Pagi itu, koloni seperti diselimuti kabut bukan kabut tanah, tapi kabut informasi. Setiap dinding lorong dipenuhi lembaran kuning madu:
“SURVEI TERAKTUAL: 78% SEMUT INGIN PEMIMPIN BERPENGALAMAN.”
“DEWAN TANAH GAGAL JAGA STABILITAS.”
“SAATNYA KEMBALI KE ARAH YANG TEPAT.”
Di pojok kiri selebaran selalu ada stempel yang terkesan resmi.
SKT Komunitas Stabilitas dan Kelanggengan Teroto (sebuah lembaga yang stabil hanya dalam satu hal: ambisinya)
Lembar-lembar propaganda itu menyebar lebih cepat daripada pasokan makanan. Para semut pekerja yang baru belajar berpikir kini dibombardir oleh kata-kata pahit berlapis madu:
“Jika kalian mencintai koloni, pastilah kalian ingin pemimpin yang ahli…”
Ahli.
Kata yang membuat banyak semut merasa iqra-nya tak cukup, suaranya tak layak didengar.
Dan sementara propaganda mengalir deras, 47 merasakan tanah di bawah kakinya bergetar.
Bukan getaran informasi.
Bukan pula getaran harapan.
Tetapi getaran kebingungan.
Dewan Tanah berkumpul dalam ruang rapatnya yang sempit dan lembap. Atmosfernya murung, seperti sarang yang menunggu musim hujan.
Seorang anggota dewan membaca laporan dengan suara bergetar:
“SKT mulai menggelar seminar untuk pekerja muda. Judulnya; Cara Menjadi Semut Produktif Tanpa Terlalu Banyak Berpendapat. Pesertanya… membludak.”
“Tapi ada yang lebih buruk,” kata pembaca laporan.
Semua menoleh.
“Ada beberapa anggota dewan…”