa-bisanya dia buat polisi curiga kepada saya! Untungnya itu cepat berlalu karena mereka menemukan sidik jari Bagas lagi, hahahaha. Bagas benar-benar kena sial dan begitu ceroboh!”

Kilau sedikit senang dugaan kerjasama Bagas dengan para polisi tidak diketahui mereka. Akan tetapi, dia langsung menyadari hal yang lain. “Jangan bilang rekaman yang kami simpan diam-diam juga kamu tahu?”

Pandu tertawa pendek. “Benar sekali!” Dia teringat saat menyadari uang Kasman hilang itu adalah bagian dari rencana Bagas. Pandu bergerak di luar jangkauan kamera dan memperingatkan Kasman bahwa mereka sedang direkam. Kasman pun memanfaatkan situasi itu, dengan sengaja mengungkapkan aksi pembunuhannya untuk menjebak Bagas dan memancing emosi semua orang.

Kilau mencoba untuk membalas, tetapi kata-kata tersangkut di tenggorokannya saat Pandu tertawa terbahak-bahak. “Kalau kamu, Kilau! Saya nggak pernah nyangka kamu akan terlibat sejauh ini. Saya pertama kali lihat kamu itu waktu buat Bagas pingsan di warung. Saya pikir itu bukanlah sebuah kebetulan, tapi saya berusaha mengabaikan karena saya pikir kamu nggak akan bisa sampai sejauh ini. Tapi kemudian, saya melihatmu bersama Yolan, mengintai saya saat mengikuti Bagas yang sedang bersandiwara dengan cucu palsunya itu!”

“Kamu menjijikkan, Pandu! Gimana kamu bisa berubah jadi kayak gini?” Kilau meludah, air liurnya mengenai wajah Pandu.

Sekejap saja, tawa Pandu hilang, berganti dengan pandangan yang membara penuh kebencian. Dia menyergap Kilau, mencengkeram lehernya dengan kekuatan yang mengejutkan. “Kamu pikir, siapa yang buat saya kayak gini? Kamu, Kilau! Kamu yang menghancurkan hidup saya. Karena kamu, saya kehilangan segalanya, bahkan orang yang saya cintai!”

Kilau tergagap, matanya memerah karena marah dan takut. “Yang menghancurkan hidup kamu itu bukan saya, tapi kamu sendiri, Pandu! Jadi, kamu mencelakai ayah saya karena dendam kepada saya?! Saya nggak akan maafin kamu! Sekarang, di mana dia sekarang?!” teriaknya dengan nada yang meninggi.

Pandu menarik napas dalam-dalam, mengontrol gemetar di tangannya sebelum melepaskan cengkeramannya pada Kilau. Kilau terbatuk, mencoba menghirup udara yang rasanya terlalu dingin. Pandu menatapnya dengan pandangan yang beralih antara kebencian dan kehampaan.

Lihat selengkapnya