Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #3

Tamu Kecil

Siang, ketika nada terakhir masih menyisakan gema.

“Sempurna!” Karin menyanjung putrinya yang baru saja menyelesaikan lagu yang diajarkannya. “Mama bangga memiliki putri seperti kamu. Bukannya belum ada sebulan lagu itu Mama ajarkan kepadamu?“

Mia mengangguk sembari tersenyum, lalu katanya, “Mia juga bangga punya mama seperti Mama.”

Karin mendaratkan sebuah kecupan di kening putrinya.

“Mama jangan sedih lagi ya?”

Ungkapan gadis kecil itu sungguh mengejutkannya. Ya, seka­lipun entah sudah berapa kali ia dibuat terkejut oleh kepekaan anak itu. Karin bukan tidak menyadari kalau anaknya memiliki kelebihan yang luar biasa. Ia tahu dan tetap mensyukuri anugerah yang diberikan Tuhan kepadanya. Hanya saja, kadang ia merasa khawatir juga kalau kelebihan yang dimiliki putrinya itu justru berakibat tidak baik bagi anaknya.

Mia memang seperti memiliki indra keenam yang bisa membaca perasaan orang lain.

Dan Karin tak dapat mengelak. Betapa ia dibuat takjub oleh putrinya yang seolah bisa merasai apa yang ia rasakan. Hatinya seperti memunculkan sebuah tulisan yang dengan cermat dapat dibaca anaknya. Kalau sudah begini, apa yang akan dikatakan­nya selain, “Ya, Sayang.”

Gadis itu meraba wajah mamanya. Dan dengan jemarinya yang lembut, ditelusurinya lekuk wajah itu seolah hendak me­mastikan apakah benar ada kesedihan di sana. Saat jemari itu menyentuh di sudut bibir, terdengar denting bel tanda ada yang datang bertamu.

“Nenek pulang,” gumam Karin sembari menurunkan tangan putrinya itu dari wajahnya dengan lembut. “Biar Mama yang buka.” Kemudian, dengan setengah berlari ia menuju pintu depan.

Dugaan Karin salah. Bukan ibunya, ia bahkan tak mengenal siapa tamu yang ternyata seorang anak-anak itu.

“Ingin bertemu siapa?” tanyanya sembari tersenyum, ramah. Tamu kecil itu tersenyum. Ia seorang bocah lelaki, kira-kira seumuran putrinya atau setahun-dua tahun lebih tua.

“Apakah benar ini rumah Mia?” si tamu tidak menjawab pertanyaan Karin, tapi Karin bisa tanggap kalau anaknyalah yang dicari tamu kecil itu. Tapi hatinya bertanya-tanya, anak itu teman apanya Mia karena ia belum pernah melihatnya dan dia seorang yang normal. Mungkinkah Mia memiliki teman baru? pikir Karin.

“Ya, benar,” katanya kemudian. “Kamu siapa?”

Sekali lagi si tamu kecil itu tersenyum, lalu mengulurkan tangannya dan segera disambut oleh Karin.

“Vivace,” kata bocah lelaki itu kemudian.

Karin sedikit terenyak mendengar nama yang disebut tadi. Nama yang bagus, tapi kedengaran aneh. Ia bukan tidak tahu arti dari kata vivace yang menjadi nama anak kecil di hadapannya. Itu sejenis istilah dari sebuah tempo lagu yang berarti ‘cepat’, sangat cepat malah. Karin berpikir, anak ini atau orang tua anak ini pasti pandai bermain musik. Setidaknya menyukai musik klasik. Ba­rangkali nama depannya adalah allegro. Memikirkan itu, Karin tersenyum sendiri. Dan apa yang terlintas dalam pikirannya itu seperti mendapatkan penegasan ketika matanya menatap sebuah benda yang dibawa anak itu: sebuah biola.

Karin kemudian mempersilakan si tamu kecil masuk dan duduk. Lalu, dengan suara mezzo sopran-nya ia memanggil Mia. Dan sebentar saja, terdengar suara ketukan-ketukan kecil yang kian mendekat ke ruang tamu. Dialah Mia, dengan tongkat kecil penuntun jalannya, muncul di ambang pintu yang menghubung­kan antara ruang keluarga dan ruang tamu.

“Siapa, Ma?” Mia bertanya, tak lagi terdengar ketukan-ketukan kecil yang ternyata berasal dari tongkat penuntun jalan Mia yang beradu dengan lantai.

“Teman kamu,” jawab Karin tanpa menyebutkan nama si tamu kecil. “Ayo, temui dia.”

Karin memperhatikan sebentar dua anak itu. Kemudian, ia merasa tak ingin mengganggu privasi mereka, sekalipun mereka anak-anak. Maka ia meninggalkan ruang tamu itu dan ia berteriak mamanggil pembantunya agar membuatkan minum untuk dua bocah itu.

“Vivace?! Benarkah kamu Vivace?”

“Ya, aku sudah berjanji akan datang hari ini,” kata Vivace. Bocah itu merasa heran, bagaimana Mia tahu kalau dirinya adalah Vivace.

“Jadi benar, kamu mau berlatih di sini?”

“Ya, tentu saja. Kalau kamu dan mama kamu tidak keberatan.”

“Dengan senang hati, Vivace. Mamaku pasti juga senang. Aku memang lupa belum menceritakan hal ini kepada mama, tapi mama pasti percaya padaku. Kamu anak yang baik.”

Lihat selengkapnya