Keluar dari sebuah gedung yang tampaknya baru selesai direnovasi, Karin tampak lesu. “Hari-hari yang aneh dan melelahkan,” gumam Karin sembari membuka pintu mobilnya. Sebelum ia menghidupkan mesin, matanya sempat menatap sebuah tulisan yang tertera di bagian atas gedung: Elegant Melody.
Wajahnya memang tampak agak kusut, tapi mengapa mesti aneh dan melelahkan?
Rupanya ia habis mengikuti rapat. Rapat itu membahas persoalan-pesoalan yang berkaitan dengan kemajuan lembaga kursus, serta belajar-mengajar di sana. Dan tampaknya ia merasa kecewa dengan rapat itu. Semua gagasannya tak diterima oleh pengurus. Bahkan, hampir semua peserta rapat tidak mendukung usulnya, pikiran-pikirannya.
“Ini bisnis dan bukan lembaga sosial.” Kalimat yang dilontarkan oleh pimpinan yayasan yang menaungi lembaga itu masih menggaung di telinganya. Ini bisnis dan bukan lembaga sosial?
Bukankah kalimat itu sangat tegas artinya. Ya, orang seperti dirinya tak punya tempat di sana.
Tentu saja Karin tahu, bisnis tidak dilarang di dunia ini. Ia hanya tidak setuju kalau lembaga itu berorientasi pada bisnis semata. Ada tanggung jawab moral di dalam pekerjaannya sebagai seorang pengajar: siswa harus mendapatkan tidak hanya ilmu yang diajarkan para pengajar, tapi juga penguasaan ilmu itu sendiri dan bagaimana mereka mengaplikasikannya. Karin melihat, lembaga dan hampir semua pengajar seolah tidak peduli dengan itu semua.
Kalau semua lembaga ajar dan sekolah berpikir begitu, betapa mengerikan, batin Karin.
“Tentu saja, Ibu Karin. Mereka akan mendapatkan hak mereka. Bukankah mereka membayarnya?” kata salah seorang pengurus lembaga.
“Ya. Sepertinya Ibu Karin terlalu idealis,” yang lain menanggapi.
“Sudahlah. Saya rasa kita tak perlu lagi memperdebatkan masalah ini,” kata pemimpin yayasan. “Kita telah merintis bersama-sama usaha ini dan kita telah menikmati manfaatnya sampai sekarang. Kesejahteraan lembaga ini, juga kesejahteraan kita semua.”
Palu diketok dan rapat selesai.
Sejatinya, Karin hanya ingin lembaga itu memiliki sedikit saja ‘perasaan’. Karin rupanya belum sadar, bahwa perasaan yang ia maksud sudah sejak lama dibuang jauh-jauh dari sana. Sejak dimulainya perubahan orientasi di lembaga itu. Dan tanpa ia sadari, muncullah pertentangan di dalam hatinya. Ini serupa bisikan iblis dan malaikat.
Kamu tak akan bisa melawan mereka, Karin, bisik hatinya. Kamu hanya sendirian. Mereka adalah kekuatan.
Kamu memiliki niat yang baik. Sekarang muncul bisikan lain. Bukankah kamu hanya ingin membenahi yang seharusnya dibenahi?
Ada suara tawa yang menggema jauh di relung hatinya. Ketika berhenti, tawa itu kemudian menjelma bisikan lagi. Membenahi yang seharusnya dibenahi? Tak ada yang harus dibenahi!
Diam. Ada keheningan yang sangat, tapi pasti akan ada bisikan-bisikan lain. Keheningan itu jeda, menunggu suara-suara berikutnya.
Bisnis bukan dosa!