Orkestra suara mesin tik yang saling bersahutan selalu berhasil menguasai atmosfer di Kantor Berita Ujung Barat pada jam sibuk di hari biasa. Terkadang komposisinya diselingi oleh aksen suara telepon yang berdering atau pintu yang ditutup. Kesibukan itu seakan tak pernah redup mengingat tenggat waktu selalu mengejar laporan mereka, berita tak bisa menunggu untuk dikabarkan.
Di salah satu dari puluhan meja yang memenuhi ruangan itu, dengan tumpukan kertas beserta alat tulis dan mesin tik yang menyesakinya, Maya tenggelam secara harfiah dan kiasan. Tumpukan kertas dan buku yang menjadi bahan laporannya terlalu sering membuat orang tak menyadari bahwa ada Maya di meja itu. Satu-satunya yang membuat koleganya tahu bahwa ia sedang tidak di lapangan adalah suara mesin tiknya yang menghentak merdu, itu tandanya investigasi telah rampung dan Maya sedang menyelami tulisannya yang mungkin esok membuat salah satu orang penting cemas.
“Siapa lagi orang penting yang jadi korbanmu besok pagi, May?” seloroh seorang pria sebaya Maya yang tiba-tiba datang menghampiri mejanya.
Agak kaget dan sedikit kesal diganggu dalam gumulnya dengan mesin tik, Maya menoleh, “Kamal! Ke mana saja kamu?” mimik kesal Maya spontan hilang. Rupanya kedatangan Kamal tidak terlalu mengganggu.
“Seperti biasa, ternyata butuh waktu lama untuk menyelesaikan investigasiku kali ini," jawab Kamal sambil meletakan topi fedora dan jas abu gelapnya di meja sebelah meja Maya. Sebagai sesama wartawan investigasi, meja kerja mereka bersebelahan walaupun mereka tak sering bertemu karena lebih banyak berada di lapangan dalam pencegatan sumber-sumber yang tak disangka maupun penyamaran.
“Tentunya. Sejak kapan liputanmu berjalan mulus.” Tak ingin mengetahui lebih lanjut, Maya memilih kembali pada tulisannya.
“Tapi tak seharusnya aku di sini siang ini,” nada bicara Kamal agak berubah. “Kemarin malam, Pak Raka menghubungiku dan memintaku untuk datang ke kantor. Aku bilang liputanku belum rampung, tapi ia memaksa karena ada persoalan lain yang harus dibicarakan. Apa kau tahu soal ini, May? Ada apa sebenarnya?”
Maya kembali menatap Kamal sambil membetulkan posisi kacamata bacanya yang sedikit merosot. Ia lalu menengok ke sekeliling memastikan tak ada yang menguping pembicaraan mereka. Merasa yakin tak ada yang memperhatikan mereka berdua, Maya kembali pada posisi semula. “Pak Raka ingin menemui kita berdua, mungkin sebentar lagi ia akan memanggil," katanya sambil memperhatikan jam dinding di ujung ruangan yang berada di atas pintu menuju ruang dewan redaksi. “Ia ingin membicarakan tentang liputan khusus yang akan dimuat di majalah edisi spesial pemilihan wali kota yang akan terbit bulan depan. Hanya saja diskusi kita tidak akan melibatkan beberapa anggota dewan redaksi. Kau tahu, sepertinya Pak Raka ingin liputan kita dirahasiakan dari anggota dewan redaksi yang mendukung Wiranagara.”
Agak lama Kamal terdiam, ia lalu menegakkan duduknya yang tadinya membungkuk dan melipat kedua tangannya di dada. “Pak Raka terlalu berani. Padahal ini baru kuartal kedua ia memimpin kantor berita ini.”
“Aku pun berpikir begitu. Tapi sepertinya ia merasa ini momentum yang tepat untuk melakukan apa yang sudah kita bicarakan sejak lama, menjadi ketua dewan redaksi untuk kembali memberitakan kenyataan. Bukan lagi menjadi alat propaganda Wiranagara dan antek-anteknya.”
Kamal masih tidak yakin dengan kematangan langkah berani ini. “Ya, kita harus bersiap dengan apa yang akan terjadi.”
“Menurutmu apa yang bisa terjadi?”
“Wiranagara didukung penuh oleh Koalisi Republik, dan mereka tak akan tinggal diam soal ini."
Pintu ruang dewan redaksi tiba-tiba terbuka. Kamal dan Maya pun sontak menoleh. Mereka mendapati Pak Raka yang mengecek sekeliling dengan perlahan dan lalu memanggil mereka berdua dengan isyarat tangan untuk masuk ke ruangan itu. Maya dan Kamal pun segera beranjak dan berjalan menuju ruangan dewan redaksi.
Ruangan itu didominasi oleh meja besar yang dikelilingi oleh sekodi kursi. Cahaya matahari dari jendela kaca lebar yang memenuhi dinding sebelah barat ruangan itu membuat suasana di dalam lebih hangat. Namun Pak Raka memilih untuk menutup sekat tirai dan menyalakan penerangan untuk memastikan tak ada yang memperhatikan pertemuan mereka. Hanya setengah dari anggota dewan redaksi yang hadir dalam pertemuan itu. Kondisi ini mencerminkan redaktur Kantor Berita yang telah terbelah menjadi dua faksi. Antara wartawan yang mendukung kekuasaan Wiranagara dan Koalisi Republik, dengan wartawan yang tidak setuju Kantor Berita menjadi alat propaganda para penguasa. Perlawanan ini sudah dimulai Pak Raka sejak ia memulai karir jurnalisnya di Kantor Berita. Sampai akhirnya ia mampu memenuhi dewan redaksi dengan orang-orang yang mendukungnya dan mendapat dukungan dari setengah wartawan yang ada di kantor berita adalah perjalanan yang amat panjang.
“Baik. Maya, Kamal, aku ingin kalian melanjutkan liputan kalian yang dulu pernah dijegal pimpinan redaksi sebelumku. Tapi aku mau data yang lebih dalam dan terkini," papar Pak Raka langsung kepada inti pembicaraan. Waktu mereka tak banyak dan pembicaraan ini terlalu berbahaya jika dilakukan dengan berlarut-larut. “Kita akan bungkus ulasan lengkap tentang dinasti Wiranagara ini dengan profil orang-orang yang patut dipertimbangkan untuk menjadi calon wali kota. Beberapa Maya sudah punya profilnya. Kita bisa masukan orang-orang seperti Indra Kumara yang mewakili pebisnis, atau anggota dewan Yudhistira juga bisa kita masukan profilnya untuk mewakili sisi politikus. Apalagi dia berada di kubu oposisi, tentu akan lebih menarik. Kamu harus tambahkan beberapa nama lagi, May.”