Hari itu datang.
Pagi hari, setelah mengantar putrinya, Karin langsung menuju taman kota. Karin merasa tak perlu menghubungi orang itu terlebih dahulu karena ia berpikir, kalau memang dia tidak main-main, tentu omongannya dapat dipegangnya.
Saat ia berjalan memasuki taman itu, pertama kali yang ia lihat adalah bangku yang dimaksud orang itu. Bangku di bawah pohon beringin, di dekat pancuran. Tapi bangku-bangku di sana sudah terisi oleh orang-orang yang menurut Karin, Garin tak ada di antara mereka. Ponselnya bergetar. Sebelum nada dering berbunyi, ia tekan tanda nada sambung.
“Di mana?” Karin langung bertanya.
“Bangku sebelah utara pancuran. Sorry, mereka telah men- dahuluiku duduk di sana.”
Karin menuju bangku yang dimaksud. Matanya memang mendapati seseorang telah duduk di bangku itu. Dan saat ia semakin dekat, semakin nyatalah siapa orang itu. Selain badannya yang lebih tinggi dan besar, tak banyak yang berubah dari lelaki itu. Apalagi wajahnya, tak sedikit pun Karin pangling.
Nyaris Karin memekik menyebut nama Garin kalau lelaki itu tidak membuka suara.
“Aha, apa kabar, Karin?” Lelaki itu tersenyum lepas sembari mengulurkan tangannya ke Karin. Uluran tangan itu tak segera bersambut karena Karin masih mematung di hadapannya, sekalipun senyumnya juga mengembang. Baru setelah lelaki itu bertanya, “Kenapa?” Karin menyambut tangan itu. Mereka bersalaman.
Karin duduk berseberangan dengan Garin.
“Jadi benar, kamu yang telah menggangguku selama ini?” Karin langsung bertanya, seolah ia kehilangan cara untuk berbasa-basi. Dan itu tak lain karena ia menginginkan sebuah penegasan.
“Seperti yang kamu lihat, aku tidak berbohong, bukan?”
“Sulit memercayai kalau itu kamu, Garin.”
Garin tertawa lirih.
“Belasan tahun, tentu sudah cukup untuk membuat seseorang berubah. Bukan begitu?”
“Lihatlah, bahkan kamu sudah pandai berkata-kata.”
“Itulah, belasan tahun. Dan kamu telah menyandang namabesar sebagai pianis handal.”
“Ah, kamu! Jadi, apakah Gilbert itu saudara kamu?”
Garin tak hendak langsung menjawabnya. Matanya menerawang pada dedaunan segala pohon yang ada di taman itu, seolah ada yang patut dilihatnya di sana.
“Benar?” Karin tidak sabar.
"Ya. Dialah kakakku.”
“Oh….” Hanya itu yang keluar dari mulut Karin. Dan sampai beberapa saat, mereka terdiam.
Kemudian, kembali suara Garin terdengar dengan terbata, “Dialah satu-satunya saudaraku.”
Karin menundukkan wajah. Matanya terasa basah.
“Tapi sudahlah. Semuanya telah terjadi dan itulah takdir yang sudah digariskan.”
Karin menghapus air matanya dengan sehelai tisu yang ia ambil dari dalam tasnya.
“Kamu sudah bisa mengikhlaskannya, bukan?”
Karin sudah mengiklaskannya sejak ia dapat melewati ‘badai kenangan’ dalam hidupnya. Pertanyaan itu telah menyadarkannya kalau lelaki yang sekarang di hadapannya itu sudah menyadap hidupnya.
“Lalu, bagaimana kamu tahu segala hal yang telah kulalui? Apakah Gilbert menceritakannya padamu?”
Lelaki itu menggeleng. Kemudian berkata, “Secuil pun dia tidak pernah bercerita tentang kamu ataupun tentang segala hal yang kalian alami.” Garin berhenti sebentar. Ketika Karin hendak menyela, ia melanjutkan, “Aku bahkan pergi dari rumah.”
“Lho, kenapa?” Kalimat tadi mengejutkan Karin. “Sebenarnya ini persoalan sepele. Papaku tidak mengizinkanku melanjutkan sekolah ke Jerman. Ini bukan persoalan biaya, tapi tak lebih dari pertimbangan papa kalau aku harus menjaga mama yang saat itu masih sakit. Mama terserang tumor otak sampai akhirnya mama meninggal. Gilbert tentu sudah menceritakannya padamu.”
Karin masih mengingatnya. Memang Gilbert pernah menyampaikan kabar duka itu kepadanya.
“Tapi begitulah. Aku yang masih kekanak-kanakan tak bisa menerima keputusan papa. Aku memberontak dan minggat dari rumah hingga berbulan-bulan. Sampai akhirnya, seseorang yang mengaku suruhan papa menemuiku. Orang itu menyampaikan pesan papa yang mengatakan agar aku pulang dan mama dirawat di rumah sakit karena keadaannya yang kian kritis. Aku pun akhirnya pulang karena sebenarnya sudah lama aku ingin menjenguk rumah, tapi aku merasa malu.
Beberapa jam setelah aku menengok mama, mama mening- gal. Aku sangat menyesal tak sempat merawat mama.”
Karin tak dapat mingingkari perasaannya, ia pun prihatin mendengar cerita Garin. Tapi ia tidak tahu, apa hubungannya dengan yang sudah dilakukan Garin terhadap dirinya. Karena itulah ia bertanya, “Lantas, bagaimana kamu tahu semua kisah hidupku bersama Gilbert?”
“Aku menemukan buku hariannya yang dikirim bersama jasad Gilbert.”
Karin sedikit kaget mendengar itu. Gilbert tak pernah cerita kepadanya soal buku harian, tapi ia tetap diam mendengar segala yang dikatakan Garin.
“Dia selalu menulis segala apa yang dilaluinya di Jerman dalam buku itu.”
“Kenapa aku bisa tidak tahu?” akhirnya Karin bertanya. “Dia memang tidak memberitahukan padamu. Dia berencana ingin menyertakan buku itu dalam mahar perkawinan kalian. Begitu rencananya. Mungkin untuk sebuah kejutan. Dari buku itulah, aku dapat menerka kalau wanita pujaan kakak adalah kamu. Karin yang menyukai piano dan tinggal di kota ini.
Di buku itu pula aku menemukan beberapa foto kamu. Tidak sulit mengingatmu. Itu tentu kamu. Ah, mengenali wanita cantik sepertimu, siapa yang sudi melupakannya. Wanita anggun dengan tahi lalat kecil di dekat dagu. Titik hitam kecil di kulit yang putih dan bersih, suatu yang indah, bukan?”
Kalimat terakhir lelaki itu mengingatkan Karin pada ucapan ibunya yang pernah berkomentar perihal tahi lalatnya itu, tapi kemudian ia bertanya, “Lantas mengapa harus sembunyi-sembunyi begitu?”
Garin tertawa, lalu berkata, ”Kupikir memang begitulah caraku. Anggap saja aku ingin membuat sebuah kejutan.”
“Konyol sekali!” kata Karin setengah menggumam, tapi itu pun sampai ke telinga Garin juga.
“Yah, aku minta maaf.”
“Kamu telah mengganggu privasi orang!” Intonasi suara
Karin agak meningkat.
Garin merasa kalau perempuan yang ada di hadapannya sekarang mulai tersulut amarah.