Ketika Mia keluar dari kelasnya—seperti biasa—ia duduk di kursi aula, menunggu mamanya menjemput.
“Mia,” tiba-tiba seseorang memanggilnya. Ia tidak lupa dengan suara itu.
“Vivace?” gumamnya. Senyumnya mengembang, seolah baru pertama kali ia melakukannya. Memang, rasanya sangat lama Mia tidak melewati saat seperti ini, saat di mana bocah itu memanggilnya ketika ia sedang duduk di sana.
Kini bocah itu sudah berada di dekatnya. Napasnya masih kentara memburu. Rupanya tadi ia berlari.
“Apa kabarmu, Vivace?” “Baik saja. Kamu juga, kan?”
Mia mengangguk, lalu berkata, “Kebaikan yang kurang sempurna. Kamu ke mana saja?”
“Ah, iya. Aku tidak sempat memberitahumu.”
“Kenapa?”
“Aku dan keluargaku pergi ke Prancis.”
"Prancis?!” Mia setengah memekik. “Kalian liburan!”
“Bukan. Kami menghadiri pemakaman salah satu keluarga kami yang meninggal.” “Jadi….”
“Ya. Kakekku asli orang sana.” Betapa kalimat yang diucapkannya itu menyimpan semacam kerancuan. Karena pada hakikatnya, ia sama sekali tak memiliki hubungan darah dengan orang yang disebutnya sebagai ‘kakek’, yang bahkan sama sekali tidak pernah dilihatnya kecuali fotonya saja. Jadi, tentu saja ia tidak memiliki darah Prancis. Ketika mengatakan kalimat tadi, ia merasa gamang dan tersembul di hatinya sebuah perasaan tidak nyaman karena bagaimanapun, ia merasa berkecil hati. Dan jauh di lubuk hati bocah itu, ia menyimpan pertanyaan yang ia tidak tahu apa jawabannya: Aku ini sebenarnya keturunan siapa?
“Siapa yang meninggal?” tanya Mia, membuat Viavace ter- sadar dari lamunannya.
“Sepupu ayahku.”
“Oh… aku turut berdukacita.” “Ya. Terima kasih.”
“Kamu sering ke sana?”
“Tidak juga. Yang kemarin itu kedua kalinya.”
“Wah, pasti menyenangkan! Berarti kamu pernah melihat Eiffel? Mamaku pernah bercerita tentang Paris, Vienna, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya.”
Vivace memperhatikan bibir gadis itu selama ia berbicara. Ia merasa betapa lucu bentuk bibir sahabatnya itu saat meng- ucapkan nama-nama negara yang tadi disebutnya. Namun diam-diam, ia juga memiliki perasaan aneh pada bentuk bibir Mia. Barangkali ini semacam perasaan kagum atau sesuatu yang lain yang ia belum tahu namanya.
“Kamu pernah ke Eropa?” tanya Vivace akhirnya.
“Tidak pernah,” jawab Mia sembari menggelengkan kepala. “Mamaku menceritakannya kepadaku, dan aku hanya dapat membayangkannya; bagaimana ketika salju yang dingin, putih, dan lembut turun serupa kapas-kapas yang berhamburan.” Ten- tang warna putih pada salju, Karin menjelaskannya kalau itu biasa dikontraskan dengan warna gelap. Gelap itulah hitam, seperti yang hanya dilihat oleh matanya. Salju, kapas, dan kertas yang biasa untuk menulis umumnya berwarna putih. Dalam bayangan Mia, warna putih adalah serupa pijar cahaya.
Sekali lagi Vivace melihat bibir mungil gadis itu. Sekali itu pula, apa yang tadi dirasakan singgah di hatinya.
“Mamaku juga bercerita tentang keindahan musim gugur….” Sejenak ia berhenti karena melintas bayangan wajah ibunya— yang menurut perasaannya—yang sedih saat menceritakan musim gugur kepadanya.
“Mamaku sangat menyukai musim itu,” lanjut Mia. Ia masih berpendapat kalau pengakuan mamanya sungguh aneh; suka tapi sedih. “Kamu pernah melihatnya, Vivace?”