Lorong-lorong tua di koloni bergetar pelan, bukan karena perintah atau propaganda, tetapi karena ingatan sendiri. Setiap butir tanah menyimpan cerita kisah kerja paksa, keberanian kecil, kegagalan, dan kesalahan generasi sebelumnya. Semut Hitam No. 47 berdiri di tengah lorong yang hampir runtuh, menatap debu yang beterbangan, dan merasakan denyut yang lebih dari sekadar getaran fisik, denyut sejarah dan ingatan.
Ia menyentuh tanah dengan antenanya, merasakan lapisan ingatan yang tertumpuk. Ingatan para pekerja muda yang dulu menggali terowongan baru dengan antusiasme murni, langkah mereka serempak, tetapi bukan karena diperintah.
Ingatan Semut Agung menepuk tanah, mencatat peta feromon rahasia, memikirkan sistem komando yang akan memaksa seluruh koloni tunduk lagi.
Ingatan dirinya sendiri, berdiri di depan akar pisang, mencoba mengirim getaran baru getaran pilihan, bukan perintah yang melawan ritme lama.
Ingatan itu berlapis, bergema dari dinding tanah, dari akar, dari lorong-lorong yang tak lagi digunakan.
“Setiap gerakan kalian tersimpan di sini,” bisik tanah, seakan berbicara melalui denyutnya.
“Kau pikir bisa mengubah ritme? Kau hanya semut kecil di lorong panjang.”
47 menatap tanah di bawah kakinya. Ia tahu, ini adalah sistem yang tertanam terlalu dalam, bukan hanya perintah Semut Agung, tetapi memori kolektif koloni itu sendiri. Bahkan semut muda yang baru lahir bisa merasakan pola itu, tanpa mengerti kenapa.