Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #7

Taman Belakang Rumah

Seperti siang-siang sebelumnya, di Jalan Protokol selalu diramaikan oleh lalu-lalang kendaraan. Dua bocah itu sedang menyeberangi jalan. Mereka adalah Mia dan kawan barunya, Vivace, si bocah misterius tapi jenius—menurut mama Mia. Entah kenapa, kali ini Mia bersedia tangannya digandeng. Barangkali memang baru pertama ini ia menyeberangi jalan raya atau karena yang menggandeng adalah Vivace.

Dan bocah lelaki itu, layaknya seorang kesatria kecil yang hendak menyelamatkan seorang putri—yang juga kecil; dengan berani ia melambai-lambaikan tangannya untuk memberi isyarat pada setiap pengendara yang melintas agar mengurangi kece­patan atau bahkan menghentikan laju kendaraannya. Demikian rupa seolah ia dengan lantang berteriak, “Tuan-tuan, hormatilah, sang putri hendak menyeberang!”.

Dan mereka berdua mencapai seberang.

“Kamu belum pernah menyeberang?” suara Vivace nyaris tak terdengar oleh Mia karena berkelindan dengan deru mesin dan klakson kendaraan yang berlalu-lalang.

Mia menggelengkan kepala, tapi diam-diam otaknya mer­ekam semua hal yang baru saja dilakoninya.

“Bagaimana dengan mama kamu?” tanya Vivace kemudian. Ia masih menggenggam tangan Mia.

“Tidak masalah,” Mia meyakinkan Vivace. “Tadi aku sudah mengatakannya.”

“Oh, syukurlah. Tadinya aku berpikir dia akan mengizinkanmu setelah sampai di rumah. Aku tidak memiliki HP.”

Mia tampak tidak sabar mendengar ucapan Vivace. Udara begitu panas. Dia mengisyaratkan kepada kawan barunya itu agar segera melanjutkan langkah.

“Silakan, Tuan putri,” ucap Vivace dengan nada bercanda.

Mia tersenyum.

Genggaman tangan Vivace belum terlepas. Dan mereka mulai berjalan, memasuki lorong yang hanya cukup dilewati oleh satu mobil saja. Seperti itulah kebanyakan lorong yang ada di sebelah selatan Jalan Protokol: sempit dan diapit tembok-tembok bangunan yang tinggi menjulang. Lorong itu serupa ceruk yang dalam seolah luput dari kemajuan peradaban.

Setelah cukup jauh dua bocah itu memasuki lorong dan melalui dua-tiga perempatan kecil dan sebuah belokan ke ka­nan, Mia mulai merasakan suasana aneh yang baru pertama itu ia alami.

“Kita sudah sampai!” teriak Vivace meskipun masih be­berapa meter lagi menuju rumahnya. Anak itu lalu mengajak Mia sedikit mempercepat langkah. Tak ada pilihan bagi gadis buta itu selain menurutinya.

Sekarang mereka memasuki sebuah bangunan tua. Rumah itu berbentuk aneh—setidaknya itu mengesankan demikian kare­na rumah itu berbeda dengan rumah-rumah lain di sektiarnya.

Dan Mia semakin merasa berada di dunia yang asing.

“Dingin,” gumamnya.

Vivace mendengarnya, tapi ia diam dan membuka pintu rumah. Pintu itu sangat tinggi, sehingga dua bocah yang berdiri di depannya tampak begitu kecil. Terdengar bunyi derit seperti sebuah ratapan.

“Ayo masuk,” kata Vivace sembari menuntun sang putri kecil melewati pintu itu, kemudian mempersilakannya duduk di kursi yang berada di dekat jendela yang ukurannya cukup untuk dijadikan sebuah pintu.

Sementara Mia duduk, Vivace menuju ruang dalam dan segera kembali dengan dua buah gelas lemon. Satu di antara dua minuman itu berisi beberapa potong es batu kristal. Vivace memberikannya pada Mia.

“Terima kasih.” Mia langsung meneguknya. Dalam waktu hampir bersamaan, hal itu juga dilakukan oleh Vivace. Berjalan dari jalan raya ke rumahnya telah membuat mereka merasa gerah dan kehausan. Tubuh bocah itu sebenarnya basah oleh keringat. Sekarang sudah mulai mengering.

“Ini rumahmu?” Mia bertanya setelah dengan hati-hati me­naruh gelas di atas meja.

“Sebenarnya bukan,” jawab Vivace cepat dan itu membuat Mia merasa heran.

“Apa maksud kamu dengan ‘sebenarnya bukan’?”

“Ini rumah nenekku.”

Jawaban itu membuat Mia tertawa. “Apa bedanya?”

“Ayah dan ibuku selalu bilang,” kata Vivace, “kita harus dapat membeli rumah sendiri.”

Vivace juga ingin mengatakan kalau sebenarnya ayah dan ibunya bisa saja membeli rumah sendiri dan tinggal di sana, tapi itu tidak dikatakannya karena ia sedang tidak ingin membahas tentang keluarganya.

“Kalau begitu, aku juga tidak punya rumah,” Mia menang­gapi.

Vivace mengangkat kedua bahunya dan memiringkan kepalanya, tapi tentu saja, hal itu tidak diketahui Mia.

“Kalau ayah dan ibu kita bisa membeli rumah sendiri, toh itu bukan rumah kita.”

Mereka tertawa. Kalimat itu lebih terdengar sebagai canda daripada sebuah ungkapan yang serius. Dan Mia berkata, “Nenekku tak pernah berkata soal rumah. Ibuku juga. Rumah itu, rumah kami semua.”

“Ayahmu?”

Ayahmu. Kata itu meluncur begitu saja. Tanpa beban dari seorang bocah seperti Vivace. Dan bagi dia, untuk apa harus terbebani hanya melontarkan kata seperti itu. Hal yang lumrah saja, bukan?

Tapi tidak bagi Mia. Ungkapan Vivace telah membuatnya tersentak dan itu dapat dibaca oleh Vivace dari perubahan mimik wajah Mia. Suasana lumer yang tercipta dari keduanya tiba-tiba berubah.

Lihat selengkapnya