Republik Bandit

Arie Raditya Pradipta
Chapter #9

Agresi

Sejak peristiwa penembakan di rumah Indra, pembentukan satuan keamanan Kooperasi dijalankan dengan semakin serius. Gedung kantor Kooperasi yang dijadikan markas satuan ini selalu ramai hingga malam hari. Mereka semua sibuk mengumpulkan personil, melakukan latihan fisik, latihan ketangkasan, hingga pembangunan kekuatan tim. Indra cukup takjub melihat suasana itu ketika ia dan Dharma sampai di depan gedung.

Ingin sekali melihatnya dari dekat, Indra kemudian turun dari mobil. Setidaknya Indra melihat ada lima regu yang sedang beraktifitas. Setiap regu setidaknya beranggotakan Dua puluh orang. Ada kelompok yang sedang berlari, ada juga yang sedang membuat barikade. Yang lainnya ada juga yang sedang berkumpul santai. “Ini hampir seperti barak militer, Dharma.”

“Aku tak bisa main-main dengan tugasku sejak kau dan Bagus menjadi korban kekejaman musuh kita,” Kata Dharma yang juga turun dari mobil. Ia lalu mengajak Indra menuju kantor. “Aku ingin menunjukkan beberapa hal kepadamu”.

Mereka berdua masuk ke dalam aula yang sebagian sudah berganti fungsi menjadi barak yang sesungguhnya. Tapi bukan itu yang mau Dharma tunjukan. Ia membawa Indra ke ruangan dibalik panggung aula yang sudah berubah menjadi tempat penyimpanan persenjataan. “Kami menyiapkan beberapa senjata. Senapan mesin beserta amunisinya, senjata tajam, dan sejumlah dinamit untuk berjaga-jaga. Aku harap kau tidak keberatan.”

“Dari mana kau dapatkan ini semua?” tanya Indra yang sama sekali tak punya petunjuk.

“Kita bisa mendapatkan banyak hal di pelabuhan kalau kita jeli,” jawab Dharma dengan sekenanya.

Dharma kemudian mengajak Indra ke ruangan sebelah di mana Rudi, Galih, dan beberapa pengurus telah berkumpul. Mereka semua menjabat tangan dan memeluk Indra. Suasana yang menyenangkan bagi Indra karena bertemu kawan-kawannya kembali.

“Kami sudah menantimu, Indra. Banyak sekali yang ingin kami jelaskan tentang situasi saat ini,” kata Rudi.

Indra ikut duduk bersama mereka di ruangan itu. Untuk mendengarkan penjelasan tentang situasi yang sedang mereka hadapi.

Rudi melanjutkan pemaparannya di forum itu, “Pada dasarnya bukti fisik yang kita punya belum seratus persen menunjukkan bahwa pelaku kedua kejadian itu adalah Tomi dan William. Tapi apabila melihat siapa yang diuntungkan dalam kondisi Kooperasi yang seperti ini, memang benar-benar hanya pihak mereka yang merasakannya. Untuk itu, sejak aksi pemblokiran gerbang pabrik mereka tadi pagi dan penandatanganan surat perjanjian, kita harus bersiap akan terjadinya serangan kepada kita. Karena hanya itulah langkah yang bisa mereka lakukan untuk memaksa kita membatalkan perjanjian itu, atau mengambil dengan paksa surat itu agar perjanjian bisa dianulir. Dengan adanya serangan itu kita pun akan tahu seratus persen bahwa mereka benar-benar pelakunya.”

Semua peserta mengangguk paham. Indra pun kini lebih jelas memahami keadaan yang cukup genting ini.

“Tempat yang sudah pasti akan mereka datangi adalah kantor ini, karena surat itu ada di sini dan atas nama Kooperasi. Ditambah kita semua yang bertandatangan dalam surat itu ada di sini. Pengintai mereka pasti sudah melaporkan perubahan situasi yang ada di tempat ini.” jelas Rudi lebih jauh. “Mereka sudah paham bahwa ini adalah ajakan perang terbuka. Hanya bedanya mereka berharap kita yang lebih dulu melakukan kekerasan dengan menyerang Indra. Dengan langkah kita tadi pagi kita sudah satu langkah di depan mereka.”

