Hakim mengetukkan palu dan suara kayu menggema di ruang sidang. “Dengan ini, Bagas Zulfikar dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pembunuhan Iwa Suwardi!” Bagas merasakan seolah rantai yang mengimpit dadanya terlepas. Dia menghela napas panjang, bahunya terangkat seiring langkahnya keluar dari ruang sidang. Di luar, Yolan sudah menunggu dengan motor gede berwarna hitam. Yolan mengangkat kotak martabak di tangannya dengan senyum yang lebar.
“Martabak buat yang baru bebas!” seru Yolan, suaranya menggema seolah ingin memecahkan ketegangan.
Bagas tersenyum tipis, mengulurkan tangan untuk menerima. “Terima kasih!” ujarnya sambil menggeleng, senyumnya pudar seiring mengingat tujuannya.
“Makan nanti saja ya!” kata Yolan, suaranya lebih tenang, seolah memahami bahwa ada hal lain yang lebih mendesak. “Sekarang kita ke pemakaman ayah Kilau dulu.”
Tiba-tiba, suara Inspektur Iriana yang muncul dari arah samping mengalihkan pandangan Bagas, sosok yang tidak disangka Bagas akan hadir di sidang hari ini. “Bagas!” panggilnya, wajahnya menyiratkan penyesalan yang tak bisa disembunyikan. “Selamat karena kamu sudah bebas. Maafkan saya dan seluruh pihak kepolisian atas kesalahan kami,” kata Inspektur Iriana, suaranya tegas terdengar berat. Dia berhenti sejenak, lalu melanjutkan, “Titip salam duka saya untuk Kilau. Maaf, saya belum bisa melayat karena ada tugas penting.”
Bagas mengangguk, menahan emosi yang berkecamuk. “Kami paham, Bu. Nanti akan saya sampaikan ke Kilau.”
Inspektur Iriana tersenyum kecil, sorot matanya masih sarat dengan rasa bersalah. “Terima kasih,” ucapnya sebelum berbalik dan berjalan menjauh, kembali ke tugasnya di kepolisian yang tak pernah usai.
Bagas mengangguk tanpa kata, lalu setelah Inspektur Iriana menghilang dari pandangan, Bagas menaiki motor gede dengan perasaan yang berbaur dengan kebebasan yang baru dirasakan dan duka yang belum tuntas. Lima belas menit perjalan, akhirnya mereka tiba di pemakaman dengan terik matahari yang mulai menyengat. Akan tetapi, proses penguburan ayah Kilau sudah selesai. Di bawah rindang pepohonan, hanya beberapa orang yang masih berdiri dengan pakaian hitam dan kepala mereka tertunduk di depan makam. Kilau ada di antara mereka, dengan mata sembap dan air mata yang tidak kunjung berhenti mengalir.
Bagas dan Yolan mendekati Kilau, berdiri di samping makam ayahnya yang masih basah. Doa lirih mengalir di antara isak tangis tertahan, sementara angin siang itu berhembus lembut, seolah ikut berbelasungkawa. Satu per satu, pelayat yang tadi mengelilingi makam mulai pergi, menepuk pundak Kilau sebagai tanda dukungan sebelum meninggalkannya dalam keheningan.
Setelah Kilau tampak lebih tenang, mereka bertiga memutuskan singgah ke warung kecil di dekat pemakaman. Kilau memesan es kelapa muda, matanya menatap kosong pada es yang perlahan mencair di dalam gelas. Bagas dan Yolan saling pandang, tidak tahu cara menghibur Kilau yang tenggelam dalam duka. Bagas akhirnya memberanikan diri, suaranya bergetar saat dia membuka percakapan.
"Maaf, Kilau, saya nggak bisa bawa ayah kamu pulang dengan selamat," ujar Bagas, suaranya nyaris tersendat oleh rasa bersalah.
Kilau diam sejenak, menyeruput es kelapanya perlahan. Kantung mata sembapnya dan wajah yang letih tampak berusaha menyembunyikan rasa sakit yang masih menggelayuti. Namun alih-alih meluapkan amarah atau kesedihan, Kilau hanya mengangguk kecil dan tersenyum tipis, seolah menemukan ketenangan dalam kata-kata Bagas.
