Pada mulanya adalah suara. Dan suara-suaralah yang mengajarkannya pada banyak hal. Mengasah perasaannya, jiwanya, bahkan pikirannya. Pendengarannya telah menangkap suara—segala suara, bahkan sehelai daun yang jatuh sekalipun— dengan begitu menakjubkan.
Kemudian, indra penciumannya. Gadis sembilan tahun itu bisa menghafal segala aroma dan bebauan yang pernah mampir ke penciumannya. Segala ragam benda yang memiliki bau: tanah, kayu, bunga, segala jenis tumbuhan, kertas, parfum, dan semua jenis keringat manusia.
Kemudian, indra perabanya. Segala benda yang pernah tersentuh jemarinya akan memberikan pengetahuan kepadanya bentuk dan rupa. Tentu saja, itu berkat keingintahuannya, dan ia akan bertanya kepada mamanya, neneknya, atau siapa pun yang berkenan membantunya menjawab segala yang ingin diketahuinya—tentang nama dan segala hal yang berkaitan dengan benda yang baru dikenalnya. Sedemikian rupa, sehingga ia bisa berimajinasi tentang benda-benda.
Namun, ada satu indra lain yang lebih tajam dari segala indra yang dimilikinya. Perasaan. Ya. Perasaan atau mata hatinya lebih tajam daripada mata wadaknya yang sejak lahir tak bisa ia gunakan untuk melihat.