Vivace membuka matanya dan yang pertama kali dilihatnya adalah wajah tua neneknya. “Hmm!” bocah itu melenguh, menguap, kemudian meregangkan otot-otot tubuhnya. Ia belum juga hendak bangkit dari berbaringnya.
“Bangunlah,” kata wanita tua yang tadi mengguncang- guncang tubuhnya. “Sudah hampir petang.”
Di matanya, nenek sekilas terlihat seperti orang sakit. Tubuhnya yang kurus nyaris serupa tulang yang hanya dibalut kain. Matanya yang besar sesekali melotot. Hidungnya kecil dan mancung, sehingga Vivace—dari posisinya yang masih ber- baring—bisa melihat kedua lubangnya yang berbentuk oval, yang juga mirip dengan lubang hidung ayahnya dan sahabatnya, Mia. Lubang hidung itu sama sekali berbeda dengan lubang hidung miliknya, yang cenderung melebar ke samping. Mata wanita tua itu berwarna kelabu. Warna mata yang lagi-lagi hampir sama dengan ayahnya dan juga Mia.
Wajah nenek belum banyak dihiasi keriput. Kulitnya putih kemerahan. Tapi ketika ia berbicara dan bergerak, siapa pun akan tahu kalau wanita itu betapa masih sehat dan trengginas. Suaranya jelas dan tidak belepotan, atau terdengar cadel. Dan gerakannya seperti seseorang yang masih muda saja, cepat dan cekatan.
“Bangunlah, Bona,” pintanya lagi.
Nenek yang aneh. Dialah yang memberinya nama ‘Vivace’, tapi ia sendiri justru memanggilnya dengan nama ‘Bona’. Karena semua orang biasa memanggilnya ‘Vivace’, bocah itu lebih akrab dan nyaman dengan nama itu dibandingkan nama aslinya, Bona.
Sekali lagi ia menguap sembari meregangkan tubuhnya, kemudian sejenak memejamkan matanya kembali. Setelah itu, barulah ia bangkit. Begitulah kebiasaannya sebelum bangun tidur.
“Kamu terlalu capek. Tidurmu pulas seperti orang mati,” nenek berkata tanpa rasa marah, dan itu sudah biasa di telinga Vivace. Suara itu terdengar jauh karena ia sudah berjalan ke kamar mandi.
Ketika ia selesai dan kemudian berpakaian, ia bertanya kepada nenek apakah ayah dan ibu sudah pulang.
“Sudah, tapi kemudian mereka pergi lagi.”
Vivace tidak bertanya ke mana. Ia sudah maklum dengan hal seperti itu. Ia hanya membatin, Orang-orang sibuk….
Vivace bukannya jengkel kepada mereka. Ia justru sangat berterima kasih kepada keluarga ini yang telah menolongnya. Sebenarnya ia sama sekali tak pernah membayangkan akan bertemu dengan lelaki berkulit putih bersih dan berbadan tinggi besar di restoran itu, yang ketika berbicara dengannya, logatnya terdengar aneh. Saat itu usianya baru 8 tahun. Lelaki itulah yang membawanya ke rumah ini dan sekarang telah menjadi ayahnya.
Terkadang Vivace membayangkan ia memiliki saudara. Rumah ini barangkali akan lebih hidup, begitu pikirnya. Tapi kemudian, muncul pikiran lain yang justru memupus khayalannya memiliki saudara. Kalau aku memiliki saudara, kalau ia lebih tua dariku, tentu mereka tidak perlu mengadopsiku. Tapi kalau ia lebih muda dariku, apa mungkin mereka masih menganggapku sebagai seorang anak? Pikirannya yang terakhir itu sempat menghantui perasaannya sendiri, tapi kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, “Keluarga ini baik dan tak mungkin membuang atau mengembalikan aku ke panti asuhan itu. Tapi kalaupun itu terjadi, aku tak perlu menyesalinya. Bukankah aku sudah terbiasa hidup di jalanan?”
“Bona…,” wanita tua itu memanggilnya ketika Vivace hendak berjalan ke teras rumah. Vivace membalikkan tubuh dan berjalan ke arah neneknya. “Tadi ayahmu membelikanmu ini.” Diulurkannya sebuah benda yang ia tahu itu sebuah biola. Sembari tersenyum, anak itu mengambil benda itu dari tangannya.
“Ini sangat mahal,” kata neneknya lagi, kemudian menunjuk sebuah tulisan kecil pada badan biola: Stradivarius. Ia lalu terse- nyum. “Meski ini bukan asli, tapi tetap saja harganya mahal.”
Ya, neneknya mengatakan hal yang benar. Biola itu, meskipun bukan biola Stradivarius asli, tapi tergolong mahal juga. Kemudian kepada anak itu, ia menerangkan segala hal yang berkaitan dengan biola itu. Badan kayu bagian atasnya terbuat dari kayu spruce, sementara bagian bawahnya dari kayu maple, begitu pula dengan stang atau bagian leher biola. Papan jarinya terbuat dari kayu eboni yang keras, menawan, dan tahan lama. Dan busur penggeseknya, rambutnya asli dari rambut kuda dan bukan serat sintetis seperti pada biola berkualitas rendah.
“Apakah biola Nenek juga tiruan?” tanya Vivace. Perempuan itu berjalan ke dalam kamarnya dan segera kembali lagi dengan biola di tangan. “Ini asli,” katanya kemudian.