Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #8

Obrolan di Meja Makan

Karin masih duduk di beranda ketika sebuah taksi berhenti di depan halaman rumahnya. Namun ketika si penumpang turun, ia bangkit dan segera menghambur ke gerbang halaman, membuka pintu dengan terburu, lalu memeluk si penumpang yang tak lain adalah putrinya, Mia.

“Ah, Anak mama. Betah sekali bermainnya.”

Mia tersenyum karena hanya itu kebahagiaan Karin. Pada senyum Mia, ia tahu ada senyum Gilbert juga.

Kali ini Mia membiarkan sang mama membawakan tasnya dan menggandeng tangannya—bukan bermaksud menuntun, tapi tak lebih dari sekadar dorongan kasih sayang dari seorang mama dan Mia bisa merasakannya.

Mia tidak segera membersihkan badannya. Ia merasa lelah dan merebahkan tubuhnya di ranjang kamarnya. Sang mama maklum. Tapi setidaknya, hatinya merasa lega karena putri ke­cilnya sudah ada dalam zona kenyamanannya.

Ia menuju ruang piano dan segera jemari lentiknya menari di atas tuts. Tapi kali ini ia tidak menyanyikan lagu klasik, me­lainkan lagu-lagu yang jauh lebih lembut dan berirama romantis, seperti Ballade pour Adeline, Besame Mucho, Autumn Leaves, dan lagu-lagu dari penyanyi-penyanyi idola ibunya: Julio Iglesias, Eric Clapton, Rod Steward, dan tentu saja, John Lennon. Dan ini nyaris tak pernah dilakukannya, bermain piano dan bernyanyi.

Tak terasa, ia bermain hingga lewat pukul 20.00. Ia men­gakhiri permainanannya dengan lagu Anne Muray yang berjudul You Needed Me.

Tapi lagu itu tidak selesai, masih satu bait dengan nada yang menggantung. Itu karena ia keburu ingat kalau putrinya belum membersihkan diri. Ia harus segera membangunkan anak itu.

Ketika ia meninggalkan ruangan itu, nada terakhir masih menggema.

Bertiga mereka menghadap meja makan. Sejak ayah Karin men­inggal dan ia belajar di Jerman, tradisi makan malam bersama sudah jarang dilakukan. Pun ketika Karin kembali ke tanah air. Ibunya terlalu sibuk mengurus bisnis, apalagi ia membuka usaha barunya, katering.

Ini kesempatan yang baik untuk keluarga itu meski hanya untuk makan malam bersama.

Mia tampak ceria dan segar di antara mama dan neneknya. Menu makan malam tidak seperti biasanya, pasti bukan pem­bantunya yang memasak. Tapi Karin tahu menu-menu itu buatan ibunya: fetucini, kastangel, macaroni scottle, dan risotto. Itu semua masakan Eropa. Sepertinya sang ibu sedang bersemangat memasak. Karin membatin, Pasti akan membuat perut lekas kenyang. Mentang-mentang jogo masak.

Ayahnya yang masih berdarah Belanda yang telah membuat ibunya bisa memasak masakan itu, terutama masakan Belanda. Ibunya memang seorang ahli memasak. Keahlian itu, selain dari bakat yang dimilikinya, juga terasah oleh pengalaman­nya sebagai juru masak di beberapa restoran saat muda dulu. Sayangnya, Karin tidak menuruni bakatnya. Perempuan itu lebih menuruni bakat ayahnya yang mahir memainkan hampir semua alat musik.

Satu menu saja yang agak berbeda, tapi Karin merasa itu pun tidak asing. Namun ia lupa dengan nama menu itu.

Mata Karin mengerling pada masakan yang ditaruh di dalam sejenis baskom kecil bermotif bunga-bunga. Menu itu mirip makanan yang dulu pernah Karin santap bersama Gilbert di restoran Vietnam di Kartäuserstrasse. Maka sejenak ia teringat kenangan kecil itu. Ia mengingat namanya, tapi nama makanan itu tampaknya agak panjang dan ia benar-benar lupa.

“Itu namanya Poulet au curry au lait de coco.” Rupanya sang ibu memperhatikannya.

Ah, ya. Itu dia! ucap Karin dalam hati.

“Kamu pasti baru pertama kali melihatnya, bukan?” ibunya menyindir.

“Ah, tidak. Aku pernah makan di….”

“Jerman?” Ibunya dengan cepat memotong, kemudian tawanya berderai. ”Di sini namanya kari ayam. Yah, begitulah.”

Karin pun tertawa. Ia mengutuki dirinya sendiri. Kenapa aku bisa lupa? Bukankah di sini banyak sekali yang menjual masakan seperti itu?

“Oh iya. Coba saja kamu cicipi. Rasanya tak akan ada duanya karena itu bikinan ibu sendiri.”

Sekarang Karin yang mengatakan, “Oh ya?”

Kemudian, ia menciduknya sedikit ke dalam mangkuk ke­cil. Lalu, disendoknya kari ayam itu. Ditiup beberapa kali, lalu menyuapkan ke dalam mulutnya. Karin mengakui, masakan itu sungguh enak. Ibunya memang jago masak, tapi ia sulit men­gatakan kalau yang dimakan di Jerman tak lebih enak daripada masakan ibunya itu.

Lihat selengkapnya