Mereka semua bertepuk tangan dengan sedikit sorakan dari beberapa orang.

“Untuk itu, setelah ini kita akan bersiap bertahan secara total. Melihat kejadian pembakaran dan penyerangan Indra, mereka selalu memilih melakukan aksinya di sekitar dini hari. Jadi itu adalah jam-jam yang paling utama kita melakukan penjagaan. Selebihnya sepanjang malam adalah waktu yang rawan terjadi penyerangan.”

Rudi mengajak semuanya berdiri. “Tak ada jalan lain untuk menyelesaikan ini. Pilihannya hanya menghadapi mereka atau kita hengkang dari kota ini. Kita semua berhak mengadu nasib di kota ini selama kita melakukannya dengan adil dan merdeka. Tapi bila ada yang berusaha mengganggu kemerdekaan kita dengan penindasan dan mengambil keuntungan dengan tidak adil, di situlah kita berdiri dan melawan.”

Mereka semua mengepalkan tangan ke udara dan memekikan semangat. Tanda bahwa malam itu akan jadi malam yang panjang.

***

“Seluruh pengintai sudah ku sebar di beberapa titik. Mereka semua menggunakan radio. Bila ada pergerakan mobil dalam jumlah banyak ke arah kantor ini mereka akan segera memberikan informasi,” jelas Galih kepada Rudi dan Indra sambil menunjukkan perangkat radionya.

“Berarti kita tinggal menunggu,” sambung Rudi.

Perangkat radio itu berada di lantai dua gedung kantor Kooperasi. Dari situ Indra bisa melihat barikade yang dibuat sudah lebih banyak dari sebelumnya ia lihat. Penempatannya pun sudah diatur dengan lebih sesuai. Beberapa personil pengamanan masih berlalu lalang. Beberapa memang dalam tugas jaga, yang lainnya masih dalam persiapan. Hampir semua sudah memegang senjata. Suasana yang masih aneh bagi Indra, kantornya tempat ia membantu banyak usaha berkembang, malam ini tiba-tiba menjadi markas pertahanan.

“Bagaimana dengan keluarga kalian?” tanya Indra kepada Rudi dan Galih tiba-tiba.

“Kami sudah mengungsikan keluarga kami masing-masing agar tidak menjadi sasaran empuk mereka,” jawab Galih.

“Betul. Aku pun berpikir yang sama sebelum ke sini,” sambung Indra. “Ketika mereka menembakiku dan Bagus yang berada di ruang tamu rumah, yang aku pikirkan hanya bagaimana nasib Tiara dan anak-anak di lantai atas,” kenang Indra. “Mereka benar-benar mempecundangiku, membuatku tak berdaya saat itu.”

“Kali ini kita balas pecundangi mereka, Indra,” sahut Galih.

“Tidak, bukan itu yang aku harapkan. Aku ingin mereka sadar dan berhenti melakukan kekacauan yang tak berujung ini. Tapi mungkin agar mereka mengerti kita harus pakai kekuatan terlebih dahulu,” koreksi Indra.

Mendengar kesimpulan itu Galih pun mengangguk-anggukan kepalanya perlahan tanda setuju. “Ya, Iblis akan tertawa gembira bila kita ikut terjerumus pada jebakan kebencian yang ia tanam di mana-mana.”

Tiba-tiba ada suara terdengar dari radio. Galih, Indra dan Rudi yang tadinya sedang memandangi keadaan di bawah lewat jendela langsung cepat-cepat menuju radio.

“Ada rombongan mobil mendekat dari arah timur,” kata suara dari radio itu dengan volume yang sedikit naik turun dan bunyi-bunyian yang menggangu tanda sinyal tidak stabil. “Perkiraan jumlah sekitar 15 mobil,” sambung suara itu lagi. Jumlah yang terlalu banyak untuk iring-iringan mobil biasa di tengah malam.

Lihat selengkapnya