Tanah koloni semakin padat oleh bisik-bisik, bukan oleh kerja. Di lorong-lorong yang dulu dipenuhi semut pekerja dengan ritme pasti, kini justru terdengar langkah ragu, langkah yang menghitung apakah perubahan ini benar-benar perubahan, atau hanya pengulangan sejarah dengan bau yang sedikit berbeda.
Dewan Tanah masih bersidang, tapi sidangnya kini lebih panjang daripada kerja. Yang dibicarakan bukan bagaimana memperbaiki logistik, bukan bagaimana memperkuat terowongan, tapi… siapa yang berhak berbicara paling dulu,
siapa yang terlalu vokal,
siapa yang diam mencurigakan,
siapa yang diduga diam karena ada sponsor dari akar pisang.
“Kita butuh tata tertib baru!” seru salah satu anggota yang paling muda.
“Tidak!” bantah yang lain. “Tata tertib adalah akal-akalan istana lama!”
“Kalau begitu kita musyawarah tanpa aturan.”
“Musyawarah tanpa aturan itu anarki!”
“Lalu apa bedanya dengan sekarang?” tanya suara samar dari pojok.
Ruang rapat menjadi semakin panas. Bukan karena kemarahan, tetapi karena ketakutan:
takut terlihat bodoh,
takut terlihat tidak berguna,
takut terlihat seperti kaki tangan SKT.
Dan di tengah kegaduhan itu, Semut Hitam No. 47 duduk diam. Diam yang bukan karena tidak punya kata, tetapi karena ia sedang memikirkan sesuatu yang lebih besar.
Di luar ruang dewan, kabar beredar bahwa SKT mulai mengadakan “konseling publik”acara di mana mantan pejabat istana lama berbicara dengan nada bijak seolah mereka penjaga warisan suci.
“Keteraturan lebih penting daripada ambisi,” kata mereka.
“Kita sudah lihat apa yang terjadi bila koloni dikuasai pemula.”
Dan banyak semut mulai mengangguk. Bukan karena mereka percaya, tetapi karena kata ‘keteraturan’ selalu terasa seperti surga bagi yang lelah berharap.
Getaran dari akar pisang juga mulai terdengar lebih sering seperti keliaran lembut yang berusaha menenangkan kecemasan koloni.