Tidak ada yang benar-benar tahu sejak kapan 47 tinggal di Tanah Lembap. Waktu di tempat itu tidak bergerak dengan tegas; ia hanya merayap seperti jamur yang tumbuh pada akar tua. Kalender koloni tak pernah mencatat hari-hari semacam ini. SKT tidak mengakui adanya pembuangan. Mereka hanya menyebutnya sebagai “penempatan sementara demi menjaga suasana hati koloni.” Maka pengasingan tidak pernah resmi, tapi semua semut tahu bagaimana rupa hukuman yang tak disebutkan namanya.
Tanah Lembap terletak di pinggir sarang, di lorong-lorong yang tidak pernah mendapat cahaya cukup. Udara di sana mentah, basah, dan penuh sisa pembusukan daun. Semut-semut jarang melintas kecuali mereka yang ditugaskan memeriksa kestabilan struktur terowongan. Ada kalanya seorang petugas SKT lewat, melihat 47 sekilas, lalu segera menunduk dan pergi, seakan-akan memandangi terlalu lama dapat menimbulkan kesalahpahaman politik.
Ceruk tempat 47 tinggal pun sederhana. Lubang kecil dengan dinding lembap, disangga akar yang mulai mengering. Tidak ada tanda bahwa ia sedang dihukum. Tidak ada penghalang. Tidak ada penjaga. SKT ingin dunia percaya bahwa tidak ada seorang pun dipenjarakan di bawah pemerintahannya. Semua terlihat damai. Semua terlihat sesuai aturan. Semua tampak seolah-olah berjalan dengan musyawarah bulat suara.
47 tidak memprotes tempat itu. Ia sudah pernah tidur di tempat yang lebih buruk ketika dunia semut masih dipenuhi ratu-ratu tua dan pengawas yang membawa tongkat serbuk. Di ceruk itu, ia sekadar menyusun beberapa daun kering dan duduk di atasnya. Sehari-hari ia hanya mendengarkan suara tanah, suara retakan kecil, atau suara hatinya sendiri yang kini lebih sering berbicara daripada makhluk lain mana pun.
Setiap beberapa hari, seorang semut pekerja datang membawa sebutir biji kecil atau serpihan gula. Jatah itu tidak pernah banyak, tetapi cukup untuk membuat tubuhnya bertahan. Tidak ada salam dari koloni. Tidak ada pesan resmi. Hanya makanan yang diberikan dengan sikap canggung, seperti mereka takut memberi terlalu sedikit adalah kekejaman, dan memberi terlalu banyak adalah pembangkangan.
Di antara kesunyian hari-harinya, retakan pada lantai ceruk mulai menunjukkan gelagat aneh. Bukan retakan berbahaya, hanya garis-garis kecil yang gagal menyembunyikan getaran samar. Bagi semut biasa, retakan itu tidak berbeda dari tanda usia. Namun bagi 47 yang pernah memimpin Getaran Bersama, retakan itu adalah bisikan sejarah. Tanah mengingat langkah-langkah, perdebatan, dan gema-gema musyawarah yang pernah membuat seluruh sarang bergetar.
Kini getaran itu lemah, seperti ingatan yang ingin tetap hidup meski banyak yang berusaha menabur debu ke atasnya.
Pada suatu sore, ketika embun menetes dari akar besar dan membuat lantai ceruk semakin dingin, seseorang datang. Langkahnya ringan, tidak terburu-buru, seperti seseorang yang tidak sedang menjalankan tugas. 47 mengenali pola langkah itu bukan dari suara, melainkan dari cara tanah merespons.
112 muncul dari balik bayang lorong.
Ia berhenti agak jauh, seperti biasa. Ada sopan santun yang dipelajari semut muda itu entah dari siapa, sebab generasinya tidak lagi mengenal cara-cara tua menghormati ruang diam. Setelah ragu sebentar, ia mendekat.
“Paman… aku tidak mengganggu, kan?”
Pertanyaan itu sederhana, polos, dan jauh dari nada penyelidikan. Tidak ada ketakutan dalam suaranya, hanya keingintahuan seorang semut muda yang belum tahu apa artinya seseorang disebut “tokoh lama yang harus dijaga jaraknya.”
47 menggeleng perlahan. “Kau tidak mengganggu.”