Ketika terbangun, ia masih memikirkan gesekan biola yang didengarnya semalam. Kali ini, tak ada acara lari pagi.Entah kenapa, ia merasa begitu malas.
“Apakah setiap orang mengalami peristiwa aneh?” tanyanya pada diri sendiri.
Dan ketika pertanyaan itu ia sampaikan kepada ibunya, sang ibu malah balik bertanya, “Memang kamu mengalami peristiwa aneh apa lagi?” Karin pernah bercerita kepada ibunya perihal lelaki penggesek biola yang ia lihat beberapa kali di bawah pohon angsana di seberang jalan, yang berhadapan dengan kamarnya.
Karin lalu menceritakan kejadian semalam kepada ibunya. Mendengar itu, sang ibu tertawa, kemudian berkata, “Itu bukan peristiwa aneh, Karin. Bisa-bisa malah kamu yang aneh.”
“Ah, Ibu,” hanya itu yang dikatakan Karin, gemas dengan tanggapan ibunya. Ia kemudian beralih tema pembicaraan, soal Mia.
“Mia sedang membaca,” kata ibunya. Tentu saja Karin tahu, putrinya sedang membaca buku braille. Itulah kenapa ia merasa suasana sepi. Sebab biasanya, ia akan mendengar denting piano atau canda Mia bersama neneknya.
Karin merasa hari ini tak seperti biasanya. Dan untuk pertama kalinya, sejak beberapa tahun terakhir, ia merasa hari ini mem- bosankan. Ia terlihat lesu dan tidak bergairah. Mungkin saja hanya dia yang merasakannya. Sebab kenyataannya, Mia dan juga sang ibu terlihat seperti biasanya. Bahkan, ibunya tampak lebih ber- semangat dalam menjalani hidupnya dari hari atau pada bulan- bulan sebelumnya. Semakin giat saja ia menjalankan bisnisnya, juga bisnis katering yang dirintisnya sejak tiga bulan lalu.
Karin yang usianya jauh lebih muda justru mengalami fase kemunduran; melepaskan satu pekerjaannya. Dan hari ini, ia benar-benar merasakan hari yang membosankan. Keadaan se perti ini, setiap orang pasti akan mengalaminya.
Kalau ada orang yang memperhatikannya, tentu akan ber- kata, “Tumben, kamu kelihatan tidak bergairah, Karin.” Atau, “Kamu kenapa? Sakit ya?”
Sebenarnya sang ibu tahu keadaan anaknya itu, tapi ia tak sempat bertanya begitu. Ibunya harus segera mempersiapkan segala sesuatunya, lalu pergi ke rumah yang ia sewa tidak jauh dari tempat tinggalnya. Rumah itu ia jadikan tempat untuk menyimpan segala barang keperluan bisnisnya.
Dengan langkah lesu, Karin menghampiri kamar Mia. Ia belum bertemu dengan anak itu sejak terbangun dari mimpi.
Tapi lebih dari itu, sebenarnya, ia butuh seorang teman bicara.
Barangkali, ya barangkali, hal itu dapat membuatnya kembali bersemangat.
Atau Karin sedang merasakan kesepian?
Kali ini, ia lupa mengetuk pintu terlebih dahulu, seperti yang biasa ia lakukan, tapi Mia tidak mempersoalkan hal itu. Gadis buta itu tahu siapa yang datang walaupun ia tak segera menyapa sampai sang mama menyebut namanya.
“Mia, kamu tidak keluar?”
Mia menutup bukunya. “Baru saja Mia mau keluar, Ma.” “Kalau begitu, ayo keluar,” Karin mengajaknya duduk di teras depan. Sebelumnya, Karin memanggil pembantu untuk membuatkan dua gelas kopi susu. Sungguh sebuah pagi yang tak biasa. Kopi susu. Sejak kapan ia meminumnya? Itu sudah sangat lama. Terakhir ia meminumnya di Volksgarten di Vienna. Bersama Gilbert ia ke sana meminum caffe- latte sembari menikmati suasana di taman itu.
Mia merasakan ‘hal baru’ itu, tapi tidak berkomentar sepatah kata pun walau sekadar mengucapkan, “Tumben, Ma.”
Mereka duduk di bangku teras. Angin pagi menyergap. Untuk pertama kalinya, Karin merasakan kesegaran itu di pagi ini. Juga nyanyian burung dan bisik dedaunan.
“Apa kabar sahabatmu? Sudah beberapa hari ini tidak ke- mari, kenapa?” Karin mengawali pembicaraan.
Mia tahu siapa yang dimaksud dengan ‘sahabat’. Vivace. “Entahlah, Ma,” jawabnya. “Mungkin sedang dihukum nenek- nya.”
“Masa iya sih?” sahut Karin, tidak yakin.
“Neneknya orang yang kelewat tegas kalau sedang melatih Vivace,” jawab Mia, seolah pernah bertemu langsung dengan nenek Vivace
Pembantu datang dengan membawa dua gelas kopi susu. “Oh iya. Apa semalam kamu mendengar suara biola?” Karin bertanya kepada Mia setelah pembantunya berlalu. “Tidak, Ma. Kenapa?”