Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #14

Orang-orang Indo

Ketika Mia keluar dari kelasnya—seperti biasa—ia duduk di kursi aula, menunggu  mamanya  menjemput.

“Mia,” tiba-tiba  seseorang  memanggilnya. Ia tidak lupa dengan  suara itu.

“Vivace?” gumamnya. Senyumnya  mengembang, seolah baru pertama  kali ia melakukannya. Memang,  rasanya  sangat lama Mia tidak melewati saat seperti ini, saat di mana bocah itu memanggilnya ketika ia sedang duduk di sana.

Kini bocah  itu sudah berada  di dekatnya.  Napasnya  masih kentara memburu. Rupanya tadi ia berlari.

“Apa kabarmu,  Vivace?” “Baik saja. Kamu juga, kan?”

Mia mengangguk, lalu  berkata,  “Kebaikan  yang kurang sempurna. Kamu ke mana saja?”

“Ah, iya. Aku tidak sempat memberitahumu.”

“Kenapa?”

“Aku dan keluargaku pergi ke Prancis.”

"Prancis?!” Mia setengah  memekik.  “Kalian liburan!”

“Bukan. Kami menghadiri pemakaman salah satu keluarga kami yang meninggal.” “Jadi….”

“Ya. Kakekku asli orang  sana.”  Betapa  kalimat  yang diucapkannya itu menyimpan semacam kerancuan. Karena pada hakikatnya, ia sama sekali tak memiliki hubungan darah dengan orang yang disebutnya sebagai  ‘kakek’, yang bahkan  sama sekali tidak pernah dilihatnya kecuali fotonya saja. Jadi, tentu saja ia tidak memiliki darah Prancis. Ketika mengatakan kalimat tadi, ia merasa gamang dan tersembul di hatinya sebuah perasaan tidak nyaman karena bagaimanapun, ia merasa berkecil hati. Dan jauh di lubuk hati bocah itu, ia menyimpan pertanyaan yang ia tidak tahu apa jawabannya: Aku ini sebenarnya  keturunan  siapa?

“Siapa yang meninggal?” tanya Mia, membuat Viavace ter- sadar dari lamunannya.

“Sepupu ayahku.”

“Oh… aku turut berdukacita.” “Ya. Terima kasih.”

“Kamu sering ke sana?”

“Tidak juga. Yang kemarin itu kedua kalinya.”

“Wah, pasti menyenangkan! Berarti kamu pernah  melihat Eiffel? Mamaku pernah  bercerita tentang Paris, Vienna, Jerman, dan beberapa negara Eropa lainnya.”

Vivace memperhatikan bibir gadis itu selama ia berbicara. Ia merasa  betapa  lucu bentuk  bibir sahabatnya itu saat meng- ucapkan nama-nama negara yang tadi disebutnya. Namun diam-diam,  ia juga memiliki perasaan  aneh  pada  bentuk  bibir Mia. Barangkali ini semacam  perasaan  kagum atau sesuatu yang lain yang ia belum  tahu namanya.

“Kamu pernah  ke Eropa?” tanya Vivace akhirnya.

“Tidak pernah,” jawab Mia sembari menggelengkan kepala. “Mamaku  menceritakannya kepadaku, dan  aku hanya  dapat membayangkannya; bagaimana ketika salju yang dingin, putih, dan lembut turun serupa kapas-kapas yang berhamburan.” Ten- tang warna putih pada salju, Karin menjelaskannya kalau itu biasa dikontraskan  dengan  warna  gelap.  Gelap  itulah hitam,  seperti yang hanya dilihat oleh matanya. Salju, kapas, dan kertas yang biasa untuk menulis umumnya berwarna putih. Dalam bayangan Mia, warna putih adalah serupa pijar cahaya.

Sekali lagi Vivace melihat bibir mungil gadis itu. Sekali itu pula, apa yang tadi dirasakan singgah di hatinya.

“Mamaku juga bercerita tentang keindahan musim gugur….” Sejenak ia berhenti  karena  melintas bayangan  wajah ibunya— yang menurut perasaannya—yang sedih saat menceritakan musim gugur kepadanya.

“Mamaku sangat menyukai musim itu,” lanjut Mia. Ia masih berpendapat kalau pengakuan mamanya sungguh aneh; suka tapi sedih. “Kamu pernah  melihatnya, Vivace?”

Lihat selengkapnya