“Hai, Bocah tengil!” pekik seorang lelaki sembari menjewer telinga si bocah yang duduk di halte. Bocah itu tersentak, kemudian menoleh ke arah orang yang membuatnya kaget.
Dan lebih kaget lagi ketika ia tahu siapa orang itu. “Abang?!” ucap si bocah dengan mata membelalak.
“Apa kabarmu, Anak gajah?” Lelaki itu kemudian terbahak.
“Baik, Bang,” jawab si bocah singkat.
“Dengar-dengar, kamu sudah menjadi orang kaya,” lelaki itu berkata dengan nada selengekan. Ia kemudian duduk di samping si bocah. Sebelah tangannya merangkul pundak anak itu, kemudian bertopang kaki.
Aroma parfum yang sangat dikenal anak itu menguar dan tercium olehnya. Abang belum berubah juga, pikirnya.
“Dari mana Abang tahu?” tanyanya kemudian.
Lelaki itu tertawa. Suaranya lebih keras daripada sebelumnya.
“Kamu lupa siapa aku, Anak gajah?”
Bocah itu tak mungkin lupa dengan lelaki yang dipanggilnya ‘abang’ itu. Belum ada setahun mereka tidak bertemu. Kalau- pun lebih lama dari itu, si bocah juga tak akan melupakannya. Apalagi lelaki itu sama sekali tidak berubah—memakai jaket kulit cokelatnya yang sudah tampak lusuh, jeans belel kelabu, sepatu pantofel cokelat, dan tentu saja, parfum Cyprus yang aromanya khas: apricot dan custard.
Ia masih berumur 7 tahun saat pertama kali bertemu dengan lelaki itu. Ketika itu, sore hari di stasiun. Ia dan beberapa teman sebayanya baru saja turun dari kereta yang mereka tumpangi dengan cara diam-diam agar tidak dimintai karcis oleh petugas kereta. Hal itu kadang mereka lakukan. Mereka hanya ingin bepergian, tapi karena tak memiliki uang yang cukup, cara seperti itulah yang mereka tempuh.
Saat teman-temannya memilih pulang, entah kenapa ada yang menarik perhatian anak itu. Ia melihat sebuah kotak hitam di samping seorang lelaki yang tampaknya sedang tertidur. Ia mendekati tempat itu. Kemudian, didorong oleh rasa ingin tahunya—perlahan tangannya terulur, hendak mengambil benda itu. Tapi betapa ia tersentak karena sebelum tangan mungilnya sempat menyentuh benda itu, tangan yang lebih besar dari miliknya dengan sangat kencang menggenggam pergelangannya. “Bocah lancang!” teriak lelaki itu, yang ternyata tidak tidur.
“Ingin kupatahkan?”
Wajah si bocah menjadi merah-hitam karena menahan takut.
“Ampun, Om! S… saya… cuma….” Kalimat si bocah tidak berlanjut karena lelaki itu menarik tangannya, sehingga tubuhnya mendekat ke tubuh si lelaki.
“Kamu tahu, benda apa ini?” ujar lelaki itu setengah berbisik.
Si bocah yang masih ketakutan menjawab dengan terbata,
”T… tidak, Om.”
“Hush! Jangan panggil aku ‘om’! Kecuali kamu punya tante cantik yang bersedia jadi istriku.” Lelaki itu tertawa lirih, kemudian melepaskan cengkeramannya.
Rasa takut si bocah sedikit berkurang dan hatinya menjadi lega, seolah baru saja selamat dari sebuah bahaya.
“Coba kamu tebak, apa isinya?” Dengan dagunya, lelaki itu menunjuk ke sebuah benda yang tadi hendak dipegang si bocah.
Si bocah diam sebentar, berpikir, kemudian berujar, “Raket?” “Bocah tolol!” kata lelaki itu datar.
Si lelaki menyuruhnya menebak sekali lagi, tapi bocah itu menyerah dan tak satu benda pun yang dapat ia sebut.
“Ini senapan,” bisik si lelaki, seolah takut didengar orang lain. Tapi bocah itu tidak yakin dengan apa yang dikatakan si lelaki. Ia sering melihat film perang dan film laga, tapi belum pernah melihat senapan dengan bentuk seperti itu. Tapi ia diam saja karena takut lelaki itu tersinggung dan marah kepadanya. “Kamu mau aku menembakmu?” tanya lelaki itu dengan suara yang dibuat-buat sembari mengangkat benda itu dari lantai, di dekat kakinya.
Si bocah merasa takut juga. Tubuhnya kembali gemetar. Jangan-jangan benar kotak itu isinya sebuah senapan? pikir si bocah.
Pelan-pelan lelaki itu membukanya. Merasa penasaran dengan isi kotak yang belum diketahuinya itu dan dengan setengah takut, mata si bocah memperhatikan benda itu.
Ketika kotak aneh itu benar-benar terbuka, hatinya merasa lega. Meskipun belum tahu apa nama benda itu, setidaknya ia tahu kalau itu bukanlah sebuah senapan.
Si lelaki kemudian mengeluarkan benda itu pelan-pelan, seolah sengaja memberi kesan kehati-hatiannya kepada si bocah. Di mata si bocah, betapa aneh bentuk benda itu: di bagian ujung melebar, sementara di ujung lainnya menyempit. Ada beberapa tali di badan benda itu. Ia belum pernah melihat benda serupa itu, tapi ia berpikir, apakah itu alat musik?
Ada satu lagi, tapi yang ini seperti sebuah tongkat kecil yang memiliki serupa tali tapi lebih lembut dan lebih banyak. Menyerupai serabut yang mengingatkan bocah itu pada buntut kuda.
Si lelaki menimang sebentar benda aneh itu, lalu mena ruhnya di pundak dan mengapitnya dengan dagunya, sementara tangan yang satu memegang benda kedua yang mirip tongkat dengan serabut buntut kuda itu.
Perasaan takut bocah itu hilang seketika saat si lelaki mem- perlakukan benda itu dengan lembut. Dan tahulah ia kalau benda itu sebuah alat musik walau ia tak tahu apa namanya.
Dengan takjub, bocah itu menyaksikan si lelaki memainkan lagu yang sering dinyanyikannya di sekolah: Anak Gembala.
Ketika lagu itu selesai, si bocah bertepuk tangan. “Tahu nama benda ini?”
Bocah itu menggeleng. “Biola!” kata si lelaki.
“Biola?” ulang bocah itu dengan menggumam.
“Kalau kamu suka, akan aku ajari kamu memainkannya.”
“Benar, Om?”
“Hei! Sudah kubilang jangan panggil aku ‘om’! Panggil aku abang saja. Abang Violin.”
Bocah itu mengangguk. Kelak ia akan tahu kalau ‘violin’ artinya kurang lebih sama dengan ‘biola’. Ia juga akan tahu kalau itu bukanlah nama lelaki itu.
“Ini adalah senjata untuk mencari duit!” kata lelaki itu lagi. Kemudian, ia menceritakan kepada si bocah tentang petualangan- nya mengamen dari stasiun satu ke stasiun yang lain. Kadang ia mengamen juga di dalam kereta. Bocah itu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Dan dari cerita itu, ia mendapatkan semacam gagasan untuk melakukan hal yang sama.