Baru kali ini suasana seramai dan sepanas ini terjadi di aula kantor Kooperasi dan sekitarnya. Gedung aula yang kapasitasnya 500 orang sampai tidak cukup menampung semua orang yang hadir. Para pengusaha yang tergabung dalam keanggotaan Kooperasi telah hadir dengan membawa beberapa pegawai dan anak buahnya. Mereka semua berdiri dan berbincang satu sama lain sambil menunggu instruksi selanjutnya dari perkumpulan yang mendadak dilakukan ini.
Dalam kerumunan itu telah disiapkan sebuah panggung kecil lengkap dengan mikrofon dan pengeras suara. Rudi kemudian menaikinya dengan dibantu beberapa orang yang menyemuti panggung kecil itu.
“Saudara-saudara sekalian,” sapa Rudi kepada kerumunan itu dengan lantang agar semua memusatkan perhatian kepadanya. “Seperti yang sudah saudara-saudara ketahui, kita berada di sini berawal dari petaka yang menimpa pimpinan kita Saudara Indra dan Bagus. Kita berada di sini untuk menunjukan solidaritas kita sebagai anggota Kooperasi yang saling mendukung. Kita, para pendatang yang mengadu nasib di kota ini, bersatu dalam naungan organisasi ini agar tercipta kesejahteraan bersama tanpa mencelakai siapa pun yang berada di luar organisasi.” Dalam jeda orasi Rudi, suara kerumunan terdengar begitu riuh, kumpulan dari ungkapan setuju yang digumamkan sebagian besar yang hadir. “Namun, kedamaian yang kita junjung ini telah diusik dengan biadab oleh para pengecut!” kalimat ini meninggi di beberapa kata dan disampaikan dengan lebih lantang dari yang sebelumnya sehingga mengundang teriakan-teriakan dari berbagai titik di kerumunan peserta. “Mereka berlindung di balik bayang-bayang ketidak-jelasan yang diciptakan oleh sistem yang bisa jadi sengaja memelihara mereka.” Rudi berhenti sejenak dan mengambil nafas untuk teriakannya, “Tapi kita tidak takut! Kita akan membela diri menuntut hak-hak kita!” sontak sorakan para peserta pecah. Gedung itu bergemuruh dengan berbagai pekikan.
Di tengah gemuruh yang masih terdengar namun kian mereda dari sorakan para peserta, Rudi menerima koran hari itu dari salah seorang di bawah panggung, “Bila saudara baca koran hari ini, Kantor Berita juga telah melakukan investigasi yang menyimpulkan bahwa kejadian penembakan rumah Saudara Indra kemungkinan ada kaitannya dengan kebakaran yang terjadi pada gudang utama kita. Namun sampai sekarang polisi masih bungkam dan tak ada pihak yang diusut. Padahal dalam petaka yang menimpa kita ini pasti ada yang diuntungkan.” Rudi berhenti sejenak agar apa yang dikatakan selanjutnya bisa disimak lebih jelas, “Walaupun kita tidak bisa menuduh siapa pun. Kemana pun kita menuntut keadilan hari ini, itu bukan berarti kita menyalahkannya. Tapi kita akan menyampaikan pesan bahwa kita bersatu, kita kuat, dan jangan berani-berani mempermainkan kita!” Lagi-lagi para peserta memekikkan berbagai teriakan. Aula itu benar-benar dipenuhi semangat yang menggebu.
“Hari ini bersama-sama kita akan menuju pabrik besar itu untuk memaksa mereka berhenti mengambil keuntungan dari bencana yang kita alami. Berhenti berusaha membeli pabrik-pabrik kita demi keuntungan para konglomerat yang ada di baliknya. Kita beritahu mereka bahwa kita menginginkan kesetaraan, bukan penindasan!” Rudi telah selesai memasak semangat massa dengan orasinya. Kini mereka bersiap untuk menggemparkan distrik industri dengan membawa massa berjalan menuju pabrik besar milik William.
Tanpa proses yang lama massa yang jumlahnya melebihi 1.000 orang mulai bergerak dari aula Kooperasi menuju pabrik besar yang jaraknya tak sampai setengah jam dengan berjalan kaki. Mereka memenuhi ruas jalan raya yang menghubungkan kantor Kooperasi dengan gerbang utama pabrik itu. Kebanyakan dari mereka hanya memakai kemeja dan suspender, tanpa jas dan dasi karena aksi ini akan membuat mereka sangat berkeringat. Kecuali para pimpinan massa yang harus tetap rapi karena akan mewakili suara massa. Hampir semua memakai topi fedora atau flat cap untuk menghindari langit yang cerah di pagi menuju siang itu.