"Bukan salah kamu, Bagas," suara Kilau terdengar serak, nyaris tercekik oleh emosi yang masih mengendap. Matanya menatap kosong ke arah es kelapa muda di depannya, embun-embun kecil di permukaan gelas seolah mencerminkan perasaan hatinya yang membeku. "Terima kasih, kamu sudah tepati janji untuk menemukan ayah saya." Dia mengalihkan pandangan ke Yolan, yang duduk di sebelahnya dengan wajah penuh simpati. "Dan kamu juga, Yolan. Terima kasih sudah bantu kami bersihkan nama Bagas, dan berusaha keras menemukan ayah saya."
Kilau mencoba tersenyum, tetapi senyum itu terselip di antara garis-garis kepedihan yang masih tersisa. Meski demikian, ada sinar hangat dalam tatapannya yang tertuju pada kedua temannya. Yolan menggenggam tangan Kilau dalam rangka menguatkan sambil menatap langsung ke matanya. “Sama-sama, Kilau. Sebenarnya, saya yang harus bilang makasih ke kalian karena kalau kalian ngasih tahu bahwa tempat saya jadi target penipuan mereka, mungkin akan lebih banyak korban yang terjadi. Jadi, saya yang makasih, ya, dan kalaupun kamu butuh sesuatu, kasih tahu aja, saya pasti akan bantu.”
“Benar? Sebenarnya, ada satu hal lagi yang ingin saya lakukan. Ini mungkin agak gila, dan kalau kalian nggak setuju, saya akan melakukannya sendiri,” kata Kilau menatap Yolan dan Bagas silih bergantian.
Bagas menatap Kilau dengan kening berkerut. “Apa itu?”
“Ya, apa yang mau kamu lakukan, Kilau? Kamu butuh keterlibatan saya dan Bagas untuk keinginanmu itu?” tanya Yolan penasaran.
Kilau menatap mereka bergantian, ragu sejenak, sebelum akhirnya menyuarakan rencananya dengan detail. Seiring penjelasan yang mengalir, wajah Bagas dan Yolan berubah—dari ragu, terkejut, hingga akhirnya antusias. Mereka bertiga duduk dalam keheningan sejenak, menyadari bahwa ide gila Kilau mungkin saja menjadi langkah pertama menuju keadilan yang lebih besar. Sesuatu yang lebih dari sekadar membersihkan nama, tetapi juga sebuah upaya untuk memastikan bahwa keadilan akan diadili kepada orang yang benar-benar pantas mendapatkannya. Ketiganya pun tidak sadar bahwa langit telah berubah jingga dan Bagas juga Yolan setuju untuk melakukan ide gila Kilau.
Dua bulan kemudian, Bagas berdiri di atas bukit bersama Kilau, memandangi hutan di bawah mereka. Dengan teropong di tangan, Kilau ingin memastikan hukuman bagi dua orang yang telah merenggut ayahnya. Beberapa hari lalu, sidang putusan untuk pembunuhan Iwa Suwardi dan korban-korban lain yang dilakukan Kasman dan Pandu mencapai akhir. Keduanya dijatuhi hukuman mati. Tanpa banyak seremoni, mereka dibawa dari Lapas ke sebuah hutan terpencil.
“Kamu yakin mau lihat ini, Kilau?” tanya Bagas, seraya menyesap minumannya.
“Saya yakin. Saya harus melihat mereka benar-benar dieksekusi. Ini nggak akan bikin saya trauma. Trauma saya sudah mereka ciptakan jauh sebelum ini,” jawab Kilau tegas, meski matanya tetap tertuju pada teropong.
Dari kejauhan, Kilau melihat Kasman berdiri di depan regu tembak. Pohon-pohon menjulang tinggi, menjadi saksi bisu bagi detik-detik terakhir hidupnya. Sepuluh personel kepolisian bersiaga dengan senjata terarah, wajah mereka samar di balik kegelapan malam.
Tepat pukul 22.30 WIB, komando terdengar memecah kesunyian. “Bersiap!” suara itu lantang, menggema di antara pepohonan. Kasman yang mendengar perintah itu, hanya tersenyum sinis, tatapannya kosong, tanpa rasa sesal sedikit pun. Kilau menggenggam teropong lebih erat, melihat dengan jelas wajah Kasman yang tetap tidak gentar meski maut sudah di depan mata.