Karin mengajak Mia ke taman kota. Ya, sudah lama ia tidak berkunjung ke sana. Terakhir ia berkunjung ke sana saat ia masih terombang-ambing oleh ‘badai kenangan’ masa lalunya—sekitar delapan tahun yang lalu.
“Nanti, usai kamu pulang,” katanya pada Mia.
Mia yang tak pernah menolak ajakan mamanya mengangguk setuju. Kali ini ia bilang kalau Vivace akan menemuinya di sekolah.
“Kalau begitu, kita ajak sekalian dia,” kata mamanya.
“Baik, Ma,” jawab Mia singkat.
Tak ada lagi ‘badai kenangan’. Kenangan telah menjelma angin atau ombak yang tenang dan tak akan mengguncangnya lagi. Maka Karin tak akan terseret, sehingga hanyut berlarut-larut ke dalamnya ketika masuk ke area taman kota itu.
“Kalau kalian ingin main sendiri, silakan saja. Mama akan duduk di bangku itu.” Karin menunjuk pada bangku kosong di dekat patung di bawah pohon beringin rimbun dan memiliki banyak sulur.
Sementara Karin berjalan ke arah bangku, dua bocah itu berjalan ke arah yang berlawanan. Entah apa yang akan dilakukan Karin di sana. Apa yang dilakukan seseorang di sebuah bangku selain duduk?
Bangku-bangku itu sengaja disediakan untuk pengunjung taman, selalu diletakkan di dekat pohon yang rindang. Semua bangku itu berwarna kelabu, mengesankan usia mereka yang sudah tua meskipun sebenarnya tidaklah demikian. Bangku-bangku itu justru dibuat setelah taman ini, direnovasi sekitar empat atau lima tahun yang lalu.
Sekarang ia duduk di bangku itu, hanya memandangi patung seorang perempuan yang duduk di tengah kolam. Patung itu mengingatkannya pada memorial untuk Mozart di Zentralfriedhof. Sesekali ia nikmati juga angin yang berdesir dan gemeresik suara dedaunan. Tentu saja ia ingat dengan taman-taman yang pernah ia kunjungi; Bayerischer Wald, Berchtesgaden National Park di Jerman, Volksgarten, dan taman bunga Istana Schönbrunn di Vienna.
Karin tak akan mengalami semua itu tanpa ada Gilbert di sisinya. Harus diakuinya, sang kekasih memiliki cukup uang untuk melakukan rekreasi. Tentu saja, Jerman adalah negara tempat kakek dan neneknya tinggal, juga saudara-saudaranya.
Taman-taman di sana memang jauh lebih indah dibandingkan taman yang sekarang ia nikmati. Namun, ini pun sudah cukup untuk rekreasi kecilnya. Rekreasi yang bersahaja. Dan ‘badai kenangan’ sudah lama reda, tapi apa salahnya mengenang masa indah sekadarnya saja? Hampir semua orang pernah melakukannya.
Ia tak perlu lagi mengenang masa lalu dan terpukul perasaannya saat mengenang itu. ‘Bunga musim gugur’ sekarang ada dalam pelukannya dan ia akan tumbuh menjadi gadis yang hebat. Setidaknya sebagai seorang pianis.
Sekarang pikirannya beralih ke pekerjaannya sebagai seorang instruktur piano di lembaga kursus Elegant Melody. Keputusannya sudah bulat. Ia merencanakan membuat surat pengunduran diri. Semua telah ia siapkan.
Usul-usulnya di depan rapat tidak mendapatkan dukungan. Sebaliknya, itu dianggap oleh lembaga sebagai penghalang bisnis. Sementara baginya, seorang guru memiliki tanggung jawab terhadap semua anak bimbingnya. Mereka harus mendapatkan hak mereka secara maksimal. Ini merupakan wujud dari tanggung jawab moral bagi setiap guru, begitu yang pernah ia sampaikan di depan forum. Tapi siapa yang akan mendegarnya? Bisa jadi, dalam hati, mereka menertawai dan mencemoohnya kalau tidak menganggapnya sebagai orang yang tolol.
Mondscheinsonate—Sonata pada Sinar Bulan—tiba-tiba terdengar. Itu nada SMS telepon genggamnya. Ia terkejut dan segera memeriksa ponselnya. Pesan dari Mr. Misterius. Begitulah ia memberi nama pada si pengirim pesan yang suka mengganggunya itu.
“Dia lagi. Suka sekali berbuat iseng,” katanya setengah mengumpat, tapi tak urung dibacanya juga pesan itu.
Aku tahu, kau lagi ada di taman. Selamat menikmati….
Sekali lagi Karin mengumpat. Seumur hidupnya, baru kali ini ia diganggu orang dengan cara seperti itu. Sebulan terakhir ini, Karin memang mengalami hal-hal yang aneh. Melihat seorang yang mirip kekasihnya bermain biola di bawah pohon angsana dan menerima pesan-pesan misterius.
Heran, bagaimana orang itu bisa tahu? kata Karin dalam hati. Rasa heran Karin belum tuntas, ia dikejutkan lagi dengan lagu Mondscheinsonate. Kali ini ia tidak mengumpat, tapi langsung memeriksa ke pesan masuk.
Tenanglah. Suatu hari kelak kita juga akan ketemu kok.
Karin mencibir, lalu ia memberi balasan: Memang siapa yang ingin bertemu kamu?!
Hahaha… jangan sewot, Non!
Bukan lagi mengherankan, tapi juga menjengkelkan hati Karin.
“Siapa sih orang ini?! Kurang kerjaan saja, dasar kampungan!” gumamnya.
Hai, Jin, jangan ganggu aku! Tulisnya lagi. Dan seperti harapannya, lagu Mondscheinsonate kembali berdering.
Sorry, Non. Ini cara saya mengawali….
Mengawali? Mengawali apa? Hatinya mulai bertanya-tanya. Dan yang membuatnya kian bingung adalah, bagaimana orang itu bisa tahu banyak hal tentang dirinya. Bagaimana masa lalunya, apa yang dikerjakan saat ini, bahkan bagaimana perasaannya. Ia pernah menanyakan langsung pada si pengirim pesan misterius itu melalui SMS, tapi tak pernah mendapatkan balasan. Dan ketika ia mencoba meneleponnya langsung, teleponnya tak pernah diangkat.
Karin pantas heran dan bingung. Karena ia belum pernah bersitatap dengan si pengirim pesan misterius. Setidaknya itu menurut dirinya. Ah, dari mana pula orang itu tahu nomornya?
Pada mulanya ia menduga, itu pasti orang yang dekat dengan dirinya, semacam sahabat atau kawan dekat. Namun setelah ia pikir-pikir dan mencoba bertanya pada mereka tentang apa yang ia alami, ia mengambil kesimpulan, bukan mereka yang melakukan pekerjaan iseng itu. Tak satu pun bukti dan alasan yang menunjukkan mereka yang melakukannya.
Karin sempat mencurigai ibunya dan menuduh ibunya telah bersekongkol dengan salah seorang—yang mungkin saja seorang lelaki—dengan tujuan untuk membuatnya jatuh cinta, tapi ibunya telah bersumpah atas nama Tuhan bahwa ia tidak tahu-menahu tentang pengirim SMS misterius itu.
Dan Karin percaya pada ibunya.