Republik Bandit

Arie Raditya Pradipta
Chapter #2

Integrasi

Alunan pelan petikan bertenaga pada selo yang disambung oleh tabuhan snare dan simbal perlahan mengantar sahutan saksofon yang kemudian muncul dominan mengatur melodi lagu pengiring nyanyian syahdu seorang penyanyi wanita bersuara alto. Komposisi musik jazz yang pelan lagi syahdu itu melatari suasana makan malam di sebuah ballroom hotel di dekat pusat kota Ujung Barat yang dihadiri oleh ratusan orang. Memakai setelan jas lengkap berwarna gelap adalah tata krama yang umum dalam acara perayaan di waktu makan malam seperti ini. Begitu juga para wanita berpakaian dengan gaun panjang mereka dan aksesoris kepala yang minimalis. Sebagian besar tamu tengah tenggelam dalam perbincangan di meja bundar mereka yang diisi sekitar delapan orang sambil menyantap hidangan dan minuman penghangat suasana. Acara perayaan ini sedang menuju waktu puncaknya.

Seraya nyanyian syahdu itu selesai dengan sempurna, seorang pria dengan setelan jas abu arang dan rambut ikal yang ditata rapi naik ke panggung dan meminjam mikrofon ikonis Unidyne yang berdiri setinggi mulutnya. Riuh tepukan tangan para tamu pun terdengar dari tiap sisi ruangan, beberapa orang sampai berdiri. Pria itu hanya bisa tersenyum dan sedikit merendahkan kepala sambil menaruh tangan kanan di dadanya tanda ia menghargai tepukan itu.

“Terima kasih. Saya tidak akan berdiri di sini saat ini tanpa kehebatan Anda semua. Kerja sama kita dalam Kooperasi yang kita bangun bersama ini adalah anugerah yang selalu saya syukuri selama dua tahun ini," buka pria itu dengan rendah diri.

Beberapa fotografer mulai mengambil gambar dengan kamera Kodak Brownie yang dilengkapi lampu flash sekali pakai.

“Sebagian besar dari kita mungkin memang pendatang di tanah Ujung Barat ini. Tapi kecintaan kita untuk mempertahankan kemakmuran kota ini adalah sama. Kecintaan itu kita buktikan dengan kesuksesan kerja sama kita semua dalam dua tahun terakhir. Pendatang ataupun penduduk asli adalah sama dalam mata Kooperasi. Karena kita saling melengkapi dalam membangun kemakmuran. Agar kita lebih kuat dan mampu bersaing dengan industri-industri besar yang berusaha menguasai kemakmuran kota ini.”

Tepuk tangan kembali terdengar. Isu ini memang menjadi topik pembicaraan yang hangat di antara para pengusaha kecil-menengah yang hadir di acara dua tahun berdirinya Kooperasi Usaha Rakyat Ujung Barat malam ini. Munculnya beberapa industri besar di Ujung Barat pascarevolusi di Republik menjadi tantangan yang nyata dirasakan oleh pengusaha lokal.

“Biarlah mereka berjaya dengan investasi dari luar negeri yang mereka bawa. Tapi persatuan rakyat kecil seperti kita nilainya pasti jauh melampaui itu. Dua tahun ini kita telah membuktikannya dengan pertumbuhan yang sangat pesat. Tidak mengagetkan seharusnya bila dalam dua tahun ke depan kita bisa mengalahkan dominasi mereka.” Kalimat penutup itu disambut tepukan tangan dan sorakan yang lebih meriah dari sebelum-sebelumnya. Ia pun menuruni panggung setelah membungkuk hormat dan langsung disambut oleh jabat tangan dan pelukan akrab dari beberapa kolega dan rekan yang sudah menunggu di bawah panggung. Di ujung antrian ucapan selamat, seorang wanita berdiri anggun dengan gaun marun gelap lengkap dengan sarung tangan sampai siku dan clutch bag kulit berwarna hitam.

“Sambutan yang menarik untuk ditelaah. Sepertinya Anda sengaja meninggalkan teka-teki soal isu ini,” sapa wanita itu ketika akhirnya mendapat giliran menjabat tangan Indra.

Sejenak Indra tertegun dengan komentarnya ketika kemudian seorang yang Indra kenal datang dari belakang wanita itu. “Maaf Pak, ini Nona Maya, wartawan dari Kantor Berita Ujung Barat yang sudah membuat janji sepekan lalu. Hanya mohon maaf Nona, wawancaranya akan saya jadwalkan besok di kantor Kooperasi kami,” sergahnya sambil sedikit merapikan jas dan dasinya setelah berjalan agak cepat untuk menghampiri Indra dan Maya.

“Tenang, Gus. Saya cukup senggang saat ini. Acara tinggal kamu pastikan berjalan sesuai jadwal,” Indra mengoreksi ucapan asistennya. Komentar Maya tentang sambutannya membuatnya sedikit penasaran tentang sejauh mana yang Maya ataupun Kantor Berita ketahui tentang keadaan persaingan bisnis di distrik industri Ujung Barat saat ini.

“Oh, baik.” Bagus kemudian memanggil pramusaji untuk menyiapkan meja bagi mereka berdua sebelum kembali bertugas memastikan acara berjalan sempurna.

 “Silakan, perbincangan dengan wartawan Kantor Berita pasti akan panjang. Kita butuh tempat yang nyaman.” Ia mengajak Maya untuk duduk di meja bundar yang sudah disiapkan.

“Saya tidak menyangka pengusaha yang menjadi anggota Kooperasi Anda sebanyak ini." Maya menduduki kursinya perlahan setelah dipersilakan pramusaji.

“Sebenarnya ini hanya karena kerja sama yang kami tawarkan lebih adil dan setara. Sisanya tinggal mengenalkan ini ke lebih banyak orang dan memastikan keadilan dan kesetaraan terjaga. Oh ya, lebih tepatnya Kooperasi ini milik anggota, bukan milik saya.”

Pramusaji lainnya menghampiri meja mereka berdua untuk menghidangkan minuman dalam gelas kristal.

“Apakah yang Anda maksud dengan ‘lebih adil dan setara’ ada hubungannya dengan perbankan kota?”

“Sepertinya saya harus lebih berhati-hati dalam menjawab pertanyaan Anda.” Indra menyadari pertanyaan Maya yang berusaha menggiring opininya. Maya hanya tersenyum, gaya wawancaranya dengan mudah dipahami Indra.

Setelah meneguk sedikit minumannya Indra berusaha memberikan tanggapan, “Sebagian anggota kami memang dulunya adalah nasabah dari perbankan milik kota. Bahwa mereka kemudian berpindah menjadi anggota kami karena kecewa dengan cara perbankan kota memperlakukan para kreditor kecil bisa dibilang benar. Tapi itu semua tentu sepenuhnya hak anggota untuk memilih.”

“Tentang kekecewaan mereka itu, apakah karena perbankan kota menggunakan jasa gerombolan residivis untuk menagih kreditor kecil?”

Lihat selengkapnya