Republik Bandit

Arie Raditya Pradipta
Chapter #5

Kobar

Tak ada yang mengalahkan nikmatnya boga bahari yang dimasak dengan piawai oleh para koki di Osean Gastro, sebuah restoran di pusat kota Ujung Barat yang menjadi tempat favorit kalangan elite di kota itu. Pada jam makan siang di masa krisis ekonomi yang melanda Republik, restoran ini tetap terlihat penuh oleh orang-orang dengan pakaian necis. Sebuah keadaan yang benar-benar mengafirmasi bahwa krisis ekonomi hanya dirasakan oleh warga kelas menengah ke bawah.

“Aku heran betul, Bang Jon. Bisa-bisanya orang-orang itu masih aja pada pesen makanan di sini. Udah harganya selangit, porsinya gak banyak, ditambah sekarang kan jaman lagi susah. Apa lagi pada lupa, atau emang aku aja yang miskin?” kata Bob sang pramusaji yang selalu tak bisa menahan untuk menyampaikan isi hatinya.

“Itu pasti karena kamu miskin Bob. Kalau kamu ga miskin kamu ga bakal komentarin mereka-mereka kaum elite ini, tapi kamu bakal makan bareng mereka. Masa sih kalau lagi makan makanan istimewa kayak di sini kamu malah mikir ‘duh, gimana ya pelayan-pelayannya. Pasti pada kesel liat kita makan makanan seharga seminggu gajinya’. Ya enggak. Makan aja mereka,” jawab Jon dengan tak kalah asal.

“Bisa aja Bang Jon. Tapi kita beruntung ya Bang, sebagai rakyat jelata masih bisa gajian di zaman susah ini. Untung pelanggan kita orang-orang elite yang dompetnya gak pernah tipis,” simpul Bob yang tiba-tiba malah merenungi nasibnya.

“Aku sih gak mau mandang kayak gitu. Aku selalu kesal sama mereka. Apa lagi sama orang ini, Wali Kota Wiranagara,” kata Jon menunjuk Wiranagara yang terlihat dari jendela kaca berbentuk bulat yang ada di pintu ruang dapur di mana mereka berada di baliknya.

“Lho, memang kenapa Pak Wali Kota, Bang? Kan wajar dia makan di sini.”

“Ya harusnya enggak di masa-masa seperti ini dong. Itu namanya pemimpin yang gak peka. Kita aja harus irit-irit. Lagian dia kerja apa sih selama ini? Kita kayak nggak pernah sejahtera. Dia aja tuh yang makin sejahtera. Tuh, lihat aja perutnya.”

Bob jadi terdiam memikirkan komentar seniornya itu. Sebagai pendatang yang belum lama mengadu nasib di kota ini, masih banyak kondisi sosial yang belum dipahaminya. Misalnya saja seperti masalah pemimpin mereka ini, kalau masyarakat merasa tidak puas kok bisa-bisanya dia terpilih berkali-kali. “Bang, Pak Wiranagara ini kan terpilih jadi wali kota udah berkali-kali. Dari sebelum Zaman Republik, bapaknya juga jadi wali kota di sini. Kok bisa dia terpilih terus kalo hasil kerjanya gak memuaskan?”

Jon agak kaget juga mendengar kepolosan si Bob — Anak kemarin sore. “Ya jelas aja, Bob. Orang dia pelihara terus antek-anteknya. Dia kuasain polisi, dia kuasain mafia-mafia lokal, dia kuasain anggota dewan, ya rakyat kecil mah cuma bisa ngikut,” papar Jon agak emosi.

“Ya tapi kan kalian rakyat kecil lebih banyak. Kan bisa melawan.”

Jon langsung melotot.”Ssst!! Jaga omongan kamu!” Jon langsung menutup mulut liar Bob sambil melihat di balik pintu. “Gimana kalo ada ajudannya Wiranagara dekat sini!? Bisa habis kita!”

“Lah, Abang tadi ngeledekin perut dia boleh-boleh aja,” kata Bob kesal setelah melepaskan bekapan tangan Jon dari mulutnya.

“Ya suaramu itu berisik. Aku kan ngomongnya biasa aja. Gak kayak kamu. Udik dasar!” omel Jon yang sebenarnya mengada-ada juga. “Lagian kan cuma ngeledekin perut, bukan ngajak…”

“Hei!” tiba-tiba koki memanggil dengan kesal. “Itu telinga apa cantelan centong? Bel dipencet berkali-kali kok tidak dengar. Ini pesanan VVIP sudah siap. Antarkan sana!”

Jon dan Bob langsung berhenti bertengkar dan bersiap mengantarkan hidangan spesial yang dipresentasikan dengan sangat cantik, seekor lobster segar dari laut terdekat yang dimasak dengan kombinasi rempah-rempah dan dilengkapi saus khas yang dioles secara estetis. Beberapa hidangan pelengkap pun ikut disajikan beserta hidangan utama. Mereka mengantarnya ke meja khusus yang berada di pinggir ruangan di dekat jendela besar yang terpisah dengan meja lainnya. Dari situ pemandangan kota Ujung Barat bisa dilihat hingga ke pelabuhan.

Wiranagara tengah menikmati pemandangan kota yang dikuasainya dengan ditemani sebotol anggur yang sudah dituangkan sedikit isinya ke gelas kristal yang dipegangnya. Jon dan Bob yang menata makanan istimewa di mejanya sama sekali tidak digubrisnya.

