Demi mendengarnya gadis itu tertawa terbahak-bahak, bahu dan tubuhnya seakan tremor akut, ia tak malu membuka mulut lebar untuk terus melantangkan tawa. Kedua matanya sampai berair, wajahnya merah padam, perutnya seakan terkena tekanan halus yang menggelikan, ia tertawa sampai ia sadar tak ada yang lucu, melanjutkan lagi sisa tawa, bertepuk tangan dengan irama yang ganjil.
Seperti orang gila, pemuda yang semenjak tadi duduk di hadapannya membatin sembari tersenyum. Senyum yang memberikan kesan pada lawan bicara bahwa ia tak senang mendengar tawa itu.
Sadar bila tawanya terlalu lepas untuk seseorang yang tak mengenalnya, gadis itu akhirnya menutup wajah, mengendalikan euphoria yang meletup-letup bagai berondong jagung. Terasa benar-benar menggelikan.
"Setan."
Bukannya reda selepas mendengar ejekan yang dilontarkan pemuda itu, gadis berkuncir dua itu semakin tak bisa mengendalikan tawa. Bukan hanya pemuda itu yang bingung, dirinya sendiri bingung akan apa yang menjadi sebab tawanya. Tak ada yang lucu. Tapi kenapa ia tak bisa berhenti?
Gadis itu akhirnya menarik napas. Sesuai perkataan pemuda di hadapannya yang terus menitahnya untuk tenang. Setelah mengingat-ingat, sudah lama sekali ia tidak selepas ini. Layaknya baru menyaksikan stand up komedi, poni sebatas alisnya sampai berantakan karena terguncang.
Apa yang barusan pemuda itu katakan? Ingin mengenalnya lebih? Lebih maju sampai mana? Maju? Yang benar saja, terdengar seperti motto hidup Yamaha—semakin di depan.
"Iya boleh ...," ucapnya di sela tawa yang belum mereda, dalam pikirannya ia berusaha mengenyahkan kata-kata dari salah satu perusahaan kendaraan itu.
"Teman, kan?" tanyanya sambil menatap pemuda berkaus basket itu dengan tatapan pengertian, namun lelaki yang selisih lima tahun darinya itu malah mengerutkan kening. Merasa disalahartikan.
"Bukan."
Gadis itu mengangkat kedua alis, kedua sudut bibir kecil padatnya tertarik ke bawah, membentuk parabola terbalik.
"Sahabat? Tapi kita nggak sedekat itu."
Pemuda itu mengusap wajah, tampak bingung musti menyampaikan apa yang ingin ia katakan. Menatap gadis itu yang masih dengan pandangan polos bertanya-tanya, pemuda itu menggeleng.
"Oh, bukan juga?"
"Partner service elektronik?" tebaknya sambil mengingat urusannya datang jauh-jauh ke kediaman pemuda ini hanya untuk mereset ulang laptop dan komputer. Pemuda itu mengerutkan kening, menggeleng lagi.
"Ehm ..." Gadis itu berpikir. "Kalau gitu ... super bestfriend?"
"Bukan!" Pemuda itu mengepalkan tangan di atas meja. Kipas angin di sudut ruangan bekerja, tapi mengapa udara baginya terasa gerah.
"Suer, dah. Nggak ngerti aku, tuh," keluh gadis itu sambil menggaruk bagian belakang lehernya. Pemuda di hadapannya tampak masih kesulitan mengungkapkan apa yang ingin ia sampaikan, hanya mengigit bibir, gugup.
Sadar ada yang aneh dengan gelagat pemuda di hadapannya, gadis itu memilih menyesap kopi. Entah kenapa ada perasaan buruk terhadap apa yang akan terjadi, perasaan yang persis dengan hatinya saat akan terjadi gempa. Firasat dan insting kuat musti berlari keluar, menjauhi apapun, naik ke tempat tinggi.
Pemuda itu berdeham, mengambil atensi gadis berkacamata itu setelah beberapa saat hening.
Tapi tak ada yang pemuda itu katakan, hanya mulutnya yang terbuka lalu dengan cepat menutup lagi. Gadis itu mulai membayangkan sesuatu, mungkin saja pemuda itu akan memakannya.
"Kenapa mulutnya kayak ikan mas koki gitu, sih? Pengen makan, bukan?" ucapnya diiringi tawa sebentar, memamerkan gigi kelincinya.
Merasa candanya tetap tak membuat pemuda itu luruh, gadis itu cepat bungkam kembali. Mengaduk-aduk kopi hitam yang disajikan untuknya. Otaknya tiba-tiba berpikir macam-macam. Sebab gadis itu seorang penulis novel, banyak gambaran kemungkinan yang bisa terjadi. Seperti pemuda itu tiba-tiba mengatakan mau membunuhnya dan meminta dirinya untuk ikhlas disembelih, atau pemuda itu minta bantuan untuk mengubur jasad asisten rumah tangga keluarganya yang tak sengaja ia bacok. Bukan sekali saja pemikiran gadis itu seperti diluar kewajaran, sebagai penulis bergenre misteri, gadis itu jelas-jelas memikirkan semua kemungkinan buruk.
Apa ini karma? Tapi dia menulis untuk kesenangan. Inikah yang namanya 'orang mati karena kebiasaannya?' dirinya sering menulis misteri dan horror, menggali pengalaman orang lain, riset, bahkan mengambil inspirasi dari kisah nyata. Sekarang bisa saja, kan, pada akhirnya dia mengalami sendiri apa yang ditulisnya. Kalau ucapan adalah doa, maka tulisan adalah masa depan. Ini sungguh gawat, baginya ini sungguh di luar dugaan.
Kalau saja dari awal ia lebih condong ke genre komedi, mungkin saja yang terjadi kini bukanlah lelaki kanibal yang hendak membunuh dirinya di tempat. Mungkin kalau ia condong ke komedi, kini lelaki itu tiba-tiba tertawa dan mengatakan hal-hal remeh seperti 'ada ular di sepatumu.' Lalu ia mendadak berlari dan melompat-lompat sambil memeragakan apa yang ia tiru dari vidio kelas dansa, lengkap dengan baju balerinanya.
Mulai berpikir ingin selamat, gadis itu mencoba tetap logis walau ia lebih gugup ketimbang saat ujian praktek di sekolahnya. Ia berpikir, selama ini apa cara paling sadis yang ia lakukan pada tokoh-tokoh dalam novelnya?
Menyembelih, belly stab, menusuk pusar sampai tembus ke belakang, mencungkil mata, memaksa korban menelan pisau, mencabuti kuku, mengacak-acak organ di perutnya, memasukan air lewat mulut dan bokong hingga perut korban meledak, diracun menggunakan asam sulfat, lalu ... apa lagi?
"Hei!"
Gadis itu mendongak, tersentak dari pikirannya. Pemuda itu menatapnya aneh sebelum kembali bersandar di punggung kursi.
"Hei juga," lirih gadis itu, sambil nyengir kuda. Lelaki itu seperti melihat sesuatu yang menyeramkan, ia bergidik ngeri.
"Situ serius ga ngerti?" lirih pemuda itu dengan pelan, dari tatapan jengkelnya seolah ia tak habis pikir akan sesuatu yang gadis itu perbuat. Gadis itu menggeleng.
"Eh?" Gadis itu membesarkan tatapannya, balik bertanya sambil memiringkan kepalanya sebelah, mendekati 90°. "Maksudnya gimana, ya?"
"Ya Tuhan ..."
"Hih ... Kenapa kek yang berserah diri gitu, sih?" gadis itu tertawa melihat pemuda itu menutup wajah, seperti lelah dan berdoa.