Orang-orang yang berada di bagian depan telah sampai di gerbang utama pabrik. Yang dibelakang mulai mengikuti hingga mereka menyemuti bagian depan pabrik itu. Pagarnya ditutup rapat. Dengan adanya massa tak ada kendaraan yang bisa masuk dan keluar ataupun melewati ruas jalan di depannya. Semua akses ke pabrik tertutup dan terlumpuhkan. Para personil keamanan pabrik yang berada di balik pagar benar-benar kaget melihat massa sebanyak ini di hadapan mereka. Mereka tak pernah menghadapi yang seperti ini. Pimpinan mereka langsung menugaskan dua anak buahnya untuk lari ke dalam mengabarkan apa yang terjadi.
Tak lama kedua petugas keamanan itu kembali bersama William, Tomi, dan keempat kawannya. Dari kelompok massa pun, Rudi, Galih dan empat pengurus kooperasi maju ke depan untuk mewakili. Yang tak disangka adalah di belakang keenam perwakilan pabrik para pegawai mulai menjejali pintu keluar. Mereka keluar memenuhi halaman pabrik dengan jumlah yang tak kalah banyak. Kedua massa dan perwakilannya itu hanya dipisahkan oleh tembok pembatas pabrik dan pagar yang sangat tinggi.
***
Lorong itu tak penuh hiruk pikuk di kala bukan jam besuk. Hanya beberapa suster dengan peralatan mereka yang berlalu-lalang. Atau pengantar makanan yang mengejar waktu untuk menyelesaikan antaran kudapan paginya ke setiap kamar pasien. Pagi itu langkah sepatu hak Tiara sudah menjejaki lorong untuk mengunjungi kamar di pojokan. Indra tidak di kasurnya ketika Tiara masuk. Ia duduk di dekat jendela yang tirai kain putihnya bergerak-gerak perlahan melepaskan angin sedikit-sedikit ke dalam ruangan. Ia duduk menghadap ke arah kasur satu lagi di ruangan itu, di mana Bagus yang masih belum sadarkan diri terbaring.
Setelah sejenak berhenti di mulut pintu dan saling pandang dengan Indra, Tiara masuk menaruh bingkisan yang dibawanya di kursi dekat kasur Indra. Kemudian mengganti bunga yang ada di vas bunga dengan rangkaian bunga baru yang masih segar dan harum. Wanginya pelan-pelan melingkupi ruangan yang sunyi itu.
Tiara menggeser kursi mendekati Indra dan duduk di situ dalam diam. Indra pun masih diam saja memandang kosong ke arah Bagus yang terbaring.
“Hanya dalam hitungan hari dunia kita yang tadinya tenang dan penuh kesuksesan berubah jadi penuh api, amarah dan hujan peluru,” kata Indra memecah kesunyian di antara mereka. “Memang tak bisa kita tebak bagaimana waktu menggulirkan manusia.”
“Aku selalu suka dengan omongan-omonganmu ketika kau tenggelam dalam renungan. Kau seakan berpuisi walaupun bukan untukku,” komentar Tiara berusaha mencairkan suasana dengan perlahan.
“Kalau di situ hanya ada kamu ketika aku mengucapkan bait-bait puisiku, bukankah itu berarti untukmu?” Indra pun tak menolak bila Tiara memilih untuk mencairkan suasana ini. Mungkin itu pun baik untuknya.
“Mungkin itu untuk Bagus,” canda Tiara dengan senyum kecil.
Indra pun tertawa sedikit dan kembali memandang orang kepercayaannya itu. “Aku benar-benar berhutang nyawa pada Bagus. Dia yang pertama kali menyadari ada yang janggal sejak kami jalan pulang dari kantor Kooperasi. Bahkan dia juga yang dengan sigap membalik meja jati kita untuk jadi tempat berlindung.” Indra berusaha memutar kembali kejadian malam itu dalam memorinya. Tapi setiap mengingat itu yang akhirnya muncul adalah amarah yang meluap-luap. Tangannya mengepal keras. Ia ingin sekali membalas perlakuan semena-mena yang benar-benar menginjak haknya untuk merasa aman. “Aku ingin sekali menghancurkan mereka, Tiara.”
Tiara sedikit kaget Indra malah jadi berubah kesal.
“Tapi setiap aku mengingatmu dan anak-anak, aku selalu berpikir ulang.” Indra membuka kedua tangannya dan memperhatikannya, “Apakah mungkin tangan ini bisa memegang senapan mesin untuk balas menghujani mereka dengan peluru?” Indra mengepalkan tangannya kembali dan menghembuskan nafas panjang. “Aku benar-benar muak dan bingung.”