Malam, ketika Mia sudah terlelap.
Karin dan ibunya terlibat perbincangan yang agaknya cukup serius. Mereka duduk saling berhadapan. Hanya sebuah meja yang membatasi keduanya. Ini seperti yang sudah terjadi sekitar seminggu lalu. Tadi sang ibu sudah membisikkannya kalau akan memperbincangkan persoalan yang sama: persoalan status Karin.
Karin tidak tahu, kenapa ibu mulai membicarakannya lagi. Padahal, persoalan ini sudah lama tak diungkit ibunya.
“Apa kamu akan begini terus, Karin?” Karin tidak tahu harus menjawab apa. Pertanyaan itu sudah yang kesekian kalinya keluar dari mulut ibunya. Bila itu dihitung sejak usia Mia 1 atau 2 tahun, tentu akan sangat banyak. Dan kalimat ‘begini terus’ sebenarnya sangat menusuk hatinya bila ia rasakan, tapi ia telah kebal dengan pertanyaan begitu. Dan sejatinya, ia bosan ditanya seperti itu oleh ibunya. Ia juga sudah bosan dengan jawabannya sendiri yang selalu berkelit dan cenderung sekadar menghibur keresahan ibunya.
Tidak. Ia tidak ingin atau tepatnya belum terpikirkan untuk menikah, bahkan di usianya yang sudah mendekati kepala tiga. Tapi ini bukan persoalan usia. Ini persoalan kesiapan mental dan pilihan hidupnya. Bukan memilih lelaki mana yang akan dinikahinya, melainkan apakah ia akan menikah apa tidak.
Karin berpikir, kalau ibunya sangat mengharapkan Mia memiliki seorang ayah, seorang papa. Meskipun mungkin saja pikiran itu tak sepenuhnya benar.
“Apa kamu tidak merasa kasihan pada Mia?” perempuan itu mencoba mendesak anaknya yang masih saja diam.
Tentu saja Karin merasa kasihan pada Mia. Bukankah dia anaknya? Tapi tidak semudah itu melakukan pernikahan. Lebih dari sekadar pertimbangan, bahwa apakah lelaki, calon suaminya—siapa pun dia—bisa menerima bukan hanya dirinya, tapi juga Mia. Karin masih merasa tak ada lelaki yang pantas dicintainya selain Gilbert.
“Sudah lebih dari satu dekade, Karin. Apa kamu tidak bisa melupakan masa lalumu itu?” Ibunya masih mengira kalau alasan kenapa Karin, anak satu-satunya, masih bertahan melajang adalah karena tak bisa melupakan masa lalunya dan masih menganggap kalau Gilbert masih hidup.
Tapi Karin tetap bergeming.
Dulu, saat usia Mia masih belum genap 3 tahun, ibunya sering membujuknya agar segera menikah. Dan dalam persoalan seperti itu, ibunya tampak begitu intens dan serius dalam membicarakannya dengan Karin. Ibunya bertujuan agar kelak Mia tidak bertanya-tanya soal ayahnya. Ini membuat Karin merasa risih. Tapi ucapan-ucapan ibunya yang kadang emosional dan kadang terdengar sangat bijak itu sempat membuat Karin berpikir juga tentang pernikahan.
Bahkan, ia pernah mencoba mencintai seorang laki-laki yang berusaha mendekati dirinya. Juga laki-laki yang pernah ditawarkan oleh ibunya, tapi itu sia-sia saja. Ia tidak bisa. Akhirnya ia berkesimpulan, kalau itu semua hanyalah usaha sementara saja dan kalau diteruskan, justru akan membahayakan dirinya sendiri. Tentu ia ingin mencintai seseorang dengan ketulusan.
Masalah cinta, menurutnya, tidak bisa dengan kepura-puraan.
“Fadli itu kurang apa?” tanya ibunya suatu ketika. “Ia masih muda, cakap, dan seorang dokter. Atau si Aditya, anak teman almarhum ayahmu. Seorang pengusaha tampan dan juga menyukai musik.”
Tapi Karin bukan tipe wanita yang memperhitungkan persoalan-persoalan seperti itu, kendati pun ia tidak memungkiri kalau hal macam begitu juga penting menjadi pertimbangan. Tapi itu bukan satu-satunya. Ia lebih tidak bisa kalau disuruh membuang cinta itu sendiri. Pendek kata, ia belum sepenuhnya mengerti tentang masalah yang ia hadapi. Semua tak bisa dijadikan jaminan untuk sebuah kebahagiaan. Pekerjaan, masa depan, harta, bahkan cinta itu sendiri.
