Requiem Musim Gugur

Y Agusta Akhir
Chapter #18

Mia dan Nenek Pagaini

Untuk kesekian kalinya, kedua bocah itu bertemu. Seperti kebanyakan pertemuan mereka, tanpa mengadakan kencan terlebih dahulu. Vivace kadang-kadang datang secara mengejutkan. Ia akan menunggu di bangku aula sebelum Mia keluar kelas. Atau bila Mia sedang menunggu mamanya menjemput, Vivace selalu memanggil nama Mia dari pintu gerbang sambil berlari. Ia selalu berteriak dengan suara khas anak kecil yang melengking, dan Mia sangat hafal dengan suaranya itu.

“Nenekku ingin bertemu denganmu,” kata Vivace. “Oh ya?”

“Ya. Apa hari ini kamu bisa?” “Kenapa tidak?”

“Oh. Kalau begitu, biar aku hubungi mama kamu.” Vivace mengeluarkan ponsel yang diberikan ayahnya beberapa hari lalu dari dalam tasnya.

“Kamu sekarang punya HP ya?”

“Iya.” 

Mia menyebutkan nomor ponsel mamanya, dan Vivace mengetiknya di ponselnya, lalu menekan tombol panggil.

Halo?” “

Halo?”

Siapa?”

“Ini Vivace, Tante.”

“Oh. Kenapa?”

“Saya sedang bersama Mia, Tante. Nenek saya ingin bertemu

Mia. Boleh, Tante?”

“Begitu? Tentu saja boleh. Nanti kalau mau pulang, hubungi

Tante ya?”

“Ya, Tante. Terima kasih.”

“Selesai,” kata Vivace, kemudian memasukkan ponselnya ke dalam tas.

Mereka lalu menyeberangi jalan, tapi kali ini Mia menolak untuk digandeng Vivace. “Sudah tidak perlu,” katanya. Namun, Vivace tetap bersikap seperti seorang kesatria kecil yang ingin melindungi sang putri.

Mereka mencapai seberang, kemudian berjalan melewati lorong yang serupa ceruk dalam itu. Dan sampailah mereka ke rumah yang oleh nenek Mia disebut mirip dengan kastil.

“Ini teman kamu? Ah, gadis kecil yang cantik!” suara itu menyambut mereka. Mia teringat akan mimpinya pada malam itu. Dan ia berpendapat kalau mimpi itu sungguh berbeda dengan kenyataannya.

“Yeah, yeah,” suara itu terdengar agak aneh di telinga Mia: serupa desahan serak yang keluar dari dalam kerongkongan perempuan tua itu. “Aku sudah melihatmu saat tampil bersama Bona. Kau sungguh fabuleux! Sungguh menakjubkan! “Ayo, masuklah,” kata nenek itu lagi.  

Mia melangkah masuk melewati bendul pintu yang besar dan tinggi itu, sementara Vivace sudah mendahuluinya dan menghilang ke dalam, barangkali menuju kamarnya.

Mia duduk di kursi yang dulu ia duduki saat pertama kali ke rumah itu. Perempuan tua itu mengawasi Mia dengan tatapan aneh. Ia seolah tak percaya kalau gadis kecil sahabat cucunya itu buta. Mia mencium aroma dari sesuatu, minuman Prancis, dan mengungkapkan hal itu kepada nenek Vivace. Hal itu mengejutkan orang tua itu.

“Bagaimana kau bisa tahu?”

“Saya mencium aromanya, Nek,” sahut Mia.

Yeah, yeah,“ perempuan tua itu mengeluarkan suara anehnya lagi dan sekali lagi membuat Mia terkejut. “Tajam sekali indra penciumanmu Mia, siapa nama orang tuamu?”

Mia tidak tahu kenapa nenek Vivace menanyakan itu, tapi ia menjawabnya juga, “Karin. Karin Nitibaskara.”

“Papa kamu?”

“Dia sudah meninggal.”

“Namanya?”

“Gilbert Schneider.”

Yeah, yeah. Rupanya kamu gadis indo.”

Demikianlah. Nenek Vivace telah mendapatkan apa yang sebenarnya ingin diketahuinya: latar belakang kehidupan gadis buta itu, orang tuanya, pendidikannya, dan apa pun yang berkaitan dengan bakatnya dalam bermain musik. Dan semua itu telah membuat perempuan tua itu paham, siapa gadis buta yang ada di hadapannya saat ini. Sudah sepantasnya kalau dunia memberikan penghargaan yang luar biasa kepadanya, kata perempuan itu dalam hati.  

Di sela-sela pembicaraan, Vivace datang dengan membawa minuman dan makanan yang tadi tercium oleh Mia.

“Nah, ini Bona,” ucap nenek. “Silakan kalian lanjutkan saja ya? Rasanya sudah cukup dan yeah, betapa senangnya ber- temu dengan calon pianis hebat!”

Mia merasa sangat tersanjung dengan ucapan  nenek Vivace yang aneh itu.

Vivace duduk di kursi di samping Mia. “Ayo, minum dan makanlah ini,” tawar Vivace sembari menyodorkan makanan itu ke dekat Mia.

Lihat selengkapnya