Hari-hari setelah tanah kembali tenang, koloni tidak disibukkan oleh pembangunan sarang baru, tetapi oleh sesuatu yang lebih berbahaya daripada reruntuhan: pertarungan narasi. Karena setiap era setelah revolusi melahirkan bukan hanya harapan, tetapi juga pihak yang ingin tampak paling berjasa, paling tersakiti, atau paling tahu arah masa depan.
Di papan pengumuman pusat, pamflet-pamflet bermunculan seperti jamur di kayu busuk.
“47: Pahlawan atau Populis Murahan?”
“Dewan Tanah Gagal Karena Terlalu Banyak Semut Bicara!”
“Kembalikan Ratu! Setidaknya dulu bohongnya rapi!”
Semut muda yang dulu hampir ditipu getaran lama membaca semua itu sambil mengerut antenanya.
“Apakah ini demokrasi?” tanyanya.
Semut tua penjaga arsip menghela napas panjang.
“Ini bukan demokrasi, Nak. Ini masa ketika setiap pendapat merasa dirinya wahyu, dan setiap kebisingan merasa dirinya kebijaksanaan.”
Di ujung balai dewan, muncul kelompok baru yang paling rajin menyebar pamflet: Komunitas Stabilitas dan Kelanggengan Teroto (SKT).
Nama yang terdengar resmi, agamis, dan patriotik sekaligus. Tapi isinya dan semua koloni tahu ini tak lain adalah barisan mantan pejabat istana lama, yang dulu paling rajin menindas demi ‘ketertiban’, paling gigih mempertahankan kursi demi ‘kelanggengan’, dan paling lihai membuat laporan fiktif demi ‘teroto’, sebuah kata yang mereka sendiri tidak mengerti maknanya.
“Organisasi kami tidak mendukung Semut Agung,” kata mereka sambil memoles antena, senyum terlatih seperti dahulu.
“Kami hanya ingin koloni stabil.” Namun setiap rapat internal mereka hampir selalu berakhir dengan.
“Kalau Dewan Tanah begini terus, kita butuh seseorang yang berpengalaman memimpin…”
Seseorang, berpengalaman memimpin. Tak perlu kecerdasan tinggi untuk menebak siapa yang dimaksud. Namun seperti semua kelompok yang licin, mereka tidak pernah menyebut namanya, sehingga tak ada yang bisa menuduh, dan mereka tetap bisa mengaku netral.
Sementara itu, Dewan Tanah sendiri mulai retak. Bukan karena perbedaan ideologi, tapi karena hal yang lebih penting dalam politik koloni: posisi duduk. Ketika mereka memutuskan untuk meniadakan kursi tinggi demi kesetaraan, semua bersorak.
Namun tanpa kursi tinggi, tiba-tiba muncul;
rebutan posisi paling tengah,