Sesampainya di Kantor Berita, Maya cukup kaget melihat suasana yang penuh hiruk pikuk.
“Ada apa ini?” tanya Maya kepada salah satu rekan kerja yang ada di dekatnya.
“Ada bentrokan bersenjata tengah malam tadi di distrik industri. Bahkan sampai ada ledakan besar, May! Beberapa orang-orang di pusat kota yang masih bangun sampai larut malam bahkan bisa sedikit mendengar ledakannya dan nyala api yang memerahkan langit sebelah timur,” jelas rekannya itu dengan nada yang emosional.
Mungkin suasana pasar induk yang begitu sibuk dan berisik membuatnya tak menyadarinya, pikir Maya. “Bentrokan antara siapa dengan siapa?” tanya Maya ingin memastikan.
“Dari informasi terakhir yang aku dapat, bentrokan ini ada kaitannya dengan aksi unjuk rasa ribuan masyarakat pendukung Kooperasi yang dimiliki para pendatang, yang kemarin sempat memblokir akses keluar dan masuk pabrik besar milik Republik dan investor asing.”
“Indra lagi?!” gumam Maya dengan suara rendah. Dokumen ini pun apa mungkin akan ada kaitannya, pikir maya dalam benaknya. Ia kemudian melirik ke arah ruang kerja Raka yang ternyata kosong. “Pak Raka ada di mana?” tanya Maya lagi.
“Aku kurang tahu. Tadi beliau dapat telpon dari Kantor Berita Pusat. Tim dari televisi nasional mau meliput kondisi di distrik industri siang ini.”
Maya harus segera mencari Raka sebelum ia pergi. Ia mencoba mencarinya di ruang logistik di lantai bawah. Ternyata benar, ia sedang mempersiapkan beberapa peralatan dan akomodasi lain untuk orang-orang dari Kantor Berita Pusat ini.
“Pak Raka,” teriak Maya hingga membuat Raka sedikit kaget. Ia lalu berjalan cepat mendekati Raka agar ia bisa bicara dengan suara pelan.
“Ada apa, May? Kamu seperti terburu-buru.”
“Saya mau bicara, Pak. Penting. Lebih baik di ruangan Bapak,” jelas Maya dengan terburu-buru.
“Baik, baik. Ayo kita naik,” ajak Raka.
Mereka masuk ke ruang kerja Raka. Maya menutup pintu rapat-rapat dan menutup tirai jendela yang terlihat dari ruang kerja jurnalis lain.
“Jelaskan, May. Ada apa ini?” tanya Raka yang jadi penasaran karena tingkah laku Maya yang aneh.
“Kamal,” kata-kata Maya terputus-putus, nafasnya masih kurang stabil.
Mendengarnya Raka jadi semakin bingung. “Kamal? Kenapa Kamal, May? Coba kau tenangkan dulu dirimu,” perintah Raka.
Maya berusaha mengatur nafasnya agar bisa menjelaskan lebih tenang. Andrenalinnya mengalir terlalu deras.
“Baik,” akhirnya Maya bisa mengendalikan diri. “Dini hari tadi saya bertemu dengan Kamal.”
“Bagaimana bisa?” potong Raka, “bukankah dia sedang menyamar?”
“Iya, Pak. Justru dia sengaja pergi sebentar dari tempat tugasnya untuk mengantarkan ini,” Maya menunjukan bungkusan yang ia terima dari Kamal. “Menurut saya ini sangat penting karena ia benar-benar seperti mempertaruhkan keselamatannya.”
Raka mengambil bungkusan itu dan membukanya dengan hati-hati. Di dalam bungkusan itu terdapat roll film dan secarik kertas. Raka membacanya dengan cepat.