Kalau saja Karin menjatuhkan pilihan pada salah satu dari laki-laki itu dan menikah dengannya, belum tentu lelaki pilihannya itu bisa menerima Mia, gadis sembilan tahun yang sering ia sebut dengan ‘bunga musim gugur’ itu.
Mereka, para lelaki itu, tidak tahu maksud ibu sesungguhnya, pikir Karin. Ia yakin, mereka hanya tahu kalau dia putri ibunya, yang mahir bermain piano, lulusan dari universitas musik di Freiburg, Jerman. Selebihnya, mereka hanya tahu kalau dirinya adalah seorang gadis cantik, anggun, ramah, dan terpelajar.
Saat ia tanyakan pada ibunya, apakah hal itu justru tidak akan membuat mereka kecewa dan memperburuk keadaan dirinya, ibunya malah menjawab, “Soal Mia bisa diatur. Kita bisa beri tahukan pada saatnya nanti, pada calon suami kamu.”
Bagi Karin, jawaban seperti itu seolah suatu persoalan yang mudah.
Sebenarnya, Karin tak pernah berminat dengan rencana ibunya. Ia tidak setuju, tapi ia tak ingin menyinggung perasaan ibunya. Ia tidak tega maka ia pura-pura saja mengikuti permainan ibunya.
Ketika satu per satu lelaki itu—dengan rekayasa yang sudah diatur sedemikian rupa supaya antara Karin dan semua lelaki itu bisa mengadakan perkenalan dan penjajakan—Karin mengatakan pada ibunya kalau tak satu pun dari mereka yang menarik hatinya. “Mereka bukan tipe Karin, Bu,” begitu katanya.
“Sayang, cinta tak harus memiliki profesi dan kesenangan yang sama.”
“Iya, tapi aku tidak suka. Tidak cinta....”
Meskipun merasa kecewa, kalau sudah pada pernyataan tidak suka atau tidak cinta, ibunya tak bisa memaksanya lagi. Ia hanya berusaha. Namun juga menyadari, bagaimanapun, keputusan ada di tangan Karin.
Kadang Karin merasa kalau ibunya adalah wanita yang agak aneh juga. Apa sebenarnya yang diinginkan Ibu? begitu ia beripikir.
Namun, apa pun itu, Karin beruntung karena memiliki ibu yang meskipun kadang-kadang kolot, tapi cukup demokratis juga. Ibunya menyerahkan keputusan sepenuhnya pada Karin, apakah ia akan teruskan hubungan ke tingkat yang lebih serius atau tidak. Ini mirip dengan ketika ia hendak meneruskan ke perguruan tinggi mana. Ibu mengusulkan agar ke UNY atau ke ISI saja. “Yang penting musik, bukan?” begitu dulu ibu berkata, tapi Karin memilih ke Jerman. Karena katanya, itu cita-citanya sejak kecil ketika pertama kali ia mendengar Symphony No. 9 karya Beethoven yang termasyhur itu. Dan dari ayahnyalah ia mendapatkan banyak cerita mengenai musisi besar yang ia kagumi itu.
Pun ibunya tak pernah memaksakan kehendaknya. Ia restui keinginan anaknya untuk belajar musik di Jerman.
Tapi apa yang membuat ibu kembali berharap agar aku mau menikah, setelah sekian tahun ibu tak pernah mengungkitnya? tanya Karin dalam hati.
“Sebenarnya, ibu hanya peduli sama kamu. Kamu anak semata wayang ibu. Dan, tentu saja Mia. Anak itu butuh teman selain kamu dan ibu di rumah ini.” Kalimat yang diucapkan perempuan tua itu menjadi jawaban pertanyaan yang tadi membisik di hatinya.
“Sekarang, Mia sudah tahu hal yang sebenarnya,” sang ibu melanjutkan. “Bahwa papanya meninggal karena kecelakaan.”
Kalimat terakhir dari sang ibu mengingatkannya pada kejadian yang membuat hatinya sama sekali tidak nyaman dan merasa bersalah kepada putrinya, Mia.
Sebelum Mia tahu kalau papanya meninggal akibat kecelakaan, Karin dan ibunya telah sepakat untuk menutupi kenyataan itu. Karin yang pertama kali mengatakan kepada Mia—saat Mia bertanya di mana papanya—kalau papanya bekerja di Jerman. Ini dilakukannya agar putrinya tidak bersedih hati.