Tak lama setelah makanan tersaji dan para pramusaji pergi, seseorang dengan badan tegap dan berbaju seragam lengkap dengan pangkat berbintang di bahunya menghampiri meja Wiranagara setelah dikenali dan diberi salam hormat oleh ajudannya.

“Selamat Siang, Pak,” sapa pria berseragam itu sebelum kemudian ia pun ikut duduk setelah dipersilakan Wiranagara dengan isyarat tangan. Ia sama sekali tak menjawab sapaan tamunya yang baru hadir. 

“Aku harap kau bisa mendukungku selama pembicaraan kita dengan Brahma nanti, Jef,” kata Wiranagara sambil menyantap makan siangnya.

“Tidak masalah, Pak,” jawab Jefri berusaha meyakinkan. “Kepolisian kota selalu berada di pihak Balai Kota.”

Wiranagara tak berkomentar lebih lanjut. Lobsternya terlalu nikmat untuk diganggu perkataan yang tak perlu.

Beberapa suap telah ia santap, lalu ia berhenti sejenak. “Tomi menemuiku tadi malam,” kata Wiranagara mengganti topik pembicaraan. Mendengar kalimat pembukanya membuat Jefri menyimak dengan seksama. “Aku sedikit merasa iba kepada mereka. Mereka pikir mereka bagian dari Sindikat.”

Jefri tertawa kecil mendengar pernyataan Wiranagara. “Apa yang dikatakan para bandit menyedihkan itu?”

“Ia minta anak buahnya yang masih berada di tahanan dipercepat pembebasannya secara resmi atau pun diam-diam,” jawab Wiranagara sambil mengunyah sisa lobster di mulutnya dan menelannya.

Kali ini tawa Jefri tak bisa ditahan. “Mereka benar-benar bodoh sampai mereka tak menyadarinya.” Jefri tak habis pikir dengan permintaan Tomi yang mengada-ada. “Mau melakukan apa lagi mereka dengan orang sebanyak itu?”

“Entahlah. Setidaknya kita tak perlu repot-repot membuat kekacauan di sana. Mereka memang martir yang bisa diandalkan,” jawab Wiranagara sambil masih berusaha menghabiskan lobsternya.

“Tapi membersihkan sisa-sisa ulah mereka tetaplah merepotkan. Apa yang mereka lakukan untuk membakar gudang Kooperasi saja menyisakan banyak sekali jejak. Wartawan akan mudah menemukan banyak bukti bila datang lebih dulu dari kami,” kata Jefri. Ingin sekali ia menyampaikan keluhan ringan itu kepada atasannya. “Saya hanya khawatir ada bukti yang bisa memojokkan kita bila mereka beraksi dengan terlalu jorok.”

Wiranagara masih melanjutkan santap siangnya tanpa terlalu menyimak keluhan Jefri, walau lobster rempah itu tak membuatnya melupakan poin pembicaraan mereka. “Aku akan mengeluarkan aturan pembebasan narapidana itu besok. Alasan penekanan anggaran akan mudah diterima dewan tanpa menyebabkan polemik yang berlarut-larut. Brahma akan membantu kita untuk menembuskannya ke Istana.”

Jefri tak begitu yakin dengan langkah yang Wiranagara ambil. “Sampai saat ini memang intelijen kepolisian kota belum menemukan munculnya perkumpulan yang mencurigakan di akar rumput,” papar Jefri. Terlihat sedikit kekhawatiran di raut mukanya, “Tapi, satu letusan senapan yang mengarah pada orang yang salah mampu menciptakan kekacauan dalam sekejap.” Jefri hanya bisa menatap Wiranagara. Ia ingin memperlihatkan bahwa banyak potensi terjadinya kesalahan fatal dalam langkah ini. “Tomi pasti butuh banyak orang untuk kekacauan yang lebih besar. Mengingat tabiatnya aku khawatir keadaan akan lepas dari kendali kita.”

Wiranagara balik menatapnya. Kali ini ia menyimak Jefri dengan serius. Tapi memang tak ada kata-kata lain yang perlu ia lontarkan. “Itu tugasmu. Pastikan berjalan dengan baik,” ucapnya dengan santai.

Jefri tak bisa mengucapkan apa-apa selain menelan kata-kata atasannya. Ia paham pada dasarnya ia hanyalah pion yang harus selalu siap kemanapun sang tuan menggerakkannya.

Tak lama salah satu ajudan mendekat ke meja dengan terburu-buru dari arah pintu masuk, “Jendral Brahma sudah datang, Pak.”

Wiranagara dan Jefri langsung bersiap dan berdiri begitu melihat Brahma dan kedua ajudannya datang mendekati meja mereka. “Sepertinya ini salah satu tempat kesukaanmu, Wira. Tak terlalu buruk,” kata Brahma yang langsung menempati tempat duduknya.

“Aku hanya ingin menyuguhkan yang terbaik untuk tamu khusus,” sambung Wiranagara yang juga kembali duduk kemudian.

“Sejak dulu aku selalu suka para penguasa di Ujung Barat. Kalian punya cita rasa,” ucap Brahma. Ia mulai menyalakan cerutunya dengan api yang dinyalakan oleh ajudannya.

Lihat selengkapnya