Kini Karin kian yakin, Mia adalah anugerah terindah dalam hidupnya. Ia tak pernah menyesal, bahkan sejak anak itu dalam kandungannya. Ini buah cintaku. Bagaimana mungkin aku akan menyesalinya? begitu ia pernah berkata di dalam hatinya.
Juga ketika Karin tahu kalau anaknya tak bisa melihat indahnya dunia. Ia berkeyakinan bahwa setiap yang diberikan Tuhan, tak akan sia-sia. Ia menerima kehadiran anak itu di dalam dirinya, di dalam hidupnya, sebagaimana seorang ibu mendambakan kehadiran seorang bayi.
Karin telah melihatnya: cahaya dalam diri anak itu. Dan kebutaan bukanlah suatu bencana yang dapat membuat dunianya seolah runtuh. Sabar dan tabah, itu yang dibutuhkan untuk menjalani hidupnya.
Dan betapa bersyukurnya Karin karena Mia menerima kekurangannya dengan senyum dan kebesaran hati. Walau kerap kali ada riak-riak yang dapat mengikis kepercayaan dirinya; anak-anak sebaya di lingkungan rumahnya sering mengolok-oloknya dengan kasar. Mereka memanggilnya dengan sebutan si Gadis Pece (tak bisa melihat). Juga suara-suara lain yang dapat membuat sakit bukan saja telinga, tapi juga hatinya. Karena itulah, Mia enggan bermain dengan mereka. Kadang-kadang terlontar ucapan dari mulut Mia seperti ini: “Mia merasa, orang seperti Mia tak ada artinya, Ma.”
Tapi Karin, sang mama, tak akan pernah membiarkan itu berlarut. Kepercayaan diri dan semangat anak itu dalam menjalani hidup harus tetap dijaga.
“Tidak, Sayang. Kamu tidak boleh berpikir begitu. Seperti halnya dirimu, mereka masih anak-anak. Sebaiknya kamu biarkan saja apa kata mereka. Jangan dipikirkan. Kamu punya kekuatan yang mungkin saja tak dimiliki orang lain,” kata mamanya.
Karin sengaja memakai istilah kekuatan, karena menurutnya itu akan lebih membesarkan hati putrinya. Dan susah payah Karin menghapuskan perasaan rendah diri pada Mia. Tapi kesabaran dan kegigihannya sebagai seorang ibu tidaklah sia-sia. Banyak hal yang dapat dilakukannya untuk membesarkan hati anaknya.
Ia juga sering memberikan petuah-petuah yang selalu membesarkan hati Mia dengan bercerita tentang orang-orang yang memiliki kekurangan seperti dirinya, tapi kekurangan itu tidak menghalangi mereka untuk menjadi orang hebat; Beethoven yang mengalami ketulian, tapi tak menghalanginya untuk menjadi seorang komponis besar; Frances Jane Crosby, kebutaannya tak menghalanginya untuk berkarya. Dia dikenal sebagai seorang hymnist dan telah menulis lebih dari 8000 lirik; dan tentu saja, perempuan buta lain: Helen Keller.
“Helen Keller, kamu tahu?” kata mamanya suatu ketika, “adalah tokoh besar dunia. Siapa yang tak mengenalnya? Dia seorang tunanetra, Anakku. Tapi itu tak menghalanginya menjadi orang hebat.”
Saat itu, Mia hanya bergumam, “Hebat!”
Sang mama tahu, itu bukan gumaman biasa. Itu mengandung pertanyaan: kehebatan seperti apakah itu? Dan mamanya berkata, “Baiklah. Mama punya buku The World I Live In karya Helen Keller. Mama akan bacakan secara bersambung setiap menjelang tidurmu.”
Mia mengangguk. Dan malam pada hari itu, mamanya membacakan untuknya. Kalimat pertama yang didengarnya adalah:
Jauh lebih baik berlayar selamanya di malam kebutaan, tetapi mempunyai perasaan dan pikiran, daripada hanya berpuas diri dengan kemampuan melihat semata….
Begitulah. Dan apa yang dilakukan mama untuknya, ia terima dengan ketulusan hati dan sukacita. Ketika sampai pada malam di mana buku itu telah habis dibaca, sang mama berkata seolah membuat sebuah kesimpulan dari buku itu, “Sentuhan, Anakku. Ia bisa menggantikan indra penglihatanmu. Ya, bahkan lebih tajam. Kamu bisa membuat keajaiban dengan jemarimu.”
Memang, mendampingi putrinya bukan tanpa sakit. Ia sudah cukup menderita saat mengandungnya selama sembilan bulan lebih. Bukan karena kehamilan itu, melainkan suara-suara di sekitar tempat tinggalnya yang tak hanya memekakkan telinga, tapi juga mencabik perasaan. Tapi ia menerima garis hidupnya. Tak apa-apa, aku harus bersabar dan tetap bersabar. Inilah jalan yang sudah digariskan, begitu Karin berpikir.
Tentang pengajarannya memainkan piano pada anaknya, nyaris tanpa kesulitan yang berarti. Selain karena ia telah menguasai instrumen itu, anaknya ternyata memiliki bakat bermusik yang menakjubkan. Saat usianya masih 4 tahun, si bocah sudah bisa mencerna lagu-lagu klasik yang dimainkan Karin. Bocah itu menirukan melodi lagu dengan mulutnya. Mula-mula seperti gumaman. Tapi Karin yang sudah sangat terbiasa dengan musik, menangkap kalau gumaman itu memiliki nada. Pertama kali ia menyadari gumaman bernada itu pada sebuah malam dan ia terjaga karenanya. Lagu yang dibentuk dengan gumaman itu adalah Symphony No. 9 karya Beethoven. Sejak saat itu, ia sadar kalau anaknya menuruni bakatnya dan tentu saja, bakat papanya.
Pada esok paginya, ia bawa anak itu ke ruang piano yang berada tepat di samping kamarnya. Dan jadilah hari itu hari pertama anaknya mendapatkan pelajaran bermain piano darinya. Saat itu, ia hanya mengajarkan bagaimana cara membunyikan piano dengan memberinya contoh. Tapi karena anaknya seorang tunanetra, ia harus menuntun jari-jari mungil itu menyentuh tuts-tuts piano. Di luar dugaan, si bocah cepat mengerti dan menguasai pelajaran sederhana itu. Bahkan, dengan suaranya yang kecil dan terbata, ia menegur sang mama agar jari-jarinya tak perlu lagi dipegangi. Sang mama mengerti dan ia biarkan saja anaknya bermain sendiri.
Takjub ia melihat jari-jari mungil itu menari di atas tuts piano. Jari-jari itu, seperti memiliki mata. Dan menggemalah Für Elise di ruang itu. Meski belum sempurna dan tidak sampai pada bagian akhir lagu, Karin tahu akan bakat anaknya. Karena, seorang bocah pemula yang normal sekalipun—seperti yang ia temui selama memberikan kursus—umumnya tak akan bisa sebaik anaknya. Maka jadilah Mia murid termuda dan sekaligus tercepat yang pernah ia temui.
Dan saat itu juga, ia sadar bahwa ia telah memiliki seorang anak ajaib.