Kepala Rara jatuh di atas kertas yang sudah dipenuhi sketsa, tapi sedetik kemudian dia segera tersadar. Seraya mengerjap, gadis itu mengangkat kepalanya dan melirik isi gelasnya yang sudah kosong. Gadis itu mendesah. Malam ini, dia sudah menghabiskan tiga gelas kopi susu dan tetap saja mengantuk. Matanya melirik ke arah jam di atas meja kerjanya. Pukul tiga dini hari dan dia masih berusaha tetap sadar.
Dia meregangkan tubuh, lalu menatap hasil kerjanya, konsep desain untuk proyek interior apartemen baru di Jakarta Selatan. Sebenarnya ini bukan tugasnya. Tapi saat kemarin dia ikut bersama tim desain melihat apartemen itu, mendadak dia punya ide.
Rara sadar, Ascarya Konsultan Desain sudah memiliki tim desain terbaik. Sementara dia bukan salah satu dari tim desain di kantor ini. Dia hanya bertugas mengawasi manajemen kantor.
Selama setahun bekerja di sini Rara menyaksikan bagaimana kakaknya Sasi selalu mendapat perhatian lebih dari ayahnya. Sebagai seorang arsitek cerdas, Sasi selalu menghasilkan ide-ide desain brilian yang mendapat pujian klien dan membuat ayahnya bangga.
Rara juga ingin sekali saja hasil kerjanya di perusahaan ini diakui. Dia memang tidak bisa menggambar sebagus Sasi, tapi selama setahun bergaul dengan tim desain, Rara mulai tahu bagaimana cara membuat konsep desain.
Tinggal sedikit lagi. Aku yakin ideku ini belum terpikir sama Sasi. Sasi itu kan selalu berkiblat ke desain modern, minimalis, meniru desain Jepang dan Jerman. Kali ini aku yakin bisa bikin ayah tertarik dengan ideku ini, batin Rara.
Menjelang setengah empat barulah pekerjaannya selesai. Rara menghela napas, meregangkan tubuhnya, mengangkat kedua lengannya ke atas. Lalu dia bangkit dari duduknya, pindah ke tempat tidur. Dia merebahkan tubuhnya di atas kasurnya yang empuk.
“Akhirnya, bisa meluruskan punggung sebentar,” gumamnya, lalu tersenyum puas.
Dia memasang alarm pukul setengah enam pagi. Dia masih punya waktu dua jam untuk terlelap.
Dua jam itu rasanya hanya sekejap. Dia terlonjak mendengar suara alarm berdering. Dia masih merebahkan tubuh sebentar, saat pintu kamarnya diketuk keras, lalu teriakan kakaknya menggema.
“Jenitra Ascarya, bangun!”
Gadis itu mendelik. Seperti biasa, kakaknya itu selalu berlebihan, membangunkannya dengan menyebut nama lengkapnya. Dengan enggan dia berdiri, lalu menuju pintu dan membukanya.
“Aku sudah bangun,” ucapnya pada sosok tinggi langsing yang sudah berpakaian kerja rapi di pukul enam pagi. Sasikirana Ascarya, kakak Jenitra Ascarya. Pemimpin Ascarya Konsultan Desain yang sangat disiplin.
“Jangan sampai terlambat. Kamu tahu kan, Jakarta macetnya bukan main.” Sasi mengingatkan tapi dengan nada lebih mirip memerintah.
Rara bekerja di kantor yang sama dengan Sasi, tapi mereka tidak pernah berangkat bersama. Sasi selalu lebih dulu. Pukul enam lewat sedikit, Sasi sudah melajukan mobilnya menuju kantor. Setelah itu menyusul Pak Dipo Ascarya, ayah dari Sasi dan Rara yang juga pemilik Ascarya Grup, perusahaan keluarga yang bergerak di bidang desain dan kontraktor bangunan. Rara selalu menjadi yang paling terakhir berangkat dengan mobilnya sendiri.
Dengan penuh semangat Rara membawa sketsa yang semalaman hingga menjelang pagi dia kerjakan. Kali ini rasa percaya dirinya benar-benar tinggi, dia siap mempresentasikan konsepnya ini di hadapan ayah dan kakaknya. Di sela-sela tugasnya di kantor, dia merapikan lagi sketsa dan konsep rancangannya itu.
Usai makan siang, Rara menuju ruangan Sasi untuk datang ke kantor ayah mereka yang berada tepat di sebelah kantor mereka bersama-sama. Ada rapat kecil yang rutin mereka lakukan tiap akhir bulan.
“Siang, Mbak Rara, Bu Sasi sudah ke kantor sebelah, Mbak,” sapa Diana, gadis penjaga meja resepsionis, saat melihat Rara mengetuk pintu ruangan Sasi.
Rara menoleh pada Diana, meniup udara agak kesal. Seperti biasa, Sasi selalu meninggalkannya padahal mereka bisa pergi bersama. Tanpa bicara Rara bergegas menuju kantor ayahnya. Dia hanya menyapa sekilas penjaga meja resepsionis, lalu langsung masuk ke ruangan ayahnya.
“Rara, kamu ini kebiasaan, masuk nggak permisi dulu,” sambut Sasi ketika Rara baru saja menutup pintu.
“Kamu juga sering nyelonong begitu saja ke ruanganku,” balas Rara, lalu dengan sikap tak peduli dia duduk di satu kursi yang masih kosong di samping Sasi.
“Rara, kakakmu benar. Biasakan kalau mau masuk ruangan mengetuk dulu.” Pak Dipo Ascarya ikut menegur Rara.