Maya bergegas sejak mendapat kabar tentang aksi penembakan di rumah Indra. Firasatnya semakin kuat akan kondisi yang tidak beres dengan sekeliling orang ini.
Dari kantornya di pusat kota Maya langsung menuju distrik industri di sebelah timur. Sesampainya di lokasi, ia mendapati TKP masih ramai dengan polisi dan warga yang ingin tahu. Garis polisi pun baru saja selesai dipasang.
"Apakah Kolonel Jefri ada di sini?" Tanya Maya kepada salah satu petugas olah TKP yang ada di dekatnya.
"Coba saja ke dalam," kata petugas itu dengan samar-samar karena ia menggunakan masker.
Maya lalu berusaha ke dalam rumah di tengah hiruk pikuk petugas. Melihat keadaan muka rumah yang rusak parah akibat hujanan peluru dari belasan senapan mesin memang mengerikan. Meski ini bukan kali pertama Maya melihat TKP dalam keadaan seperti ini, tapi setiap kali melihat masih saja ada perasaan tidak nyaman. Selalu ada bayangan tentang keluarga yang mengalami kejadian ini, bila ada korban bagaimana nasibnya, dan bayangan-bayangan lainnya. Tapi mengetahui Indra dan keluarganya baik-baik saja membuat Maya sedikit lega, walaupun Bagus harus dirawat intensif. Mengingat dia pernah mengenalnya, hal ini terasa lebih nahas lagi.
“Permisi, Anda siapa dan ada keperluan apa?” petugas penjaga perimeter mencegatnya.
“Saya wartawan. Saya ingin bertemu dengan Kolonel Jefri,” jawab Maya sambil menunjukkan kartu pers. Tentu ia sudah biasa menghadapi pencegatan seperti ini. Memasuki daerah-daerah yang dilarang adalah rekreasi baginya.
Petugas itu mengambil kartu pers Maya dan memperhatikannya sebentar. “Kolonel Jefri belum datang. Hanya ada Mayor Heru,” jawab petugas itu sambil menyerahkan kartunya.
“Tidak apa. Beliau bisa mewakilkan,” sambar Maya dengan sigap.
Pembatas pun dibukakan untuknya. Ia melewati garasi untuk masuk ke rumah melalui pintu masuk yang ada di garasi. Ia memperhatikan Fiat Millecento yang terparkir di situ. Mobil itu tak ikut menjadi korban karena berada di bagian rumah yang berbeda dengan teras dan ruang tamu.
“Siang, Mayor,” sapa Maya kepada Mayor Heru yang sedang duduk di kursi meja makan memeriksa beberapa catatan laporan yang diserahkan padanya. Dapur itu adalah salah satu tempat yang selamat.
“Ah, Maya. Siang, May,” jawabnya walau tak mengharapkan kehadirannya.
“Apakah ada kesimpulan yang sudah bisa diambil sementara ini?” tanya Maya langsung menyelidik.
“Sejauh ini kami baru menyimpulkan jenis senapan, jenis peluru, jumlah perkiraan yang digunakan, …” jawab Mayor Heru sambil mendikte dari catatannya.
“Apakah sudah ada kesimpulan tentang pelaku? Apakah ada petunjuk tentang identitasnya?” sambar Maya ingin langsung mendapat jawaban yang memiliki bobot.
“Kalau itu belum. Kami belum bisa menyimpulkan, karena masih sedikit …” jawab Mayor Heru agak sedikit tergagap.
“Bagaimana dengan penyelidikan jejak mobilnya? Bukankah bisa banyak yang diketahui dari situ?” selidik Maya lagi.
“Ngg ... iya betul. Tapi itu bukan pekerjaan mudah. Tiga sampai empat jam tidak cukup untuk mencocokkan jejak dengan database yang kami miliki,” jawab Mayor Heru dengan alasan yang lebih bisa diterima kali ini.
Maya merasa menemui kebuntuan. Ia mencari fakta apa lagi yang bisa mendukung teorinya bahwa ada pembiaran yang sengaja dilakukan polisi dalam keadan ini, terutama yang menyangkut Indra sebagai korban. “Mayor, apakah kejadian ini ada kaitannya dengan kejadian yang juga menimpa aset yang dimiliki usaha Kooperasi yang diketuai oleh korban?” akhirnya Maya menemukan jalan lain untuk melanjutkan upaya pengungkapannya.
Mayor Heru kaget dengan pertanyaan yang tidak ia sangka ini. Dia butuh waktu agak lama untuk menjawabnya, mencari rangkaian kata yang tepat. “Kita tidak bisa terlalu dini menyimpulkan,” hanya itu yang keluar dari mulutnya.
Maya merasa ini adalah titik lemahnya. Kesimpulan kepolisian yang terlalu dini pada kejadian kebakaran gudang beberapa pekan lalu bisa-bisa harus dianulir karena kejadian yang baru ini. Bahkan kepolisian bisa dituduh melakukan kelalaian yang disengaja. Maya merasa ini adalah titik penggaliannya. Ia harus menemui Kolonel Jefri secara langsung.
“Baik Mayor. Terima kasih atas jawabannya. Saya meminta izin untuk mengambil beberapa gambar.” Maya memutuskan menyudahi wawancaranya dengan Mayor Heru.
“Oh begitu. Baik, silahkan.” Cukup melegakan bagi Mayor Heru mengetahui wawancara berjalan singkat. Tapi kemudian ia merasa ada yang mengkhawatirkan, “Apakah setelah ini Anda akan melanjutkan menggali tentang kasus ini?”
“Ya, saya akan berusaha menemui Kolonel Jefri di kantor pusat untuk meminta beberapa informasi,” jawab Maya dengan mantap.
Mayor Heru merasa iba karena Maya bisa terperosok ke dalam bahaya yang ia gali sendiri. “Maya, tunggu saja keterangan dari kami di kantor polisi distrik.”
“Terima kasih. Tapi sepertinya informasinya tidak akan cukup,” jawab Maya. Tak ada yang bisa menghalanginya mencari fakta meskipun ia tahu akan masuk ke dalam bahaya besar.
Setidaknya ia sudah berusaha mencegahnya, pikir Mayor Heru.
Setelah mengambil beberapa gambar dengan kamera Rolleiflex miliknya, Maya kemudian bergegas meninggalkan TKP. Ia harus mengejar agenda wawancara dengan Yudhistira di kantor dewan yang sudah dibuat beberapa hari lalu untuk melengkapi artikel liputan khususnya. Tapi mengingat kejadian ini, Maya pikir ada juga beberapa informasi yang bisa diambil dari Yudhistira terkait dengan Indra.
***