Setelah keruntuhan sarang pusat, kabar buruk menjalar cepat lewat terowongan berita. Semut-semut pekerja saling berbisik, katanya Semut Agung hilang kabarnya mengungsi ke bawah akar pisang.
Tapi sebagian percaya ia tidak hilang, hanya menyamar jadi konsultan pembangunan sarang baru.
Ratu di Istana Pusat makhluk yang katanya suci dan tak tersentuh akhirnya buka suara lewat pidato beraroma madu pahit:
“Koloni harus tetap tenang. Kita akan bentuk tim pemulihan semut. Semua akan diperbaiki, asal kalian tetap percaya pada kepemimpinan.”
Rakyat semut tepuk tangan bukan karena percaya, tapi karena tepuk tangan diwajibkan oleh aturan protokol terowongan. Siapa yang diam, gajinya bisa diselidiki.
Namun di sudut bawah tanah yang lembap, ada sekelompok semut pekerja yang sudah muak. Mereka dulu pengangkut biji, penggali terowongan, penjaga larva yang selalu disuruh kerja lebih keras tapi dapat sisa remah.
Salah satu dari mereka bernama Semut Hitam No. 47, karena di koloni, nama sejati sudah dihapus diganti nomor produksi.
Ia berdiri di atas batu kecil, berseru lantang:
“Kita sudah terlalu lama digigit oleh mereka yang berpura-pura memimpin! Mereka makan gizi dari kerja kita, tapi telinga mereka tersumbat laporan palsu!”
Semut-semut lain menatap ragu.
Salah satu berbisik,