Mia keluar dari kelasnya. Pelajaran telah usai. Pelan ia melangkah. Dengan tongkatnya, ia mendeteksi siapa tahu ada benda atau orang di depannya. Ia mencari sebuah bangku di aula sekolah itu. Menemukan, kemudian duduk dengan tenang di sana. Teman-temannya—yang memiliki cacat seperti dirinya— sudah berada dalam tuntunan orang tua atau kakak atau siapa saja yang menjemput mereka.
Hanya Mia yang pada hari ini agak berbeda.
Tampaknya, sang mama sedikit terlambat menjemputnya hari ini. Mia tahu, tadi sebelum berangkat, mama sudah berpesan kalau ada sedikit urusan di lembaga kursus tempatnya bekerja, sehingga agak terlambat menjemput.
Ia disuruh menunggunya dengan sabar. Tapi di luar dugaan dan ini sekaligus menjadi kejutan, sebuah suara memanggil-manggil namanya. Seperti yang tertangkap oleh pendengarannya, suara itu agaknya datang dari arah pintu gerbang. Ia sudah mengenal suara itu.
Pendengarannya kemudian menangkap langkah setengah lari, langkah yang bergegas menuju ke tempat ia berada.
“Vivace?” panggilnya. Wajahnya tampak riang.
“Mia, kamu sedang menunggu jemputan?” Memang benar, anak itu Vivace. Napasnya sedikit terengah.
“Kamu dari mana?” tanya Mia setelah Vivace duduk di sebelahnya.
“Rumah,” jawab Vivace. “Aku sengaja ke sini, seperti yang pernah kubilang. Sungguh kebetulan ini jam pulang sekolah ya.”
“Vivace, kamu selalu menepati janji. Ngomong-omong, di manakah rumahmu?” Mia bertanya seolah ia sedang menatap lekat ke mata anak itu.
“Ah, iya. Kemarin aku belum sempat mengatakannya kepadamu.”
“Kemarin mama menanyakan itu dan aku jawab belum tahu.”
“Tidak jauh dari sini.”
“Di mana?”
“Di sana, di balik gedung itu.” Vivace menunjuk ke arah sebuah bangunan hotel yang bila ditarik garis lurus, tepat berhadapan dengan gedung Sekolah Luar Biasa. Telunjuk Vivace bergerak mengarah ke sana, seolah orang yang diajak bicara di sampingnya itu bisa melihat apa yang ia tunjuk.
Mia tertawa lembut, lalu berkata dengan nada canda: “Oh, yang itu. Apa aku bisa melihatnya?”
Canda Mia membuat Vivace tersadar. Ia tampak malu dan meminta maaf kepada Mia. Dan Mia mengatakan, “Tidak apa.”
“Emm, baiklah,” kata Vivace kemudian. “Lain kali aku ajak kau ke tempatku. Sekarang kau sedang menunggu mama, bukan?”
“Ya. Benarkah?”
“Ya, tentu saja.” Kemudian Vivace bercerita sedikit tentang keadaan rumah. Bahwa rumahnya adalah bangunan kuno yang memiliki pintu dan jendela yang besar-besar, kecuali bagian halaman belakang yang dibangun taman yang kalau orang melihatnya, mungkin tampak berbeda dengan bangunan rumah itu.
Tiga puluh menit berlalu. Sebuah mobil Mazda 626 merah hati masuk ke pelataran dan berhenti tepat di depan dua anak itu duduk. Karin turun, kemudian berjalan menghampiri mereka.