Dalam minggu-minggu setelah tumbangnya istana pusat, tanah yang dulu bungkam mulai hidup kembali. Setiap galian baru, setiap lorong yang diperbaiki, seperti membuka halaman lama yang pernah disembunyikan para pejabat sarang. Dan semut-semut pekerja yang kini memegang kendali atas nasib sendiri harus belajar membaca sejarah yang tak pernah diajarkan; sejarah mereka sendiri.
Di balai rapat Dewan Tanah, udara masih berbau debu dan ketidakpastian. Semut Hitam No. 47 duduk di sisi ruangan, tidak di panggung. Ia tahu, yang baru saja mereka menangkan bukanlah koloni yang bersih, hanya reruntuhan dari sistem lama yang mereka coba perbaiki tanpa tahu benar bentuk aslinya.
Seorang semut tua, tubuhnya hampir pudar warna, berdiri di tengah dewan. Suaranya gemetar namun tetap memahat keheningan.
“Dulu,” katanya, “ada masa ketika pemimpin dipilih bukan karena ketebalan perutnya, tapi ketajaman nuraninya. Lalu datang generasi yang lebih mencintai jabatan daripada cahaya matahari.”
Ruangan itu terdiam. Bukan karena kata-katanya asing, tetapi justru karena terasa terlalu akrab.
Di luar balai, semut-semut muda berkumpul mengelilingi papan pengumuman baru. Mereka membaca aturan-aturan Dewan Tanah yang masih ditulis terburu-buru:
1. Setiap semut berhak bicara.
2. Setiap suara berharga sama.
3. Pemimpin bukan ratu, bukan pejabat, hanya penjaga lintasan.
Aturan-aturan itu indah, hampir seperti doa. Tapi doa pun bisa kehilangan makna bila yang mengucapkannya tak benar-benar mengerti kepada siapa ia ditujukan.
“Perubahan bukan hanya soal menurunkan ratu,” gumam 47 sambil menatap pekerja-pekerja muda itu. “Perubahan adalah bagaimana kita melawan semut-semut pengerat dalam diri kita sendiri.”
Malam itu, ketika koloni tertidur dalam kelelahan yang jujur, angin dari lubang atas membawa kabar samar. Ada pergerakan di akar pisang pergerakan halus seperti langkah seekor semut yang sudah lama mematangkan siasat.
Konon, Semut Agung yang hilang itu kini hadir sebagai bayangan yang mondar-mandir di batas wilayah koloni. Ia tidak datang dengan pasukan. Ia datang dengan cerita-cerita tentang kekacauan yang akan terjadi bila koloni terlalu percaya pada kebebasan.
“Apa yang bebas?” tanya angin, seolah ingin menguji.
“Yang bebas adalah yang berani menanggung akibat dari pilihannya,” jawab tanah.
Dan di saat itulah Semut Hitam No. 47 merasa sesuatu merayap dalam dirinya; firasat tentang pertarungan baru yang tidak akan ditentukan oleh kekuatan, melainkan oleh pikiran.