Republik Bandit

Arie Raditya Pradipta
Chapter #8

Infiltrasi

Harum bunga di dalam vas yang Tiara letakkan tadi pagi masih memenuhi ruang rawat inap hingga sore ini. Indra telah mengemas barang-barangnya yang tak banyak. Dokter sudah membolehkannya pulang karena trauma yang dialaminya setelah kejadian penembakan itu tidak meninggalkan permasalahan medis. Hanya yang membuatnya berat untuk meninggalkan ruangan itu adalah Bagus yang masih terbaring tak sadarkan diri. Tapi ia pun tak bisa melakukan apa-apa selain menemukan orang yang bertanggung jawab atas kejadian malam itu.

Indra meninggalkan ruangan itu dan berjalan menuju lobi rumah sakit. Di depan ternyata Dharma telah menunggunya. Ia menjemput dengan mobil Fiat 1100 milik Indra.

“Aku bersyukur ia tak menjadi korban serangan brutal malam itu,” komentar Indra sambil memegang mobil kesayangannya. “Sudah banyak kejadian yang ia saksikan. Entah akan bertambah berapa banyak lagi.”

“Aku sengaja mengambilnya dari rumahmu agar ia tak hanya menjadi bahan pemeriksaan polisi,” kata Dharma sambil membukakan pintu dan membantu meletakkan tas di bagasi. Mereka pun berjalan meninggalkan rumah sakit yang berada di pusat kota.

“Apa ada hasil yang sudah polisi dapat?” tanya Indra dengan tidak terlalu berharap.

“Tidak terlalu penting. Mereka hanya mendokumentasikan bukti-bukti kejadian malam itu tanpa benar-benar mencari tahu siapa yang melakukannya. Sampai saat ini mereka hanya bisa menjelaskan bagaimana kejadiannya, berapa banyak pelaku, senapan apa yang digunakan, kemungkinan mobil apa yang dikendarai para pelaku, dan hal-hal lain yang semuanya bisa ditemukan dan disimpulkan tanpa perlu menggunakan tim dari kepolisian. Benar-benar tidak berguna,” papar Dharma. “Yang justru cukup membantu adalah investigasi yang dilakukan oleh wartawan dari Kantor Berita. Ia bahkan memuatnya di koran tadi pagi. Tulisan yang menarik. Seharusnya bisa membuat lebih banyak yang tersadar bahwa keadaan di kota ini semakin kacau balau.”

“Kau ingat siapa yang menulisnya?” tanya Indra penasaran.

Dharma mengambil sesuatu di jok sebelahnya yang ternyata ada koran yang dimaksud. “Aku lupa siapa, tapi kau bisa baca sendiri.”

Indra pun membukanya dan mendapati nama yang ia kenal, “Ternyata benar Maya.”

“Kau mengenalnya?” tanya Dharma.

“Ia pernah mewawancaraiku sekali, dan itu sangat menyesakkan,” kata Indra sambil menyunggingkan tawa. “Berbicara dengannya seperti beradu silat. Pilihannya ia meninjumu atau kau meninjunya balik.”

Mereka tertawa ringan. 

“Kau tahu, karena tulisannya kita berhasil menggerakkan massa yang sangat banyak pagi ini untuk memblokade gerbang pabrik milik William,” jelas Dharma.

Sebuah berita yang mengejutkan bagi Indra. “Itu luar biasa sekali. Apa yang kita dapat dari mereka?”

“Aku pikir kita telah berhasil menjebak mereka. Seharusnya tak lama lagi kita akan tahu siapa yang sebenarnya harus bertanggung jawab pada dua kejadian naas yang menimpa kita,” jawab Dharma. “Aku akan membawamu ke kantor untuk melihat persiapan yang telah kami lakukan.”

Mendengarnya Indra benar-benar takjub. “Aku tak menyangka kalian benar-benar siap menghadapi keadaan seperti ini. Tanpa bantuanmu mungkin kami akan kesulitan, Dharma.”

“Galih adalah saudaraku, dan ia adalah anggotamu, orang yang juga kau bantu dengan apa yang kau dirikan ini. Sudah menjadi takdir bagiku untuk membantu perjuanganmu, Indra.”

