Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #11

Mimpi

Hari ini adalah hari libur. Di kamarnya,  Mia sudah bangun, tapi belum  juga beranjak  dari tempat tidurnya.  Matanya menatap  langit-langit kamar. Ia sedang  berpikir soal mimpinya semalam.  Mimpi itu aneh, tapi terasa begitu nyata.

Semula  ia bertemu  dengan  perempuan tua  yang mengaku sebagai nenek Vivace. Ia sangat persis dengan  apa yang ia bayangkan  sebelumnya: bertubuh kurus dengan  rambut kelabu yang dibiarkan  tergerai.  Matanya cekung  tajam dan menusuk. Tak sedikit pun  bibirnya  menyunggingkan senyum.  Keriput yang menghiasi  wajahnya  tampak  mengerikan di mata  Mia, seperti sebuah siluet yang dilatari cahaya biru gelap, dan rambut kelabunya berumbai-rumbai serupa kaki-kaki gurita yang menari di dalam lautan.

“Vivace adalah  cucuku!  Cucuku!” nenek  itu memekik  di antara lengkingan gesekan biolanya yang mirip desingan seekor nyamuk atau lebah.

Mia tidak tahu apa maksudnya  perkataannya. Perempuan itu lalu  tertawa.  Giginya  belum  ada  satu pun  yang tanggal. Setidaknya itu yang bisa dilihat Mia.

Setelah tertawa,  perempuan itu kembali  memainkan biolanya, tapi Mia belum pernah mendengar lagu yang dimainkan- nya itu. Barangkali itu seperti yang diceritakan Vivace: bertempo sangat  cepat  dan  menggunakan nada-nada  yang melengking tinggi, sehingga susah diikuti.

Mimpi itu kemudian  berubah  ke tema  yang lain.  Mimpi yang sama  sekali  berbeda. Mia melihat seorang  lelaki  yang tengah bermain biola di bawah sebatang pohon. Ini seperti yang diceritakan mamanya tempo hari. Tapi ia tak tahu, apakah pohon dalam mimpinya itu pohon angsana atau apa. Ketika permainannya berhenti,  lelaki itu berjalan  mendekati  Mia.

“Berikan pada mamamu,” ujar lelaki itu sembari  mengu- lurkan sebuah benda berbentuk persegi. Rupanya sebuah buku. Entah dari mana si lelaki mengambil buku itu.

Mia menerimanya dan  ia seolah  bisa membaca sebuah tulisan yang ada di sampul buku: Gilbert dan Karin. Berwarna keperakan  dan seperti menyala.

Begitu saja dan lelaki itu menghilang.

Terdengar  pintu kamarnya diketuk, lalu sebuah  suara memanggil namanya.

"Masuklah, Nek.”

Neneknya  membuka pintu,  kemudian  masuk dan  mendekati Mia. “Mia, apa kamu sakit?” tanya sang nenek  sembari menyentuh dahi Mia dengan  punggung tangannya. Suhu tubuh anak itu normal. “Kenapa tidak bangun?”

Mia menyahut dengan  jawaban  standar, “Malas, Nek.”

Sang nenek  juga membalas  dengan  kalimat yang standar pula, “Dasar cucu Nenek!”

Lihat selengkapnya