Beberapa jam lagi, pentas akan dimulai. Meski Mia dan Vivace tidak akan tampil pada orkestra yang biasa dipimpin seorang konduktor, mereka telah dengan berlatih sungguh-sungguh.
“Ini hanya mengisi acara, tapi bagaimanapun, kalian tidak boleh tampil memalukan,” kata Karin kepada keduanya.
Boleh dibilang hari ini adalah geladi bersih mereka.
Pentas itu adalah sebuah undangan dari kampus lewat seorang dosen yang ikut mengurus acara tersebut. Acara itu memang diselenggarakan oleh kampus, tempat di mana kalian mengajar kini, hampir semua teman Karin di kampus, tahu akan kemampuan bermusik anaknya. Penampilan Mia beberapa bulan lalu, saat tampil dalam acara konser musik klasik anak, sangat memukau hingga membuat ratusan penonton takjub. Dan tentu saja, peristiwa itu disebarkan oleh media.
Namun, acara yang digelar oleh kampus itu sangat beragam. Judul acaranya saja, Pesta Seni Untuk Rakyat. Maka berbagai pertunjukan seni ikut berpartisipasi dalam acara itu.
Semula dosen itu meminta Mia untuk tampil solo piano, tapi Karin mengatakan kalau sekarang anaknya memiliki seorang partner. Dosen itu setuju, dan panitia memasukkan nama Vivace ke dalam schedule acara.
Ketika geladi bersih selesai, Karin mendekati Vivace dan bertanya apakah sudah memberitahukan keluarganya. Vivace mengatakan belum dan ini membuat Karin terkejut.
Namun pada acara itu, nenek dan orang tua Vivace datang dan menyaksikan penampilan mereka. Tak sedikit pun sang nenek, sebagai orang yang telah melatihnya, kecewa terhadap penampilan Vivace. Ya, sekalipun sebenarnya ia mengharapkan cucunya dapat tampil di sebuah orkestra.
Sang nenek tak pernah membayangkan Vivace tampil dalam acara seperti itu. Bukan apa-apa. Tapi seperti yang ia cita-citakan selama ini, cucunya dapat tampil di sebuah orkestra musik yang megah dengan seorang konduktor sebagai pemimpinnya. Tapi ia tetap merasa puas dengan penampilan cucunya. Dan yang membuatnya terkesan adalah pasangan duetnya itu. Itukah gadis buta yang sering diceritakan Vivace? tanyanya dalam hati.
Sementara di sudut lain, Karin disibukkan dengan kegundahannya akan pesan misterius yang kembali menyerangnya.
Sungguh penampilan yang memukau! Tak percuma dua bocah itu kau latih. Akulah orang pertama yang memberinya aplaus. Selamat!
Begitu bunyi pesan tersebut.
Meskipun hanya sekali, SMS itu sempat mengganggu ke- nikmatannya saat menyaksikan penampilan Mia dan Vivace. Matanya sempat mengawasi ke segala sudut ruangan, berharap kalau-kalau ada seseorang yang patut dicurigai sebagai si Pengirim Pesan, tapi sama sekali tak ada petunjuk. Semua orang yang ada di ruangan itu bergeming pada tatapan mereka yang hanya tertuju pada pertunjukan.
Akan tetapi, ketika acara itu selesai dan ia pulang serta hendak berangkat tidur, pesan misterius itu datang lagi.
Rasanya sudah lama kau tidak menengok sang kekasih. Kapan lagi akan berziarah? Ajaklah Bunga Musim Gugur-mu ke sana, menengok papanya….
Ia tersentak membaca pesan itu, yang lagi-lagi datang dari Mr. Misterius.
Ziarah ke makam kekasih? Astaga, sudah berapa lama? Pertanyaan itu menggema di relung hatinya.
Untuk kesekian kalinya, ia merasa hidupnya diawasi oleh orang itu, tapi tubuhnya terasa begitu capek. Dengan perasaan jengkel, ia mematikan ponselnya, lalu direbahkannya tubuhnya. Hanya sebentar saja, ia sudah terlelap dalam tidurnya.
Karin bukan lupa untuk menengok sang kekasih. Ia hanya belum ada rencana untuk itu. Tapi pesan siluman semalam telah mendorong hatinya untuk membuat agenda hari ini dengan pergi ke sana, ke makam Gilbert.
Karin ingat ponselnya semalam ia nonaktifkan, ia ambil benda mungil itu dari bawah bantalnya, kemudian ditekannya tombol pojok kanan atas. Dan ketika ponselnya kembali menyala, beberapa detik kemudian, Sonata pada Sinar Bulan terdengar.
Ada dua pesan.
Pesan pertama dari teman dosen: Selamat atas penampilan Mia dan temannya. Menakjubkan!
Pesan kedua Mr. Misterius: Selamat malam. Mimpi yang indah. Jangan lupa ziarah….
Karin menghela napas panjang. Dibuangnya pandang ke luar kaca jendela. Tak ada bunga-bunga angsana yang jatuh, tak ada lelaki misterius yang menggesek biolanya di seberang jalan sana.
“Kalau begitu, dia bukan Gilbert?” gumamnya. “Ya. Tentu saja bukan Gilbert. Kalau begitu… siapa???”