Mendengar jawaban Dharma membuatnya memikirkan kondisi ini dari sisi dirinya. “Aku tak menyangka aku harus berkonfrontasi langsung dengan bandit seperti ini. Dulu sewaktu di Ibu Kota aku hanya bisa mendengar cerita ayahku menghadapi penjahat-penjahat seperti ini, hal yang sangat lumrah bagi seorang politikus di pusat pemerintahan. Aku dan ibuku hanya bisa mendengar kabar itu darinya atau dari kawan-kawannya. Sekalinya aku merasakan betul perilaku para bandit hanya ketika aku, istriku, dan anak-anakku diburu oleh kaki-tangan Koalisi Republik. Mereka benar-benar mencariku hingga ke Metropol. Beruntung bagiku masih ada kawan ayah di organisasinya yang menolong kami. Benar-benar menyesakkan menjadi pelarian.”

Dharma hanya menyimak dengan seksama.

“Kali ini aku akan melawan,” kata Indra dengan dingin. “Bandit-bandit ini harus diberi pelajaran. Ternyata tak cukup hanya dengan membantu dengan cara baik dan ikut peraturan. Toh peraturan itu akhirnya adalah hasil buatan mereka para bandit kelas kakap di Balai Kota maupun di Ibu Kota. Sepintar apa pun kita menari di permainan mereka, kita akan selalu kalah karena mereka bandarnya, mereka yang punya permainannya. Bukan menari yang harus kita lakukan, tapi menghancurkan mereka para pembuat permainan yang tidak adil dan licik!” emosi Indra sedikit meluap.

Senyum Dharma merekah tanpa Indra tahu.

“Kau harus membantuku, Dharma.”

“Aku pikir memang sudah takdirku bertemu denganmu di saat kau benar-benar membutuhkanku.”

***

"Iblis tak pernah berhenti mencintai dunia. Baginya tak ada lagi yang berhak melainkan ia. Maka siapa pun yang ingin merebut dunia darinya tak punya pilihan selain menyatu dengannya.”

“Jadi, kejahatan tak akan pernah mati. Kalau kau tak melihatnya barangkali itu karena ia-yang-terlaknat berhasil mengelabuimu atau kau telah menjadi bagian dari dirinya,” kata Guru memaknai apa yang sebelumnya ia bacakan dari kitabnya.

“Lalu kenapa kita harus menumpasnya, Guru? Bukankah itu sama saja dengan menaiki motor di dalam tong raksasa? Tak akan pernah kemana-mana?” tanya salah seorang murid yang masih remaja.

Guru tersenyum, mengajar untuk anak-anak selalu membuatnya bahagia. “Kita yang merupakan pelayan Sang Kuasa adalah yang paling beruntung. Karena kita hanya perlu melakukan apa yang diperintahkan oleh-Nya. Bila Ia memerintahkan untuk melawan kejahatan itu berarti kita melakukannya karena Ia memerintahkannya seperti itu. Bukan karena kita harus menumpas kejahatan. Karena yang mampu menumpasnya hanya Ia semata. Bila itu terjadi disaat kita menumpasnya itu berarti karena kuasa-Nya bukan karena kita.”

Melihat hari semakin gelap Guru menutup kitabnya dan menyudahi kelas. Para remaja itu pun meninggalkan ruangan untuk kembali ke asramanya. Yang tertinggal hanya Guru yang mulai menyalakan perapiannya.

Berselang tak berapa lama, ketika perapian itu telah menyala sempurna dan malam sudah benar-benar gelap, Malik memasuki ruangan itu dengan memegang sepucuk kertas kecil.

“Bagaimana, Malik?” tanya Guru kepadanya tanpa menoleh dari melihat api di perapian.

Malik pun mendekati Guru menuju perapian. Kehangatan yang dipancarkannya memang membuat suasana malam itu jadi lebih damai. “Kami mendapatkan telegraf dari salah satu informan terpenting kita.”

Guru mengenali kondisi ini. “Siapa nama informanmu itu?”

Lihat selengkapnya