Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #16

Biola Stradivarius

Vivace membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah wajah tua neneknya. “Hmm!” bocah itu melenguh, menguap, kemudian  meregangkan  otot-otot tubuhnya. Ia belum  juga hendak bangkit dari berbaringnya.

“Bangunlah,” kata wanita tua yang tadi mengguncang- guncang  tubuhnya. “Sudah hampir petang.”

Di matanya, nenek sekilas terlihat seperti orang sakit. Tubuhnya  yang kurus nyaris serupa tulang yang hanya dibalut kain.  Matanya  yang besar  sesekali  melotot.  Hidungnya kecil dan mancung, sehingga Vivace—dari posisinya yang masih ber- baring—bisa melihat kedua lubangnya yang berbentuk oval, yang juga mirip dengan lubang hidung ayahnya dan sahabatnya, Mia. Lubang hidung  itu sama sekali berbeda dengan  lubang hidung miliknya, yang cenderung melebar ke samping. Mata wanita tua itu berwarna  kelabu.  Warna  mata  yang lagi-lagi hampir  sama dengan  ayahnya dan juga Mia.

Wajah nenek belum banyak dihiasi keriput. Kulitnya putih kemerahan. Tapi ketika ia berbicara  dan bergerak,  siapa pun akan tahu kalau wanita itu betapa  masih sehat dan trengginas. Suaranya jelas dan tidak belepotan, atau terdengar  cadel. Dan gerakannya  seperti seseorang yang masih muda saja, cepat dan cekatan.

“Bangunlah,  Bona,” pintanya  lagi.

Nenek yang aneh. Dialah yang memberinya nama ‘Vivace’, tapi  ia sendiri  justru  memanggilnya dengan  nama  ‘Bona’. Karena semua  orang  biasa memanggilnya ‘Vivace’, bocah  itu lebih akrab dan nyaman  dengan  nama itu dibandingkan nama aslinya, Bona.

Sekali lagi ia menguap  sembari meregangkan tubuhnya, kemudian sejenak memejamkan matanya kembali.  Setelah itu, barulah  ia bangkit.  Begitulah kebiasaannya sebelum  bangun tidur.

“Kamu terlalu  capek.  Tidurmu  pulas  seperti  orang mati,” nenek berkata tanpa rasa marah, dan itu sudah biasa di telinga Vivace. Suara itu terdengar  jauh  karena  ia sudah  berjalan  ke kamar mandi.

Ketika ia selesai dan kemudian  berpakaian, ia bertanya kepada  nenek apakah ayah dan ibu sudah pulang.

“Sudah, tapi kemudian mereka pergi lagi.”

Vivace tidak bertanya  ke mana.  Ia sudah maklum  dengan hal seperti itu. Ia hanya membatin, Orang-orang sibuk….

Vivace bukannya  jengkel kepada  mereka. Ia justru sangat berterima  kasih kepada  keluarga ini yang telah menolongnya. Sebenarnya  ia sama  sekali  tak pernah  membayangkan akan bertemu dengan lelaki berkulit putih bersih dan berbadan tinggi besar  di restoran  itu, yang ketika berbicara dengannya, logatnya terdengar  aneh. Saat itu usianya baru 8 tahun. Lelaki itulah yang membawanya ke rumah  ini dan  sekarang  telah menjadi ayahnya.

Terkadang  Vivace membayangkan ia memiliki  saudara. Rumah  ini barangkali akan lebih  hidup, begitu pikirnya.  Tapi kemudian, muncul pikiran lain yang justru memupus khayalannya memiliki saudara.  Kalau aku  memiliki saudara, kalau  ia lebih tua dariku, tentu mereka tidak perlu mengadopsiku. Tapi kalau ia lebih muda  dariku, apa mungkin mereka masih menganggapku  sebagai seorang anak? Pikirannya yang terakhir itu sempat menghantui perasaannya sendiri, tapi kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, “Keluarga ini baik dan tak mungkin membuang atau mengembalikan aku ke panti asuhan itu. Tapi kalaupun  itu terjadi, aku tak perlu menyesalinya. Bukankah aku sudah terbiasa hidup di jalanan?”

“Bona…,” wanita  tua  itu memanggilnya ketika  Vivace hendak  berjalan  ke teras rumah.  Vivace membalikkan tubuh dan berjalan  ke arah neneknya. “Tadi ayahmu membelikanmu ini.”  Diulurkannya sebuah  benda  yang  ia tahu  itu  sebuah biola.  Sembari tersenyum, anak itu mengambil benda  itu dari tangannya.

“Ini sangat mahal,” kata neneknya lagi, kemudian menunjuk sebuah tulisan kecil pada badan biola: Stradivarius. Ia lalu terse- nyum. “Meski ini bukan asli, tapi tetap saja harganya mahal.”

Ya, neneknya mengatakan hal  yang  benar.  Biola  itu, meskipun  bukan  biola  Stradivarius  asli, tapi tergolong  mahal juga. Kemudian kepada anak itu, ia menerangkan segala hal yang berkaitan dengan biola itu. Badan kayu bagian  atasnya terbuat dari kayu spruce, sementara  bagian bawahnya dari kayu maple, begitu pula dengan stang atau bagian leher biola. Papan jarinya terbuat dari kayu eboni yang keras, menawan, dan tahan lama. Dan busur penggeseknya, rambutnya  asli dari rambut kuda dan bukan serat sintetis seperti pada biola berkualitas rendah.

“Apakah biola Nenek juga tiruan?” tanya Vivace. Perempuan itu berjalan  ke dalam  kamarnya  dan  segera kembali  lagi  dengan  biola  di  tangan.  “Ini asli,”  katanya kemudian.

Lihat selengkapnya